Bermain-main transdisiplin.

Gempa Cianjur dan Krisis Solidaritas dalam Wacana Teologi Bencana Kita

Amos Ursia

4 min read

“Gempa Cianjur adalah azab dari Allah karena kelompok LGBT telah menjamur di Cianjur.”

Hari itu saya terkejut melihat pesan salah satu grup WhatsApp tentang gempa Cianjur. Wacana yang mengaitkan gempa dengan azab selalu mendominasi perbincangan arus utama. Apalagi soal mencari golongan yang dianggap “penyebab utama”. Biasanya yang selalu disasar adalah kelompok rentan seperti LGBTQIA+, bahwa penyebab gempa pada hakikat spiritualnya adalah kesalahan kelompok rentan. Gempa bukan disebabkan oleh pergeseran lempeng atau aktivitas tektonik, melainkan karena apa yang dianggap “maksiat” dan “dosa-dosa”. 

Wacana seperti itu agaknya mengarusutama dalam pembicaraan soal bencana alam. Seakan-akan setiap ada bencana alam, harus ada kelompok rentan untuk dihakimi. Di sisi lain, ada hal yang lebih substansial tertutupi wacana arus utama seperti itu. Misalnya di manakah perbincangan soal solidaritas bagi korban gempa dalam teologi bencana kita? Di manakah perbincangan soal tenda pengungsian, trauma anak-anak kecil, dan krisis pangan secara teologis? 

Masalah ini kian menumpuk dan mengakar dalam berbagai tragedi kebencanaan, mulai dari bencana alam di Aceh hingga Cianjur. Sementara itu banyak institusi agama hanya mengeluarkan pernyataan berbelasungkawa dan bentuk-bentuk pernyataan normatif lainnya.

Menyoal Tafsir Parsial yang Sempit Hingga Krisis Solidaritas

Dalam pembacaan saya, terdapat masalah mendasar terkait tafsir-tafsir kitab suci yang selalu membaca fenomena kebencanaan secara parsial. Memang secara eksplisit terdapat ayat-ayat kitab suci yang mengaitkan bencana alam dengan permasalahan seperti dosa dan azab. 

Dalam kajian yang dilakukan Abdul Mustaqim, ia merangkum ayat dan tafsir yang mengaitkan bencana alam dengan kemurkaan Allah. Faktor isrâf atau berlebih-lebihan dalam melakukan “maksiat” dan eksploitasi pada alam menjadi salah satu penjelasan teologis mengapa bencana bisa terjadi. Gempa bumi (al-zalzalah) sendiri dikisahkan pernah terjadi pada zaman Nabi Musa, begitu pula dengan bencana-bencana lainnya. Secara teologis, menurut Mustaqim, bencana alam terjadi karena zhalim, jahl (berlaku bodoh), hingga takabbur. Terutama ketika manusia melakukan eksploitasi alam yang berlebihan, hal itu dicatat secara jelas dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 11, Q.S. al-Rum [30]:41, dan beberapa bagian kitab suci Al-Qur’an lainnya. 

Baca juga:

Hal senada terdapat juga dalam ajaran Kristen, ayat-ayat kitab suci tentang bencana alam banyak berkaitan dengan kehadiran bahkan kemurkaan Tuhan. Misalnya dalam kisah soal banjir besar pada masa Nuh, di mana kemudian Tuhan menyesal telah menciptakan manusia dan menghadirkan banjir besar sebagai hukuman (Kejadian 6:5-7). Bagian lain dalam Alkitab juga menunjukkan gempa bumi sebagai perwujudan kehadiran Tuhan, misal dalam kisah tentang Musa, di mana ketika Tuhan hadir maka Gunung Sinai bergetar hebat (Keluaran 19:18). Dalam Perjanjian Baru, ada bagian yang berkisah tentang gempa bumi yang membuat Paulus bisa keluar dari penjara untuk meneruskan misi Tuhan (Kisah Para Rasul 16:26).  Bencana alam sendiri, menurut Enggar Objantoro, bisa dilihat sebagai bagian dari komunikasi Tuhan pada ciptaan-Nya. 

Terlihat dimensi kebencanaan dalam tradisi Islam dan Kristen lebih banyak berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam. Untuk itu, ayat-ayat dan tafsir tersebut lebih kontekstual dilihat dalam isu krisis lingkungan hidup, di mana kemaksiatan semisal pengerukan sumber daya alam secara eksploitatif itu berdampak pada kerusakan ekologis. Kemaksiatan yang bersumber dari antroposentrisme akan bermuara pada bencana. Sehingga beberapa bentuk bencana alam yang merupakan konsekuensi dari eksploitasi alam bisa dibaca dalam kerangka “azab” dan “maksiat”. Pembacaan seperti ini sangat kontekstual dengan problem nyata yang kita hadapi pada era krisis iklim ini. 

Tetapi timbul permasalahan, ada pembacaan tekstualis sempit dan parsial terhadap ayat-ayat tersebut. Akibatnya ayat dan tafsir kemudian menjadi landasan bagi penghakiman massal pada golongan rentan yang dianggap penyebab dari bencana. Seakan ayat-ayat itu hadir untuk melegitimasi klaim soal kemaksiatan yang melanggengkan kekerasan terhadap kelompok rentan. Sehingga wacana tersebut bisa dipakai secara serampangan untuk menuduh yang Liyan sebagai sebab terjadinya sebuah bencana. 

Sementara itu tetap ada aspek penting yang luput dari perbincangan, yaitu tentang solidaritas. Dalam teologi pembebasan misalnya, solidaritas menjadi unsur utama dalam berteologi. Gustavo Gutierrez, seorang teolog pembebasan dari Peru, menuliskan banyak hal tentang “solidaritas Tuhan” pada ketertindasan umat-Nya. Sehingga adalah sebuah tugas dari komunitas iman untuk berkomitmen pada pembebasan kaum tertindas dari ketidakadilan sistemik. 

Begitu pula dengan Ali Syariati, Hasan Hanafi, hingga Hamid Dabashi, wacana solidaritas terhadap “mustadh’afin” sangat sentral. Bahkan, Allah sendiri bagi Hasan Hanafi menyatu dengan derivasi-Nya, Ia menyatu dengan ketertindasan manusia, kerusakan ekologis, dan penderitaan ciptaan-Nya. Tauhid atau keesaan Allah bagi Hasan Hanafi memungkinkan keterlindanan erat antara yang Ilahi dengan ciptaan-Nya. Solidaritas yang Ilahi pada ciptaan itu akhirnya mengisyaratkan manusia untuk menjunjung keadilan dan kesetaraan dalam segala dimensi kehidupan. 

Tantangan besarnya adalah, bagaimana membaca ulang teks-teks primer dalam tradisi beragama melalui kerangka solidaritas ini? Terlebih untuk merespons bencana alam yang pada hakikatnya selalu terhubung dengan problem sosio-ekonomi yang struktural, mulai dari kemiskinan, ketidakadilan, hingga ketimpangan. Dalam penekanan lebih terhadap solidaritas itulah upaya mengkambinghitamkan golongan rentan bisa dilampaui. Bahwa ada problem yang lebih mendasar dalam situasi kebencanaan yang mengharuskan komunitas iman untuk bersolidaritas melampaui batas-batas. 

Urgensi Mewacanakan Solidaritas dalam Bencana Alam. 

Solidaritas nampaknya menjadi aspek yang luput dan tersembunyi dalam perbincangan teologis soal bencana. Sementara tantangan besarnya adalah membaca bencana alam sebagai ruang untuk bersolidaritas dengan para penyintas bencana. 

Baca juga:

Dibandingkan sekadar mengeluarkan pernyataan berbelasungkawa, kita memerlukan wacana teologi yang merespons penderitaan dengan solidaritas, bahwa wajah Tuhan yang “mengutuk” tampak tidak begitu penting untuk dibicarakan di tenda-tenda pengungsian. Di hadapan rasa lapar dan duka akibat kehilangan keluarga, wajah Tuhan yang maha merengkuh dan sang pelindung lebih penting dibicarakan, lebih penting untuk diwujudkan dalam tindakan nyata, lebih penting untuk dihidupi dari hari ke hari. 

Dalam kondisi lapangan di Cianjur, justru saya melihat kerja solidaritas sudah dilakukan, bahkan oleh lembaga-lembaga berbasis keagamaan. Yang menarik banyak lembaga keagamaan justru saling bersolidaritas, baik dengan penyintas gempa maupun antarlembaga keagamaan itu sendiri. 

Yayasan Buddha Tzu Chi, Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBPI NU), Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), dan lembaga-lembaga penanganan bencana interdenominasi Kristen bahu-membahu bekerja sama. Mulai dari mendistribusikan logistik, membuat posko dapur umum, posko kesehatan, hingga mengevakuasi korban gempa. Kerja solidaritas antaragama melalui lembaga-lembaga penanganan bencana berbasis organ keagamaan ini cukup masif dan perlu diapresiasi. 

Saya kira-kira telah dua minggu berada di Cianjur, berpindah dari posko satu ke posko lain, dari tenda pengungsian satu ke tenda lain, dari desa ke desa lain. Upaya bersolidaritas begitu terlihat nyata dalam sudut-sudut Cianjur yang dipenuhi reruntuhan rumah. Melalui kerja solidaritas antaragama, saya memahami bahwa solidaritas pada akhirnya adalah bahasa kemanusiaan universal yang melampaui sekat-sekat keagamaan. Tetapi kemudian kerja solidaritas yang melampaui dekat ini tampak belum diwacanakan dalam tataran epistemik, dalam tataran teologis, dalam tataran kewacanaan. Akibatnya, wacana arus utama soal azab dan maksiat yang parsial tadi mengisi ruang arus utama perbincangkan teologi bencana kita. 

Apa yang terjadi di tenda-tenda pengungsian dan posko gempa antaragama nampaknya kerja sama dalam tataran praksis. Memang hal itu kemudian sangat sentral dalam situasi kebencanaan, tetapi belum cukup untuk menawarkan sebuah teologi bencana yang melawan parsialitas dan wacana dominan. 

Untuk itu, kerja solidaritas yang lebih luas dan epistemik dibutuhkan. Terlebih untuk melihat bencana alam secara utuh, tak cukup bila sekadar memakai perspektif mitigasi bencana. Di berbagai wilayah gempa di Cianjur terdapat problem yang lebih substansial, yaitu kemiskinan struktural, ketimpangan, hingga rusaknya lingkungan hidup. Sehingga tantangan lebih besar dan struktural itu bisa direspons melalui solidaritas yang melampaui batas-batas keagamaan. 

Merestorasi masyarakat Cianjur yang dilanda gempa bumi adalah merestorasi masyarakat yang setara, berkeadilan, dan memiliki akses yang sama terhadap sumber daya ekonomi. Melampaui sekedar “bantuan amal” karitatif dengan logistik-logistik pangan dan sandang, kerja solidaritas akhirnya perlu mengupayakan terciptanya keadilan sosial-ekonomi hingga keadilan ekologis bagi masyarakat Cianjur. 

 

Amos Ursia
Amos Ursia Bermain-main transdisiplin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email