Peminat kajian filsafat (khususnya fenomenologi dan eksistensialisme). Menulis puisi, cerpen, novel, esai. Pernah belajar ilmu lingkungan di Universitas Gadjah Mada.

Menyentuh Batu, Angin dan Vibrasi

Candrika Adhiyasa

2 min read

Sekian ribu tahun lalu, ketika manusia mula-mula terhubung dengan alam semesta, tidak ada intelegensi yang memadai untuk menyusun definisi. Alam semesta dimaknai melalui tubuh, lantas kemudian terkonstruksi sebagai gagasan-gagasan transenden. Alam menjadi sesuatu yang menakutkan sekaligus mempesona, tremendum et fascinosum.

Dalam keterbatasan bahasa, ketika kosa kata belum berkembang dan belum memadai untuk mereduksi realitas ke dalam konsep, alam hadir sebagai suatu misteri, yang meskipun enigmatik tetapi bersikap layaknya seorang ibu; yang merawat dengan kasih sayang tak terbilang.

Sentuhan masih menjadi satu-satunya metode untuk bertegur sapa. Alam menghadirkan dirinya dalam wujud yang sukar dipahami. Dari histori semacam ini, di masa yang jauh di depan, para cerdik cendikia merumuskan suatu filsafat bernama fenomenologi. Saya teringat Husserl, atau Heidegger, atau Merleau-Ponty, yang hari ini hadir dengan begitu rumit sekaligus memikat. Alam tak cukup dijelaskan melalui “pikiran”, apalagi kuantifikasi yang kering.

Menyatu dengan Alam

Pada beberapa momen di musim hujan yang ragu-ragu, saya berjalan kaki di kaki Gunung Galunggung bersama beberapa kawan, mencari semacam suaka dari rutinitas yang mekanik. Kami mencari sumber air panas untuk rehat sejenak. Di sana angin berdesir mengusap dedaunan pinus dan pohon kurai, juga rumputan dan permukaan air yang jernih. Suara serangga merambat dari ujung ke ujung, lanskap begitu hidup. Telapak kaki kami menyentuh tanah liat yang basah, lantas melangkah dengan hati-hati melintasi tanjakan terjal. Cericit burung mengabarkan ekosistem yang masih bertahan dengan susah payah.

Sering terpikir; barangkali selama ini kita terlalu angkuh untuk menganggap bahwa alam dapat dimengerti sepenuhnya, melalui deskripsi-deskripsi berupa angka, tabel, dan grafik yang dingin, atau dengan sederet paragraf yang hanya menangkap bingkai terbatas. Saya teringat Kant, ada metafisika yang tak dapat dimengerti, ada noumena dalam benda-benda—dan hanya dapat dimengerti sebatas apa yang mereka tampakkan.

Kita masih terus saja melihat manusia merobohkan hutan dan mengebor gunung untuk beberapa lembar uang dan janji-janji pembagian proyek dalam motif politik. Seolah-olah alam adalah benda mati yang tidak berperasaan, yang tidak memiliki nilai intrinsik. Saya kira, mereka kekurangan permenungan, bahwa uang tidak bisa ditukar dengan nilai seni juga spiritualitas.

Mungkin beberapa di antara mereka akan menyergah, “apa perlunya nilai seni itu? Apa perlunya nilai spiritualitas itu?” Tentu saya tidak dapat menjawabnya dengan beberapa patah kata yang sederhana. Mereka, saya kira, hanya dapat memahami jawabannya melalui tubuh mereka sendiri, melalui sentuhan-sentuhan mereka sendiri, melalui pengalaman batin mereka sendiri—yang barangkali akan cukup sulit dimunculkan.

Baca juga:

Ketika tubuh saya menyatu dengan air panas tempo hari, saya mendapatkan berbagai informasi yang abstrak tetapi bisa dipahami: kehangatan itu bukanlah sebuah kesadaran palsu. Saya menyerapnya melalui kulit, lantas kemudian mencernanya melalui perasaan—juga nalar sampai batas tertentu. Ada yang hendak dikatakan alam: kehangatan tersebut bukan suatu komoditas yang mesti ditukar dengan adagium “pembangunan” atau upaya-upaya turisme.

Alam memiliki kemampuan untuk terluka secara emosional. Kehangatan yang saya utarakan—yang tentu sebatas interpretasi terbatas—merupakan suatu penyampaian kasih sayang, bahwa kita bisa bercengkrama begitu rupa dengan alam tanpa dakwa, tanpa kaca mata bisnis, tanpa motif politik. Alam dan kita berkawan tanpa kata-kata, dan hanya tergambar melalui beberapa jenis ekspresi wajah dan getaran halus yang disampaikan embusan angin.

Di balik ujung Gunung Galunggung, matahari mulai membenam, kami bergegas membersihkan diri. Ada sebuah tampian, pemandian terbuka dari bambu, yang menghadap ke dinding kaldera. Ketika membasuh rambut dengan sampo sambil telanjang, kulit kami mampu merasakan sejuknya angin, tetes gerimis, dan suara tonggeret. Senja dengan bercak ungu melintang, memberi tanda hari berganti—dalam hukum kalender selain Masehi. Ketika cahaya dunia perlahan pudar, kami merasa tidak memiliki apa-apa selain kepekaan yang terbatas.

Tubuh kami terisi energi sekaligus perasaan letih yang bergetar halus. Kami harus turun gunung, pulang ke kediaman kami di peradaban yang barangkali umum disebut kota, meninggalkan kehangatan dan kesejukan yang tak terpermanai seperti kasih ibu. Natura naturans, alam yang melahirkan. Saya kira alam memanglah sosok yang feminim. Artinya, segala bentuk logika dominasi, sebaiknya disimpan di rak penitipan bersama jaket, tas, helm, dan celana jeans. Alam adalah tempat telanjang, untuk melihat diri sendiri. Segala pakaian yang menutupi hipokrisi, sebaiknya disimpan sejenak sebelum kita menyentuh berbagai bentuk kasih sayang tak terbahasakan darinya.

Dalam perjalanan pulang, saya menyadari bahwa alam dan kami terhubung melalui vibrasi yang emosional. Tidak ada alasan menggadaikan alam demi kepentingan yang dangkal, banal, juga fana.

 

(30 Desember 2021)

***

Editor: Prihandini N

Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Peminat kajian filsafat (khususnya fenomenologi dan eksistensialisme). Menulis puisi, cerpen, novel, esai. Pernah belajar ilmu lingkungan di Universitas Gadjah Mada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email