Ibarat dua sisi mata uang, agama memiliki tatanan ideal yang terkandung dalam doktrinnya sekaligus sejumlah ironi dalam praktiknya.
Salah satu contoh dari ironi tersebut misalnya pertanyaan: mengapa praktik korupsi yang dimusuhi oleh agama justru tumbuh subur di negeri yang penduduknya religius? Pertanyaan seperti ini sering kali datang serangkai dengan pernyataan bahwa tingkat korupsi di negara-negara sekuler jauh lebih rendah.
Idealnya, masyarakat yang secara kultural dipengaruhi ajaran agama yang menawarkan nilai-nilai moral tinggi, perilaku korupsi tidak akan berkembang baik. Namun, faktanya tidak demikian. Indonesia dapat dijadikan wajah masyarakat yang secara kultural akrab dengan ajaran agama, tetapi perilaku korupsi masyarakatnya kian mengganas.
Lantas orang mulai menyaksikan korelasi antara kinerja agama dan tetap menguatnya tindak korupsi. Memang ada alibi yang biasanya diajukan oleh para penganut agama dengan mengatakan “bukan agamanya yang salah, tetapi penganut agamanya yang keliru.” Dengan alibi itu, agama sebagai doktrin tetap terselamatkan. Sedangkan penganut agama menjadi tertuduh. Jika duduk soalnya ada pada si penganut, berarti ada masalah pada cara beragama, termasuk bagaimana cara memersepsikan agama.
Perlunya Tafsir Baru
Dengan begitu, penganut agama selalu memerlukan tafsir-tafsir baru yang relevan. Tafsir tersebut bermanfaat untuk memaknai realitas hidup yang kian dinamis. Hajat terhadap tafsir baru itu sejatinya sudah diingatkan oleh Nabi dengan mengatakan “antum a’lamu bi umuri dunyakum” (kalian lebih tahu tentang urusan-urusan duniamu).
Ada dua tipologi masyarakat untuk menangkal kejahatan korupsi, yakni masyarakat rasional dan masyarakat beriman. Sebut saja negara-negara sekuler sebagai tipologi pertama. Lantas, bagaimana dengan Indonesia yang sebut saja sebagai masyarakat agamais?
Menghubungkan agama dengan tindak korupsi hanyalah sampel untuk mengevaluasi keberagamaan kita selama ini. Lebih jauh, kita juga ingin melihat bagaimana sebaiknya kita mengelola keberagamaan di tengah-tengah gemuruh krisis bangsa. Sangat sering kita mendengar di masjid-masjid para khatib dan dai mengatakan bahwa krisis bangsa ini merupakan ujian dari Tuhan dan karenanya harus kembali kepada agama.
Pernyataan ini selintas benar, tetapi kering dari maknanya yang rasional dan progresif. Dengan kata lain, bagaimana cara kembali kepada agama? Kita masih terlalu mengandalkan bahasa agama yang normatif dan sering kali masuk ke dalam jebakan ibadah ritual simbolik, sementara dimensi rasional dan praksisnya masih belum mendapatkan perhatian yang cukup.
Mempraktikkan secara tekun ibadah ritual individual tentulah baik, sebab dengan itu kita sedang mencuci jiwa dan berhubungan dengan Tuhan (hablumminallah). Namun, berhenti di titik kesalehan individual dan menistakan kesalehan sosial (habluminannas) adalah bentuk tidak langsung dari pelecehan terhadap agama. Bahkan, Al-Qur’an menyebutkan sebagai pendusta agama.
Fenomena menguatnya tingkat korupsi di negeri bermasyarakat agamais menjadi kritik terhadap lemahnya ibadah sosial. Lemahnya ibadah sosial bisa jadi merupakan akibat dari lemahnya kekuatan moral dan cara pikir rasional dalam memaknai agama. Oleh karena itu, menumbuhkan aspek moralitas dan rasionalitas masyarakat agamais dan mengembangkan teologi pembebasan adalah kebutuhan yang layak dipertimbangkan.
Krisis bangsa yang merupakan problem riil kemanusiaan tidak cukup hanya didekati dengan tindakan emosional seperti meminta maaf, beristigasah, atau sekadar ramai-ramai membuang air mata di masjid-masjid. Bentuk pertaubatan seperti itu tentu saja penting sebagai upaya penguatan jiwa (self-reflection) untuk menambah daya spiritualitas manusia agar selalu tahan terhadap godaan berbuat kebatilan. Dan ini tidak harus dimaksudkan untuk memaksa Tuhan agar mengubah keadaan, sebab Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya.
Maka yakinlah perubahan pada diri manusia hanya dapat ditentukan oleh manusia itu sendiri melalui hukum alam (sunatullah) yang tersedia. Dengan mengikuti prosedur sunatullah, berarti manusia sudah mengikuti titah Allah SWT. Misalnya jika seseorang mengharap rizki tanpa melakukan aktivitas yang menghasilkan uang, ia tidak mungkin mendapatkannya. Itu sudah menjadi prosedur hukum alam.
Baca juga:
Gagasan Rasional dan Progresif
Oleh karena itu, gagasan keagamaan yang rasional dan progresif harus menjadi inspirasi bagi terselenggaranya perubahan ke arah kemajuan. Menarik untuk menyimak kata-kata filsuf muslim modern, Muhammad Iqbal, dalam Javid Nama:
“Tuhan hanya menciptakan malam, manusialah yang menyalakan lampunya.”
“Tuhan hanya menciptakan lempung, manusialah yang membuat patungnya.”
Petuah Muhammad Iqbal itu mengandung makna bahwa betapa kreativitas dan progresivitas manusia sebagai wakil Tuhan sangatlah penting sebagai bagian dari menjalankan agama. Nasihat Iqbal itu secara kontekstual sedang ditujukan kepada umat muslim yang tengah asyik berpelukan dengan agama hanya pada batas ritualismenya dan menggandrungi sisi mistik agama dengan sangat berlebihan.
Kegagalan menghadapi modernitas dialihkan dengan cara memeluk sisi-sisi mistis yang menjauhkan umat Islam dari realitas duniawi. Padahal, Nabi mengatakan: “I’mal li dunyaka kaannka ta’isyu abadan wa’mal li akhiratika kaannaka tamuutu gada.” (Dan bekerjalah untuk akhiratmu, seakan-akan engkau akan mati esok hari). Ini mengisyaratkan bahwa persoalan dunia dan akhirat sama pentingnya untuk digarap secara serius.
Mode Beragama
Inilah indahnya Islam yang menawarkan konsep keseimbangan hidup. Apakah kita masih mau menjadi tertuduh dari kritik Iqbal yang mengatakan bahwa peradaban Barat berhasil melihat dunia tetapi gagal melihat akhirat, sedangkan peradaban Timur (Islam) berhasil melihat akhirat tetapi gagal melihat dunia”. (The Reconstruction of Religious Thought in Islam: 1960).
Jadi, yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis bangsa yang semakin akut ini bukanlah semata-mata taubat jamaah dan beramai-ramai menggandrungi dunia mistik sebagai obat pelipur lara. Memeluk sisi tasawuf agama haruslah dianggap sebagai proses penyucian jiwa yang diikuti dengan energi untuk melakukan perubahan.
Baca juga:
Bekerja keras dan cerdas adalah bagian dari mode beragama yang dianjurkan. Agama harus digerakkan secara fungsional untuk membangkitkan gairah berpikir dan bekerja. Jangan menjadikan agama sebagai alat pelemah dengan menggiring umatnya ke tempat-tempat asing hanya untuk meratapi nasib.
Fungsionalisasi agama dalam ranah sosial menjadi sangat penting sebagai perekat keutuhan kehidupan sosial, sebab di dalamnya mengandung spirit moral yang tinggi. Bahkan, menurut Durkheim, agama merupakan kebutuhan fungsional bagi problem kemasyarakatan. Oleh karena itu, keagungan dan keberhasilan suatu agama bukanlah terletak pada keindahan narasi-narasi doktrin yang termuat dalam kitab suci, melainkan bagaimana agama ditampilkan dalam wajah sosial. Ukuran ini memang terlalu sosiologis dan terkesan menggampangkan. Namun, begitulah cara pandang empirik yang justru dalam banyak hal gagal kita tunjukkan.
Maka dari itu, keindahan ajaran agama tidak boleh hanya tersimpan dalam kitab suci dan terjabarkan lewat retorika para khatib dan dai. Keindahan ajaran agama harus tumbuh secara praksis dalam ruang publik yang empirik. Kalau tidak, jangan heran jika kemudian agama dituduh sebagai opium, seperti pendapat Karl Marx. Nada benci Karl Marx harus dipahami sebagai kritik terhadap agama (gereja) yang pada waktu itu mandul dalam menghadapi problem sosial masyarakat.
Lebih dari itu, agama tradisional, kata Asghar Ali Engineer, jika diformulasikan dalam teologi pembebasan dapat memainkan peran penting sebagai praksis yang revolusioner dibandingkan agama yang hanya berupa upacara-upacara ritual yang tidak bermakna. Asghar menegaskan bahwa agama dalam bentuk tradisional hanya merupakan ilusi, tetapi ia bisa menjadi kekuatan yang mengagumkan bila ditampilkan dalam bentuk yang membebaskan.
Editor: Prihandini Nur