Peneliti Institut Humor Indonesia Kini (ihik3.com) & pionir Certified Humor Professional di Indonesia

Jangan Bangga dengan Julukan “SDM Rendah”

Ulwan Fakhri

2 min read

Nelangsa sekali, belakangan ini beberapa orang malah bangga bahkan meromantisasi julukan “SDM Rendah” yang ditujukan kepadanya.

Belum lama ini, ada sebuah unggahan foto di Facebook yang berseliweran. Tampak seorang pria berpose gagah menggunakan kaos bertuliskan “100% SDM RENDAH”. Di caption-nya tertulis “SDM tinggi minggir dulu”, yang mencengangkan, sekitar seribu orang menyukai unggahan tersebut.

Dari penelusuran penulis, “SDM Rendah” merujuk pada satire dari sekelompok masyarakat kepada pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Olokan itu sendiri mengacu pada ketidakmampuan mereka dalam memahami praktik nepotisme yang pasangan tersebut lakukan di Pilpres 2024. Singkatnya, demi memuluskan jalan Gibran yang saat itu masih berusia 36 tahun sebagai calon wakil presiden, Mahkamah Konstitusi (MK) disinyalir sampai mengubah aturan soal batas usia peserta Pilpres.

Dalam tulisan berjudul Political Labeling on Social Media: A Netnographic Study of “SDM Rendah” in Indonesia’s 2024 Presidential Election on X, Paath dkk. (2024), mengonfirmasi bahwa julukan “SDM Rendah” diperparah oleh diskursus politik Pilpres 2024 yang cenderung toksik di media sosial X.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama kontestasi politik di Indonesia diwarnai dengan name calling antarpendukung kandidat. Di Pilpres 2019, name calling yang muncul terasa sangat menghina karena menggunakan analogi hewan: “Cebong” dan “Kampret”. Walau pemilu edisi 2024 labelnya menjadi lebih manusiawi–setidaknya, ada singkatan “manusia” dalam julukan “SDM Rendah”–unsur merendahkannya masih tetap kuat.

Baca juga:

Ironisnya, julukan yang awalnya terbentuk sebagai name calling itu, lama-lama menjadi labelling. Ini sejalan dengan penjelasan sosiolog Howard Becker (1963). Ketika seseorang mulai diperlakukan berdasarkan label yang diberikan, orang tersebut akan mulai menerima label itu sebagai bagian dari identitasnya (labelling theory).

Memahami “SDM Rendah” dari Kajian Humor & Media

Secara leksikal, “Cebong-Kampret” maupun “SDM Rendah”, termasuk name calling yang punya bau-bau humoristis. Teknik yang dipakai dalam name calling ini termasuk sebagai insult atau hinaan, berisi serangan verbal yang merendahkan martabat targetnya (The Art of Comedy Writing – Berger, 1997, h.23).

Kalau coba dipahami dalam skala yang lebih besar, fenomena ini termasuk dalam gelopolitics (politik riang gembira). Ya, tawa sekarang punya porsi besar bahkan sudah menyatu dengan praktik politik praktis (Laughter as Politics – Giamario, 2022, h.28).

Lihat saja, elite politik sudah doyan berkampanye dengan humor demi menuai vote. Politik Riang Gembira dijadikan jargon agar arena politik modern lebih riuh dengan hiburan alih-alih berpolitik secara serius dan etis.

Di sisi lain, masyarakat akar rumput bukannya ikut bergembira. Kita malah saling mengejek dan terbelah hingga melahirkan olokan “SDM Rendah”. Menukil Giamario, ilmuwan politik dari University of North Carolina, fenomena ini adalah efek dari tawa di politik yang memecah belah (laughter as rupture).

Gelopolitics dan peran memecah belahnya itu diperparah dengan membludaknya jenis platform media, membuat orang jadi bisa mengonsumsi media yang sesuai dengan minatnya masing-masing saja. Jason Turcotte dalam Comedy, Cameos, and Campaign Communication (2023, h.4.) menyebut keadaan ini sebagai the long-tail media.

Era long-tail media melahirkan masyarakat yang pragmatis. Informasi bahkan hiburan yang dicari hanya yang sesuai dengan pandangan mereka. Praktis, kemungkinan untuk terpapar informasi yang menyeluruh dan cover both sides pun semakin kecil–atau, paling parah, hanya melihat headline. Pada akhirnya, ketika isu macam Putusan MK soal batas usia capres-cawapres dibicarakan di mana-mana, tak sedikit yang merasa kesulitan untuk menyimak rentetan permasalahan serta memahaminya secara objektif.

Baca juga:

Akibatnya, media yang menyajikan berita yang sebenarnya netral dan seimbang akan dianggap negatif atau tidak adil. Meminjam lagi istilah dari Turcotte, kondisi ini disebut dengan hostile-media effect (ibid, h.8). Dengan kata lain, orang menjadi agresif terhadap pandangan yang bertentangan. Inilah yang sering kali menjadi sumber polarisasi dan perpecahan dalam masyarakat.

Bila dilihat kembali, kabar putusan MK soal batas usia capres-cawapres yang menggegerkan publik itu sebenarnya merupakan klimaks dari rentetan problematika yang sudah dimulai sejak berbulan-bulan sebelumnya.

Seperti dilaporkan sejumlah media arus utama, macam Tempo, Kompas, Detik, dan Kumparan sejak awal 2023, kasus ini bermula dari PSI yang melayangkan gugatan terkait batas usia capres dan cawapres. Gugatan itu menimbulkan polemik dan menjadi perbincangan hangat masyarakat yang kemudian mencurigainya sebagai bagian dari rencana memajukan Gibran Rakabuming Raka dalam kontestasi Pilpres 2024.

Benar saja. Pada 16 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan yang mengabulkan permohonan tersebut, walaupun ada dissenting opinion dari empat orang hakim.

Berita ini sebenarnya sudah melesat di mana-mana, tapi karena dampak dari the long tail media, problematika putusan ini tidak menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Merekalah yang rentan terbawa arus dan akhirnya berada dalam barisan pendukung yang tidak merasa ada masalah dengan putusan tersebut. Inilah yang kemudian membuat mereka dicap minim wawasan dan disudutkan sebagai kelompok “SDM Rendah”.

Yang penulis percaya, label “SDM Rendah” lahir bukan dari ejekan di antara masyarakat yang berbeda pandangan politik saja. Pola konsumsi informasi di media sosial turut menyumbang dampak negatif ini. Dengan menyadari imbas dari era gelopolitics dan era digital ini, agaknya kita perlu menggunakannya secara lebih sadar agar tidak mudah dipermainkan para “Goliath” masa kini.

Sebab tentu aneh jika pemerintah ingin visi Indonesia Emas 2045 tercapai, tapi dengan masyarakat yang justru pede dengan label “SDM Rendah”-nya.

 

 

Editor: Prihandini N

Ulwan Fakhri
Ulwan Fakhri Peneliti Institut Humor Indonesia Kini (ihik3.com) & pionir Certified Humor Professional di Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email