absurddd~

Orang Baduy: Inspirasi Keharmonisan Hidup antara Manusia dan Alam

Aditya Yudistira

4 min read

Eksistensi urang Kanekes atau orang Baduy sudah lebih dulu ada sebelum lahirnya konsep atau bentuk negara di wilayah Nusantara. Orang Baduy bisa dikatakan sebagai sokoguru kehidupan manusia dengan manusia lainnya, maupun manusia dengan alam.

Orang Baduy mencontohkan kasih sayang kepada sesama manusia dan alam dengan prinsip kesetaraan. Mereka juga mengajarkan pentingnya penghayatan proses yang saling berkelindan antarmanusia serta manusia dengan alamnya. Bahkan, orang Baduy kerap menghindari segala bentuk kegiatan manusia yang bersifat destruktif kepada alam. Nilai-nilai inilah yang dapat menjadi tuntunan laku hidup masyarakat selain atau di luar Baduy. Mengingat dewasa ini, nilai-nilai tersebut semakin terkikis di tengah arus “individu-egoistik” yang mendatangkan arus eksploitasi hingga menyebabkan kerusakan alam dan membawa umat manusia menuju “kiamat”-nya sendiri.

Asal-usul

Berdasarkan asal-usulnya, keberadaan orang Baduy memiliki beragam versi yang dapat kita temukan dari pengetahuan sejarah. Seperti misalnya yang diungkapkan oleh Kusnaka dalam “Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai” (2000:47-49), pengetahuan umum yang diketahui tentang asal-usul keberadaan orang Baduy merujuk pada temuan atau pandangan para ahli Belanda meliputi: Penning (1902), Pleyte (1907), serta Yacob dan Meijer (1981). Semuanya senada beranggapan bahwa masyarakat Baduy bermukim di kawasan Gunung Kendeng karena faktor invasi atau desakan kekuatan Islam dari Kesultanan Banten.

Namun, mereka memiliki pendapat berbeda dalam mengemukakan asal-usul orang Baduy. Seperti Pleyte misalnya, ia mengemukakan bahwa orang Baduy berasal dari daerah Bogor yang merupakan pusat Kerajaan Padjajaran. Sedangkan Penning, serta Yacob dan Meijer mengemukakan bahwa orang Baduy adalah penduduk asli Banten. Lebih spesifik lagi, Yacob dan Meijer menyebutkan bahwa orang Baduy berasal dari Banten Utara. Sedangkan secara emik―pandangan dari orang Baduy sendiri―mengemukakan bahwa orang Baduy berasal dari Desa Kanekes, Banten, sejak pertama kali nenek moyang mereka turun ke bumi.

Selain itu, menurut Djoko dan Yuke dalam Urang Kanekes di Banten Kidul (2002:10-11), orang Baduy memiliki kepercayaan atau keyakinan terhadap Batara Tunggal sebagai suatu entitas yang menciptakan alam semesta dan pemberi berkah alam semesta, sekaligus pemberi pedoman hidup melalui perantara tujuh Bataranya dan para leluhur nenek moyang. Biasanya, kepercayaan tersebut dikenal sebagai Sunda Wiwitan.

Tentunya penghayatan kepercayaan ini tidak bisa digeneralisasi atau direduksi secara serampangan oleh pemangku kekuasaan pemerintah, dan harus diakui keberadaannya. Karena jika tidak, hal ini akan membawa pada pengerdilan nilai-nilai penghayatan kepercayaan orang Baduy dalam laku hidupnya sehari-hari. Kecenderungan lainnya, hal tersebut juga dapat meretakkan kristalisasi atau memiskinkan kekayaan pengetahuan sejarah budaya yang menjadi pondasi keberagaman manusia di Indonesia.

Berkat penghayatan kepercayaannya, orang Baduy memiliki pengetahuan dan pedoman nilai-nilai luhur yang masih eksis dan dilestarikan hingga kini. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran Covid-19 yang melanda dunia, namun kesehatan masyarakat Baduy masih cenderung stabil dan jauh dari hiruk-pikuk kepanikan maupun ketakutan penyebaran virus Corona.

Ketika masyarakat Baduy mengetahui informasi adanya Pandemi Covid-19, masyarakat Baduy meyakini ada yang tidak beres dengan alam akibat ulah manusia. Dari intuisi tersebut, kesinergian masyarakat Baduy dengan alam menjadi salah satu kesadaran yang tercerahkan ketika menghadapi suatu fenomena. Tidak hanya itu, sebagai bentuk siasat agar hidup selamat, masyarakat Baduy juga mengimplementasikan petuah adat dan leluhur sebagai pengobatannya, seperti melakukan pendisipilinan pembatasan diri dan melakukan ritual puasa.

Kesadaran orang Baduy dalam relasi antar sesama manusia dan manusia dengan alam, saling berkelindan atau menjadi satu-kesatuan yang tidak bisa pisahkan. Misalnya ketika orang Baduy ingin memenuhi kebutuhan hidupnya yang coraknya bercocok tanam. Dalam kegiatannya, ada dimensi kesetaraan gender yang juga berkaitan erat dengan romantisme maupun filosofis yang mendalam.

Baca juga:

Relasi yang Setara

Relasi pertama, bisa dilihat dalam kegiatan ngareremomokeun. Seperti yang dikemukakan oleh Cecep dalam “Konsep Budaya Kesejajaran Pria dan Wanita pada Masyarakat Baduy” (1999:252), kegiatan tersebut menjodohkan atau mengawinkan antara Nyi Pohaci Sang Hyang Asri (padi) dengan pasangannya, yaitu bumi. Kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan hidup tersebut juga sarat dengan ritual. Kata-kata, mantra-mantra, dan ungkapan-ungkapan yang terlontar adalah yang indah dan suci, sekaligus perilaku dan tindakannya, yang bisa dikatakan menunjukkan standarisasi moral orang Baduy. Musik angklung biasanya juga kerap dimainkan untuk menyanjung Nyi Pohaci. Nyi Pohaci yang disimbolkan sebagai padi yang juga diasosiasikan sebagai perempuan, sosoknya sangat dihormati, dijunjung, dan diperlakukan sebaik-baiknya. Perempuan dianggap sebagai sumber penghidupan, sehingga peran perempuan sangat bergantung dengan kekuatan dan kecerahan hidup orang Baduy.

Dalam kehidupan sehari-sehari, laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang dipikul secara bersama, baik dari segi pekerjaan rumah tangga maupun pekerjaan di ladang. Bekerja, dianggap orang Baduy sebagai suatu ibadah atau menjalankan ajaran dan anjuran spiritualitas maupun adat. Maka dari itu pula dalam perspektif orang Baduy, pekerjaan dan perbuatan tidak dilihat dari gender serta tidak memiliki pemisahan atau demarkasi secara ketat dalam pekerjaan laki-laki maupun perempuan.

Dengan kata lain, kesetaraan gender yang dimaksud adalah ketiadaan dominasi atau ketiadaan subordinasi antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari orang Baduy. Hal ini juga berlaku dalam kegiatan atau sistem kesukuan, bahwa perempuan (istri) menjadi syarat utama bagi seorang pemimpin. Jadi, seorang puun (kepala adat), jaro (kepala kampung), girang seurat (kepala ladang adat), dan pimpinan lainnya dalam kesukuan Baduy (yang dipegang oleh laki-laki), akan turun secara otomatis dari jabatannya bila istrinya meninggal dunia. Mengapa demikian? Karena perempuan (istri) dianggap sebagai stabilitator dan dinamisator seorang pemimpin kesukuan Baduy. Sehingga jika perempuan (istri) telah tiada, fungsi-fungsi sosial, budaya, dan religi dalam kehidupan kesukuan Baduy akan timpang dan tidak berjalan dengan baik.

Relasi kedua, perlakuan positif orang Baduy kepada alam, terlihat dalam tutur pikukuh-nya (adat istiadat). Ada sebuah pepatah yang cukup menggambarkan romantisme dan filosofis, yaitu “lojor teu menang dipotong, pondok teu menang disambung”. Bagi Garna dalam Ahmad pada “Pikukuh: Kajian Historis Kearifan Lokal Pitutur dalam Literasi Keagamaan Masyarakat Adat Baduy” (2020:85), pepatah tersebut berarti: panjang tidak boleh dipotong dan pendek tidak boleh disambung. Hal ini menyiratkan bahwa segala sesuatu harus dijaga apa adanya, tidak boleh ada rekayasa yang menyebabkan perubahan secara drastis jauh dari hal yang sesungguhnya.

Bagi kepercayaan orang Baduy, realitas sebagaimana adanya adalah hal yang baik dan harmonis. Sehingga jika direkayasa atau ada penambahan dan pengurangan akan mengakibatkan kedisharmonisan dan ketidakseimbangan. Akibatnya, segala sumber agraria di alam Baduy harus digunakan secara cukup dan dirawat kembali dengan kasih sayang. Hal ini bisa dilihat dari ladang orang Baduy. Ladang tersebut ketika telah digunakan akan menjadi huma.

Apa itu huma? Seperti yang dijelaskan oleh Ayip dalam Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya, Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi (2000:275), huma merupakan tanah pertanian berupa ladang padi dan palawija yang sehabis dipanen lalu ditinggalkan (tidak lagi digarap sehingga tanah berhumus kembali), sementara si penggarap (orang Baduy) berpindah-pindah ke tanah lainnya pada musim cocok tanam selanjutnya, baik dengan membuka tanah ladang baru maupun menggarap kembali tanah ladang yang telah lama ditinggalkan. Sehingga hal ini menjadi suatu pola masyarakat yang jauh dari kata destruktif.

Menurut Yudi dalam “Huma Orang Baduy dalam Pembentukan Sikap Swasembada Pangan” (2015:562), pengelolaan huma juga dilakukan menurut kepercayaan dan tradisi. Masyarakat Baduy harus mentaati pantangan atau tabu yang tidak boleh dilakukan di huma, seperti: tidak boleh dicangkul, tidak boleh diinjak kerbau, tidak boleh digarap dengan bajak; tidak boleh merokok, tidak boleh berkata kotor atau kasar, tidak boleh menggunakan pakaian yang kotor, hingga tidak boleh bekerja pada hari Selasa, Jumat, dan Minggu. Kecenderungan dari aturan tersebut merupakan upaya efisiensi input untuk semua proses produksi sebagai implementasi konsep low carbon society.

Kebudayaan Baduy sebagai Contoh

Dengan demikian, prinsip egaliter yang termaktub dalam kebudayaan Baduy dan dijunjung tinggi oleh orang Baduy, sudah seharusnya menjadi tuntunan masyarakat di luar Baduy atau masyarakat secara luas yang bercorak demokratis. Sehingga demokrasi, bukan hanya disemarakkan pada lingkup politik elektoral, melainkan kepada hal-hal yang lebih subtil, yaitu dalam laku hidup sehari-hari.

Selain itu, penghayatan kepercayaan orang Baduy juga sangat mungkin untuk menginspirasi kita, bahwa hidup yang diciptakan oleh Sang Maha Pencipta, tidak terlepas dari perantaranya yang memberikan kita kehidupan, yaitu manusia yang lampau (nenek moyang) dan alam. Alam sebagai pemberi kehidupan, sudah seharusnya diperlakukan secara setara, dengan kasih sayang, dan sebaik-baiknya. Karena jika tidak, alam sendirilah yang akan memberikan “malapetaka” terhadap kita dalam kedisharmonisan dan ketidakseimbangannya.

Lalu, jika sudah demikian, apakah manusia masih perlu angkuh karena merasa lebih superior terhadap alam? Dan bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidupnya selain yang diberikan oleh alam?

 

Editor: Prihandini N

Aditya Yudistira

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email