Beberapa hari yang lalu, ketika sedang bersantai di depan teras rumah Joglo yang kutempati, seorang teman mengirim sebuah kolom opini harian Kompas, tertulis dengan judul ‘Krisis Air Dunia’. Orang yang menulisnya tidaklah asing bagi saya, setidaknya jika kalian sering menonton TV atau memperhatikan media digital, maka kalian akan langsung mengetahuinya, Retno Marsudi, mantan menteri luar negeri RI tahun 2014-2024. Dan sekarang dia menjabat sebagai utusan khusus sekretaris jenderal PBB untuk isu air.
Air memang tak pernah terpisahkan dari manusia. Dalam kehidupan sehari-hari manusia hanya mampu bertahan hidup satu minggu tanpa air, padahal manusia bisa bertahan berbulan-bulan tanpa makanan. Betapa pentingnya air memang dalam kehidupan manusia, bahkan sampai bisa menciptakan sebuah ‘peperangan’. Tak jarang, bersatunya beberapa kekuasaan bahkan ditujukan untuk memperebutkan air dan mengeksklusi lainnya. Tak lain dan tak bukan karena memang sepenting itu air dalam memutar siklus hidup manusia dan akan selalu penting.
Rasa Pesimis
Saya sedikit pesimis membaca kolom opini yang Bu Retno tulis di harian Kompas pada tanggal 1 November 2024 itu. Fakta-fakta yang paparkan memang tidak dapat dimungkiri, tetapi analisa yang diberikan seakan kontradiktif dan tidak merepresentasikan krisis air yang terjadi di tapak dan banyak pedesaan Indonesia.
Secara singkat opini tersebut mencoba untuk menjabarkan krisis air dalam taraf makro, terutama di negara-negara berkembang yang sangat rentan terhadap krisis air. Data PBB yang dipaparkan menunjukkan bahwa pada tahun 2022, di tingkat global, 2,2 miliar orang hidup tanpa akses terhadap air minum yang aman. Di daerah perdesaan, 4 dari 5 orang kekurangan akses pada layanan dasar air minum. Dan bahkan pada tahun 2050, diperkirakan 150–200 juta orang akan mengungsi akibat kekeringan berkepanjangan, kenaikan permukaan air laut, dan cuaca ekstrem. Secara singkat, Bu Retno menyebut bahwa krisis air global yang terjadi sangat dipengaruhi oleh infrastruktur yang belum memadai, yang berimplikasi pada sulitnya akses air bagi warga yang membutuhkan.
Baca juga:
Ada beberapa poin yang seharusnya kita diskusikan secara serius tentang krisis air seperti yang singgung oleh Bu Retno. Krisis yang banyak melanda masyarakat, terutama yang menimpa mereka-mereka yang terpinggirkan secara ekonomi, pun akses terhadap sumber air yang memadai.
Pertama, ia menggarisbawahi bahwa keterbatasan infrastruktur di negara-negara berkembang jadi alasan kuat terjadinya krisis air. Asumsinya adalah akses yang memadai terhadap air berbanding lurus dengan pembangunan infrastruktur untuk mendistribusikan air bersih kepada warga. Ada beberapa kepingan-kepingan kecil yang sepertinya tidak ia lirik dari asumsi tersebut. Dia tidak melihat realita bahwa banyak krisis air terjadi karena pembangunan ‘infrastruktur’ itu sendiri. Terlebih, pembangunan berbasis kapitalisme memang tak memikirkan dampak ekologis secara serius.
Untuk menggambarkannya, Foster menyebutnya sebagai ecological rift–keretakan ekologis, yang berarti kerusakan alam akibat terputusnya hubungan antara manusia dengan alam dalam kapitalisme. Contoh keretakan tersebut dapat kita lihat di Cikeusal, salah satu desa yang terletak tak jauh dari industri tambang kapur milik, PT. Indocement Tunggal Prakarsa di Palimanan, Cirebon. Desa tersebut menjadi saksi bisu bagaimana pembangunan ‘infrastruktur’ tambang–yang diklaim ramah lingkungan, pada akhirnya menyebabkan kekeringan berkepanjangan dan krisis air. Air hanya mengalir 3 jam di tiap rumah karena memang dibatasi imbas sumber mata air yang tak lagi mengalir deras. Bahkan saat ini banyak warga yang terpaksa untuk membeli air sebesar Rp 70.000/1000 l dari kecamatan lain untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Infrastruktur tambanglah yang ‘membunuh’ sumber-sumber air di sana. Dari 6 sumber mata air yang sebelumnya didistribusikan ke 4 dusun, sekarang hanya tersisa 2. Perluasan area tambang serta alih fungsi hutan sebagai daerah resapan airlah yang menjadi sebab utama 4 dari 6 mata air di sana tak mengalir kembali. Arsyadi, warga desa Cikeusal yang saya wawancarai menuturkan,
“di sini dulu mata airnya–sambil menunjuk ke tanah yang sudah menjadi jalur lalu lalang mesin tambang–kalo sekarang yah udah ilang. Di sana itu juga di bawah pohon-pohon itu juga ada mata air, masih ada bekas tampungannya, dulu banyak orang yang mandi di sana, sudah serupa sendang.”
Cikeusal menjadi salah satu kepingan kecil dari krisis air yang banyak terjadi di seantero Nusantara ini. Masih banyak kepingan lainnya yang perlu dilihat dan menjadi pertimbangan untuk menentukan solusi dari krisis air yang terjadi. Dari hal tersebutlah saya mulai sinis dengan pembangunan infrastruktur air–yang menuruti klaim di atas, menjadi salah satu pintu keluar krisis air.
Apakah pembangunan selalu didayagunakan untuk kesejahteraan masyarakat desa? Jika kita melihat Cikeusal, maka tentu jawabannya tidak. Pembangunan justru meminggirkan mereka-mereka yang tak punya kuasa modal karena memang kapitalisme menghendaki hal tersebut. Keuntungan akan selalu diperuntukan untuk mereka yang mempunyai kuasa modal alih-alih didistribusikan kepada masyarakat desa secara menyeluruh.
Baca juga:
Sejatinya, air adalah sumber kehidupan manusia. Fakta bahwa bumi kita diliputi 70% air di atasnya, menjadi penanda nyata bahwa kita memang tak pernah terpisahkan dari air. Menghilangkan sumber-sumber air bagi warga berarti juga membunuh sumber kehidupan warga. Maka kita tak punya alasan apa pun, terutama untuk membangun infrastruktur yang nyata-nyatanya banyak ‘membunuh’ sumber-sumber air warga.
Kedua, dalam ranah hak asasi manusia, akses terhadap air bersih dan sanitasi sudah diakui secara tegas oleh PBB melalui melalui Resolusi 64/292. Resolusi tersebut mengakui bahwa air merupakan bagian vital dari kehidupan manusia dan hak atasnya diakui secara universal tanpa bisa dinegosiasikan. Pengakuan hak atas air sebagai bagian integral dari hak asasi manusia ditemui di dalam Komentar Umum No. 15 (2002) tentang Hak atas Air yang diterbitkan oleh Committee on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)–Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob). Secara normatif, hak atas air sudah diakui secara universal oleh negara ini, terlebih ICESCR sudah diratifikasi melalui Undang-Undang no 11 tahun 2005. Konsekuensinya adalah negara harus terlibat aktif dalam pemenuhan hak atas air bagi masyarakat karena sudah diamanatkan dalam tersebut.
Melalui penjelasan di atas, dapat saya simpulkan bahwa Bu Retno percaya kalau krisis air disebabkan oleh minimnya infrastruktur, konsekuensi logisnya, penjaminan hak atas air mengharuskan adanya pembangunan infrastruktur. Negara harus memenuhi hak atas air melalui pembangunan infrastruktur air yang didistribusikan kepada mereka-mereka yang membutuhkan. Padahal pembangunan yang berkelindan dengan kuasa modal banyak menjadi alasan kebutuhan air yang semakin sulit terpenuhi.
Biarkan Warga Merawat Air
Pemenuhan hak atas air tak selalu mengisyaratkan pembangunan. Dalam banyak kasus, warga justru punya cara merawat air tersendiri untuk tetap hidup dan bertahan. Buku Ngelep, Ngrumat, Niteni banyak menuliskan soal perawatan air sebagai bentuk resistensi terhadap pembangunan ekspansional berbasis kapitalisme.
Baca juga:
Potret yang dibawakan dari Yogyakarta semisal, mencoba menjabarkan bagaimana warga merawat sumur air dengan teknik ngelep–menyirami secara rutin pinggir-pinggir sumur dengan air dari sungai Bengawan Solo. Keterbutuhan air yang semakin tak terpenuhi karena tiap tahunnya sumur warga semakin mengering, memaksa warga untuk merawat sumber air yang masih ada. Krisis air yang terjadi juga adalah imbas dari tambang pasir yang berdiri tak jauh dari pemukiman yang menyebabkan aliran Bengawan Solo semakin tak terjangkau oleh warga.
Pada dasarnya, ngelep menjadi salah satu potret bagaimana warga mencoba bertahan dari pembangunan tambang pasir yang semakin menjauhkan mereka dari air. Merawat menjadi salah satu bentuk resistensi terhadap kapitalisme ekonomi yang meminggirkan mereka. Alih-alih mengeksploitasi air, warga lebih memilih pendekatan ‘merawat’ sebagai timbal balik kepada alam yang selalu menyediakan segalanya kepada mereka.
Melalui kasus di atas, saya justru pesimis jika pembangunan infrastruktur dijadikan solusi untuk keluar dari krisis air global. Alih-alih membangun, jalan yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan krisis tersebut adalah dengan menghentikan pembangunan berbasis kapitalisme itu sendiri. Pembangunan yang hanya dimonopoli oleh para penguasa modal harus dipertimbangkan kembali oleh negara sebagai instansi paling bertanggung jawab dalam pemenuhan hak atas air. Pendekatan-pendekatan yang mengedepankan masyarakat terpinggirkan harus menjadi arus utama pembangunan tersebut.
Melalui tulisan ini, saya sangat berharap Bu Retno memikirkan ulang tentang krisis air global dan wacana pembangunan infrastruktur yang akan menjadi pintu keluarnya. Sejatinya air harus menjadi kebermanfaatan bersama, bukan segelintir orang saja yang menikmatinya. Akses terhadap air bersih dan sanitasi harus diperhatikan secara jeli karena itu memang hak yang harus dipenuhi negara kepada rakyatnya. Pembangunan tak selalu menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan krisis air.
Editor: Prihandini N