Mitigasi Bencana Tenaga Siklon

Abeyasa Auvry

4 min read

April 2021 adalah bulan kelam bagi rakyat Nusa Tenggara Timur (NTT). Tanah tempat tinggal mereka luluh lantak dihantam Siklon Tropis Seroja. Data posko tanggap darurat bencana melaporkan jumlah korban tewas sebanyak 181 jiwa dan 47 orang hilang. Sementara itu, kerusakan material berupa rumah rusak berat sebanyak 17.124 unit, rumah rusak sedang 13.652 unit, dan rusak ringan 15.733 unit.

Bencana ini mengingatkan kita pada sebuah negara di tengah Samudra Pasifik, Vanuatu. Pada 2015, saat usia kemerdekaannya baru menginjak 35 tahun, Vanuatu dilanda badai hebat yang belum pernah terjadi sepanjang sejarahnya. Media dan pakar menyebut bahwa peristiwa itu merupakan salah satu bencana terburuk di wilayah Pasifik.

Baca juga: Semua Salah Cuaca?

Siklon tropis bernama Siklon Pam melanda negara kepulauan Vanuatu pada 13—14 Maret 2015. Dalam waktu singkat, angin kencang dengan kecepatan mencapai 340 km per jam tersebut memporakporandakan gugusan pulau yang dihuni 270 ribu jiwa itu. Gelombang air laut naik hingga setinggi 8 meter yang menyebabkan banjir besar di ibu kota Vanuatu, Port Villa.

Beberapa lembaga bantuan bahkan menyandingkan bencana dengan kekuatan Topan Haiyan yang menghantam Filipina pada 2013 di mana lebih dari 6.000 orang tewas. Beruntungnya, kepadatan penduduk Vanuatu tak sebesar Filipina sehingga Siklon Pam di Vanuatu hanya memakan 11 korban jiwa. Vanuatu memiliki kepadatan penduduk sebesar 24 jiwa/km2, sementara Filipina sebesar 352 jiwa/km2. Sementara kepadatan penduduk Provinsi NTT saat terkena Siklon Seroja sebesar 111 jiwa/km2. Artinya, semakin besar kepadatan penduduk akan berpotensi memakan lebih banyak korban jiwa saat terjadi bencana.

Anomali terjadi di Jepang. Pada 2019, negara itu dilanda Topan Hagibis dengan kecepatan 320 km/jam dan termasuk topan kategori 5. Kala itu, kepadatan penduduk negara Jepang sebesar 330 jiwa/km2. Namun, menurut Fire and Disaster Management Agency, korban jiwa berjumlah 98 orang dan korban hilang 7 orang. Lebih-lebih topan Hagibis ini melanda sisi timur Jepang yang mana terdapat kota Tokyo dengan kepadatan penduduk 6.158 jiwa/km2.

Topan Hagibis ini adalah topan paling besar yang Jepang alami sejak Topan Ida atau Kanogawa tahun 1958 yang menewaskan setidaknya 1200 orang.  Minimnya korban jiwa di Jepang ini menunjukkan bahwa sekalipun topan merupakan fenomena alam, besar atau kecilnya dampak bencana tergantung pada mitigasi yang dilakukan. Menurut Bambang Rudyanto (Rumah Pengetahuan, 17/2019), orang Indonesia yang telah lama tinggal di Jepang, pemerintah dan masyarakat terus belajar dari kejadian bencana sebelumnya. Peringatan datangnya Topan Hagibis telah disampaikan pemerintah berkali-kali melalui berbagai media, mulai dari televisi, telepon genggam, hingga pengumuman langsung melalui pengeras suara di tingkat kampung.

Tidak hanya memperingatkan skala risiko, tulis Bambang, pemerintah juga menginformasikan tentang apa yang harus dilakukan warga. Mulai dari mengecek kekuatan dan lokasi tempat tinggal, menyiapkan bahan makanan, hingga mengisi penuh baterai telepon genggam. Bagi warga yang tidak yakin dengan keamanan tempat tinggalnya, pemerintah sudah menyediakan tempat pengungsian, biasanya memakai gedung-gedung sekolah dan pemerintahan. Gedung-gedung tersebut sudah didesain sebagai tempat evakuasi. Di dalamnya tersedia beragam kebutuhan darurat, di antaranya bahan makanan, selimut, dan obat-obatan.

Upaya penyadaran bahaya bencana di Jepang dimulai sejak gempa pada 1 September 1923. Gempa dengan magnitudo 7,9 skala richter tersebut menghantam dataran Kanto, yang meliputi kota-kota penting di Jepang, seperti Tokyo dan Yokohama. Gempa itu menyebabkan 100.000 korban tewas dan membuat pemerintah berencana memindahkan ibu kota dari Tokyo yang luluh lantak. Ketidaksiapan pemerintah dan warga mengakibatkan parahnya dampak dari gempa tersebut. Lalu, pemerintah menetapkan 1 September sebagai Hari Pencegahan Bencana Nasional agar menjadi pengingat bagi seluruh warga terhadap pentingnya mitigasi bencana.

Upaya mitigasi bencana badai digencarkan semenjak Negeri Sakura dilanda Topan Kanogawa pada 1958 yang menewaskan setidaknya 1200 orang. Mitigasi yang dilakukan, antara lain pendidikan untuk anak-anak tentang sejarah bencana dan pelatihan kebencanaan untuk siswa setiap mendekati musim topan di bulan Agustus—September. Hasilnya dapat dilihat dari jumlah korban bencana Topan Hagibis yang jauh lebih sedikit dibanding Topan Kanogawa yang kekuatannya tak jauh berbeda.

Siklon di Indonesia

Indonesia hingga saat ini belum mampu meminimalkan dampak bencana siklon tropis, meskipun Pusat Peringatan Dini Siklon Tropis telah didirikan tahun 2008. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mendirikan divisi ini karena muncul Siklon Durga yang melanda Lampung, Bengkulu, Banten, dan Jawa Barat. Setahun kemudian, muncul Siklon Anggrek yang melanda Lampung, Sumatra Barat, dan Bengkulu. Siklon tropis yang melanda Indonesia baru-baru ini adalah sebuah anomali.

Dr. Armi Susandi, ilmuwan cuaca dan perubahan iklim dari Institut Teknologi Bandung (ITB), mencatat bahwa di era 1980-an, Indonesia belum mengenal siklon tropis. Baru pada periode akhir 1990-an dan 2000-an, siklon tropis mulai masuk ke wilayah Indonesia. Namun, posisinya masih jauh dari pantai sehingga nyaris tidak berdampak pada masyarakat.

Menurut BMKG, ada dua penyebab terbentuknya siklon. Tekanan udara yang rendah dan temperatur permukaan laut yang hangat. Biasanya, siklon tropis terbentuk di atas permukaan laut yang memiliki temperatur 26,5 derajat celcius. Kita tahu, laut merupakan tempat mengabsorpsi panas dan CO2 dari atmosfer. Oleh karena itu, ada kemungkinan kenaikan suhu muka air laut berasal dari kenaikan jumlah gas rumah kaca. Dengan kata lain, anomali munculnya siklon tropis di Indonesia merupakan dampak emisi gas rumah kaca.

World Research Institute (WRI) mencatat lebih dari setengah emisi gas rumah kaca global disumbang sepuluh negara di dunia, salah satunya Indonesia. Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan di tanah air sebesar 965,3 MtCO2e (Megaton setara CO2) atau setara 2% emisi karbon dunia. Total emisi Indonesia sangat bervariasi dari tahun ke tahun. Faktor yang paling mempengaruhi variasinya adalah kebakaran lahan gambut. Namun, mayoritas emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari sektor energi. Potsdam Institute for Climate Impact Research mencatat emisi per kapita Indonesia pada tahun 2018 mencapai 9,2-ton CO2e; lebih besar dari rata-rata global (7,0-ton CO2e) dan rata-rata di Tiongkok (9,0-ton CO2e), Inggris (7,7-ton CO2e), dan Uni Eropa (8,1 ton CO2e).

Perlu dicatat bahwa 94% emisi CO2 pada sektor energi berasal dari transportasi, industri, pembangkitan listrik, dan lain-lain (Enerdata, 2018). Emisi gas rumah kaca Indonesia meningkat hingga hampir tiga kali lipat antara tahun 1990 dan 2015 (+196%). Laju peningkatannya diperkirakan akan semakin bertambah hingga 2030. Dari 2012 hingga 2017 saja, peningkatan emisi CO2 pada pembangkitan listrik, sektor industri, dan sektor transportasi Indonesia sudah sebesar 18%. Energi buang hasil pembakaran yang kita rilis ke atmosfer tersebut akan terjebak sehingga meningkatkan kekuatan dan cakupan badai. Sangat menyedihkan saat mengetahui ternyata pembangunan yang digalakkan pemerintah kita turut andil menjadi penyebab bencana bagi sesama.

Baca juga: Jokowi Govt Justifies Forest Destruction for Development, But What Development?

Tenaga Siklon

Program pembangkitan listrik 35 ribu megawatt adalah bukti bahwa pemerintah sedang menanam bom waktu. Sebagian besar pembangkitan yang akan dibangun adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Bahan bakar pembangkitan jenis ini adalah energi kotor yang bersumber dari bahan bakar fosil atau energi tak terbarukan seperti batu bara dan minyak bumi. Proses eksploitasi sampai konversi energi dari keduanya tidak ramah lingkungan. Perlu dicatat, per bulan Mei 2020 sumbangan energi fosil dari seluruh pembangkit listrik Indonesia mencapai 60.485 megawatt atau setara 85,31% dari total kapasitas terpasang nasional. Jumlah sebesar itu memiliki daya degradasi lingkungan yang teramat besar.

Seperti selayaknya hukum termodinamika pertama, energi tidak dapat diciptakan dan dihancurkan. Energi hanya bisa dikonversi dari satu bentuk ke bentuk lain. Kekuatan siklon adalah wujud konversi energi dari hasil pembakaran yang terbuang ke energi kinetik angin. Artinya, semakin banyak energi sisa pembakaran yang kita buang ke udara, semakin besar pula energi angin dari siklon.

Menanggulangi hal ini, setidaknya ada dua pilihan yang bisa kita lakukan. Pilihan pertama, upaya preventif dengan menekan pengeluaran energi ke udara. Hal ini bisa dilakukan dengan penghematan skala besar atau mengganti bahan bakar pembangkit.

Jika tidak bisa, pemerintah dengan pengetahuan futuristiknya bisa memilih mengonversi lagi energi dari kekuatan siklon yang makin hari makin dahsyat ini agar dapat bermanfaat bagi kita semua. Energi kinetik siklon yang berupa hujan lebat, angin kencang, dan limpasan banjir menyimpan energi yang begitu besar. Energi tersebut dapat kita konversikan, simpan, dan distribusikan.

Mudahnya, kita perlu membangun pembangkit listrik tenaga siklon dan meninggalkan batu bara.

Dua pilihan itu hanya dan hanya bisa dilakukan pemerintah. Lain tidak.

Abeyasa Auvry

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email