Demokrasi Deliberatif VS Demokrasi Omon-Omon

Teddy Chrisprimanata Putra

3 min read

Sebagai negara yang mengambil bentuk “republik” yang memiliki arti “kepentingan umum”, Indonesia telah meneguhkan bahwa pemerintahannya harus dijalankan dengan berorientasi kepada kesejahteraan kolektif—artinya seluruh kebijakan yang diambil harus berdasar atas kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Selanjutnya prinsip tersebut diperjelas oleh founding parent’s bangsa dengan menganut sistem demokrasi dalam menjalankan pemerintahan Indonesia. Oleh Suseno, setidaknya terdapat lima karakteristik negara yang demokratis, yakni: 1). Negara hukum; 2). Pemerintahan yang berada di bawah kontrol efektif masyarakat; 3) pemilihan umum yang terbuka dan adil; 4). Penghormatan terhadap prinsip mayoritas; dan 5). Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak demokratis[1].

Secara sederhana, dapat diartikan bahwa kekuasaan pemerintahan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) menjadi penting bagi sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Tidak hanya sebagai ajang perpindahan kekuasaan secara konstitusional, tetapi pemilu adalah medium yang memfasilitasi rakyat untuk menggunakan kedaulatannya dalam menentukan arah bangsa—setidak-tidaknya untuk satu periode kepemimpinan.

Upaya Menghidupkan Partisipasi Rakyat

Memandang rakyat sebagai subjek dalam negara demokrasi menjadi satu hal penting yang acap kali luput dilakukan oleh elite negeri. Alih-alih melakukan hal tersebut, elite politik negeri sering kali memandang rakyat sebagai objek politik atau hanya sebagai sekumpulan kerumunan untuk diambil suaranya saja, tanpa mengindahkan aspirasi atau keresahan yang dirasakan. Sehingga tidak lagi mengherankan di saat masa kampanye, kegiatan yang muncul didominasi dengan konser musik atau deklarasi dukungan terhadap paslon—kegiatan yang menegasikan dialog partisipatif dari rakyat. Bukan keresahan atau ide dari rakyat yang ingin didengar oleh elite, melainkan yang ingin elite dengarkan dari rakyatnya adalah yel-yel hingga sorakan nama-nama mereka.

Aktivitas kampanye tidak hanya sekadar ruang bagi peserta pilpres untuk memperkenalkan diri sekaligus ajakan untuk memilih. Lebih dari itu, kampanye adalah ruang untuk melakukan edukasi-edukasi politik kepada pemilik hak pilih. Hal-hal semacam ini menjadi penting dalam upaya meningkatkan kualitas dan integritas demokrasi nasional—meski di sisi lain begitu banyak aktivitas-aktivitas yang dapat mengancam kualitas dan integrasi dari demokrasi nasional, seperti politik identitas, politik uang, kampanye hitam (black campaign), hingga penyebaran hoax.

Bagai oase di tengah padang pasir, pilpres 2024 pada akhirnya memberikan warna baru khususnya dalam strategi-strategi kampanye yang dilakukan oleh para paslon. Inovasi tersebut antara lain: “Desak Anies”, “Slepet Imin”, “Gelar Tikar Ganjar”, hingga “Tabrak Prof!”. Metode tersebut berfokus kepada partisipasi rakyat dalam menyampaikan keresahan, ide atau gagasan, hingga memberi ruang kepada rakyat untuk mengelaborasi visi, misi, dan program paslon—tidak hanya sekadar datang, diam, dan meneriakkan yel-yel paslon. Inovasi tersebut juga dapat dilihat sebagai upaya dalam rangka memperkuat demokrasi deliberatif di perhelatan pemilu, khususnya pilpres.

Demokrasi deliberatif yang dihadirkan oleh para paslon yang berlaga dalam pilpres 2024 mampu memberikan ruang interaksi langsung antara paslon dengan pemilih—ruang tersebut dapat dimanfaatkan oleh pemilih untuk menguji isi kepala dari masing-masing paslon. Juga menjadi ajang bertukar pikiran mengenai pelbagai isu-isu penting dan secara langsung mendengar jawaban dari paslon. Di sisi lain, paslon telah membuka ruang partisipasi bermakna dan berperan penting dalam membuka ruang-ruang edukasi politik sebagai bentuk pertanggungjawaban untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Dan di saat yang sama, paslon tidak lagi melihat rakyat sebagai objek, tetapi subjek yang memiliki cara pandang yang berbeda dan harus didengarkan dalam rangka merumuskan kebijakan publik.

Demokrasi Deliberatif Menghadapi Tembok Tinggi

Jurgen Habermas berpandangan bahwa demokrasi deliberatif dapat menjadi alternatif jawaban dari segala persoalan demokrasi hari ini—termasuk yang sedang dihadapi oleh Indonesia. Hal ini dikarenakan demokrasi deliberatif menitikberatkan kepada komunikasi antara masyarakat dan pemimpin yang diistilahkan dengan ruang publik. Sehingga dapat diartikan bahwa kegiatan ini begitu menekankan pentingnya keterlibatan publik dalam membentuk keputusan politik yang lebih informatif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat. Hidupnya demokrasi deliberatif di tengah iklim demokrasi Indonesia diharapkan mampu menggeser paradigma elite politik yang lebih memprioritaskan kegiatan pengumpulan kerumunan massa pada satu titik dan mendeklarasikan dukungan, menjadi kegiatan diskusi dan memperkuat pandangan bahwa keputusan politik harus dihasilkan melalui proses yang rasional dan inklusif.

Meski banyak pihak yang memandang bahwa inovasi metode kampanye yang dihadirkan melalui “Desak Anies”, “Slepet Imin”, “Gelar Tikar Ganjar”, hingga “Tabrak Prof!” adalah langkah yang progresif dan mampu menghadirkan kebaruan, namun langkah-langkah tersebut belum mampu memberikan kemenangan kepada para paslon yang menghadirkannya. Kemenangan justru direngkuh oleh paslon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang notabene tidak menghadirkan metode kampanye seperti dua kompetitornya. Belum maksimalnya efektivitas metode kampanye yang menitikberatkan kepada partisipasi pemilih dalam mengelaborasi sebuah gagasan masih jauh dibandingkan dengan efektivitas penyebaran pelbagai konten di media sosial.

Metode kampanye yang sekaligus menghidupkan demokrasi deliberatif, seperti “Desak Anies”, “Slepet Imin”, “Gelar Tikar Ganjar”, hingga “Tabrak Prof!” memiliki keterbatasan dalam hal jumlah massa yang dijangkau—dan dalam konteks kontestasi politik elektoral, jumlah menjadi salah satu hal yang paling penting. Sehingga meski paslon nomor urut 1 dan nomor urut 3 mampu menghadirkan interaksi yang atraktif dengan pemilih, informasi-informasi yang dihadirkan memerlukan waktu panjang untuk mampu dipahami oleh masyarakat pemilih yang menyaksikannya melalui platform live streaming di YouTube.

Berbeda dengan dua kompetitor lainnya, paslon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka lebih memilih untuk membuat konten berdurasi singkat yang kemudian disebarluaskan melalui sosial media, sehingga dapat disaksikan oleh para pemilih yang sebagian besar adalah pengguna sosial media. Berdasarkan laporan dari Hootsuite We Are Social 2023 menyebut bahwa sebanyak 64,4% masyarakat Indonesia menggunakan internet. Jumlah tersebut setara dengan 212 juta penduduk Indonesia—sedangkan 77% dari pengguna internet di Indonesia atau setara dengan 167 juta orang adalah pengguna sosial media[2]. Sejalan dengan data tersebut, Prabowo Gibran dan Gibran Rakabuming Raka adalah paslon yang menggelontorkan dana paling besar untuk memasang iklan di Meta.

Dalam konteks memasang iklan di Meta, paslon Prabowo Gibran dan Gibran Rakabuming Raka menggelontorkan dana hingga Rp. 2,27 miliar. Jauh lebih besar tinimbang paslon Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang mengeluarkan dana iklan sebesar Rp. 1,05 miliar dan paslon Ganjar Pranowo dan Mahfud MD sebesar Rp. 847 juta[3]. Semakin besar jumlah dana serta besarnya daya produksi konten, maka paslon dapat dengan mudah mendominasi media sosial.

Kini, informasi layaknya air bah memenuhi daratan—menyulitkan rakyat dalam memilih dan memilah informasi yang jernih. Dalam kondisi dan situasi seperti ini, efektivitas dan efisiensi durasi dalam menyampaikan informasi menjadi jauh lebih penting dalam memenangkan sebuah kontestasi elektoral. Tetapi dari sudut pandang lain, meningkatkan kualitas dan integritas demokrasi melalui metode kampanye yang menitikberatkan kepada interaksi paslon dengan pemilih dalam rangka merumuskan kebijakan yang inklusif, jauh lebih penting.

Karena apabila mencoba kembali memaknai arti dari republik dan demokrasi, maka sejatinya seluruh kebijakan yang dilahirkan pemerintah harus bersumber dari rakyat dan kebijakan tersebut juga harus lahir dari kedaulatan rakyat itu sendiri. Bukankah begitu?

[1] Lihat Suseno F.M dalam Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama

[2] Lihat di “Gemoy, selepetan sarung, dan salam tiga jari – Upaya para capres ‘menutup mata’ Gen Z?” dapat diakses di https://www.bbc.com/indonesia/articles/cd1ppdxvw9no

[3] Ibid

Teddy Chrisprimanata Putra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email