Lahir dan dibesarkan di Manggarai Timur, Flores.

Sesumbar Demokrasi di Negeri Para Tiran

Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila

2 min read

Secara teoretis, demokrasi akan maju ke tahap yang lebih tinggi ketika ditopang oleh kritik publik. Tanpa kritik publik, demokrasi hanya tinggal ruang kosong. Di dalamnya tidak ada dialektika dan diskursus yang memungkinkan suatu negara dapat maju. Sebab, kemajuan dalam bernegara tidak hanya karena penemuan teknologi. Paling mendasar, kemajuan justru lahir dari adu kritik dan gagasan berbagai pihak. Di situ, terkandung makna dialektika publik.

Jika kita lebih serius membaca demokrasi di Indonesia pasca tumbangnya Soeharto, kritik publik masih cenderung kurang disikapi secara argumentatif. Yang muncul ke publik ialah tindakan-tindakan yang mencoba membungkam kritik. Padahal, salah satu semangat Reformasi 1998 ialah menggulingkan rezim totaliter Soeharto—yang tidak menyukai kritik terhadap kekuasaan.

Sayangnya, rezim pasca Reformasi malah mewarisi postur politik yang anti kritik. Sebut saja, dugaan kasus pencemaran nama baik Luhut Binsar Panjaitan oleh Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar yang menyeret keduanya ke hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Kemudian, yang terbaru, rundungan pejabat terhadap tiktoker Bima Yudho Saputro yang mengkritik nihilnya kinerja Pemerintah Lampung.

Baca juga:

Kedua kasus ini mencerminkan bagaimana kritik publik pada gilirannya disikapi dengan arogansi kekuasaan. Inilah yang berbahaya bagi kelangsungan demokrasi Indonesia yang tengah melepas jerat dari warisan struktur politik lama Orde Baru. Bukannya menyikapi secara rasional, pemerintah justru merendahkan kritik publik melalui berbagai upaya pembungkaman, kriminalisasi, dan intimidasi.

Tirani Kekuasaan

Dalam banyak aspek, kritik publik yang dibungkam cenderung membentuk tirani kekuasaan. Tirani kekuasaan ialah kekuasaan yang menjalankan kuasanya secara sewenang-wenang. Kekuasaan model ini tidak mengenal kritik. Sebab, ia dijalankan berdasarkan kehendak diri semata, tanpa prinsip dan nilai-nilai demokrasi.

Tirani kekuasaan inilah yang menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan demokrasi Indonesia saat ini. Tidak hanya melemahkan kualitas dan melanggar prinsip-prinsip dasar demokrasi, tirani kekuasaan juga melanggengkan status quo yang di dalamnya marak praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Ironisnya, praktik-praktik itu terjadi ketika sebagian besar masyarakat Indonesia mengalami kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi. Mereka harus berusaha keras untuk bisa mendapatkan seporsi makanan. Di sisi lain, ada elit yang dengan kuasanya melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme demi kepentingan diri sendiri.

Buat saya, ini menunjukan watak tirani yang bernafsu memperkaya diri melalui penyerobotan nilai dan prinsip demokrasi. Pada tingkat ini, demokrasi tidak hanya dipreteli melalui kekuasaan, melainkan juga mengalami pembusukan karena ruang untuk kritik sama sekali diabaikan oleh pemegang kuasa.

Paling jauh, tirani kekuasaan bisa menimbulkan banyak kerusakan sosial yang mesti ditanggung oleh masyarakat. Untuk itu, kritik publik diperlukan sebagai jalan tengah agar tirani kekuasaan tidak sampai sukses menimbulkan kerusakan sosial itu. Kritik publik mesti didorong agar kekuasaan tertib berpijak pada nilai dan prinsip demokrasi.

Memikirkan Indonesia lewat Kritik

Apa jadinya Indonesia hari ini jika Mohammad Hatta, Sukarno, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dan pejuang kemerdekaan Indonesia lainnya tidak melakukan kritik terhadap kekuasaan kolonial Belanda? Apakah Indonesia tetap menjadi Indonesia seperti hari ini? Buat saya, belum tentu Indonesia bisa seperti hari ini jika pejuang kemerdekaan itu berdiam diri dan pasrah.

Dengan segudang pengetahuan dan pengalaman, para pejuang kemerdekaan mengkritik kolonialisme dan imperialisme yang melahirkan perbudakan, kemiskinan, penderitaan dan malapetaka bagi bangsa Indonesia. Tidak mengherankan jika kritik mereka membuat mereka dibuang dan diasingkan oleh pemerintah kolonial. Namun, apakah kritik itu menguap begitu saja setelah mereka dibuang dan diasingkan? Tidak! Pemerintah kolonial di Indonesia justru banyak ditentang oleh negara-negara luar karena melanggar harkat dan martabat kemanusiaan di tanah jajahan.

Baca juga:

Indonesia hari ini dibentuk oleh kritik terhadap kekuasaan. Melalui kritik, Indonesia bisa mengumandangkan kemerdekaan pada tahun 1945. Melalui kritik, para pejuang memikirkan nasib bangsa Indonesia.

Inilah yang absen dimaknai oleh pejabat dan politikus hari ini. Mereka lupa bahwa melalui kritik itulah perubahan sosial, ekonomi, dan politik tercipta. Melalui kritik, Indonesia menjadi Indonesia yang seutuhnya. Tanpa kritik, belum tentu ada Indonesia seperti hari ini.

Pada akhirnya, kritiklah yang melahirkan kemajuan. Kritik adalah saluran yang harus dimaknai serta ditransformasikan sebagai perubahan. Negara tidak boleh alergi dan sinis, apalagi menggunakan instrumen kekuasaan untuk melemahkan dan membungkam kritik. Melalui kritik itulah kita semua ingin memajukan bangsa.

 

Editor: Emma Amelia

Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila
Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila Lahir dan dibesarkan di Manggarai Timur, Flores.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email