Suasana politik domestik Korea Selatan sedang mengalami situasi yang kurang kondusif. Pada malam hari 3 Desember 2024, Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol secara mendadak memberlakukan kondisi darurat militer di negaranya, walaupun dalam waktu satu malam Parlemen Nasional Korea Selatan berhasil membatalkan status tersebut. Setelah selesai pada proses di parlemen, masyarakat Korea Selatan tidak hanya diam saja melihat kondisi negara mereka yang tiba-tiba hampir mengalami perubahan situasi secara ekstrem. Selama dua hari belakangan (4-5 Desember 2024), berbagai kalangan masyarakat turun ke jalan untuk melancarkan aksi protes, dan rata-rata tujuan aksi tersebut adalah untuk meminta Presiden Yoon turun dari jabatannya.
Aksi turun ke jalan, apalagi para mahasiswa tentu menjadi sebuah ciri khas dari negara demokrasi ketika proses check-balance harus tetap terjaga. Bahwa presiden, sebagai pemimpin negara, tidak bisa berlaku semena-mena tanpa ada landasan konstitusi yang jelas. Terlebih, jika ada sebuah kesalahan, tentu sebagai pemimpin negara harus secara gagah berani menunjukkan tanggung jawabnya.
Namun, bukan hal tersebut yang menjadi sorotan dari aksi demonstrasi di Korea Selatan. Ada yang menarik pada proses demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat, yaitu menyanyikan salah satu lagu girl group legendaris Korea Selatan, SNSD yang berjudul “Into the New World”.
Lagu ini bukan pertama kalinya dikumandangkan ketika demonstrasi di Korea Selatan. Pada tahun 2016 misalnya, lagu ini pertama kali dinyanyikan oleh para mahasiswa Ewha Woman University yang memprotes adanya privilege bagi mantan mahasiswa mereka yang didapatkan dari Presiden Park Geun-hye. Protes tersebut kemudian semakin meluas dan mengungkap skandal korupsi dari presiden perempuan di Korea Selatan tersebut. Semenjak kejadian tersebut, kumandang lagu “Into the New World” hampir selalu terdengar di setiap aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat Korea Selatan.
Lalu, apa kaitannya kumandang lagu dengan aksi demonstrasi atau gerakan sosial? Secara konsep, menurut pemikiran dari Durkheim yang dirujuk Awad & Bagoner dalam tulisan berjudul Protest Symbol, kreativitas dan koherensi pada perilaku massa bisa dimunculkan dari adanya simbol, ritual atau tradisi yang disepakati bersama. Dengan adanya simbol dan sebagainya yang disepakati bersama, maka kemudian akan ada transformasi dari individu biasa menjadi sebuah kelompok dengan identitas yang sama.
Merujuk dari sumber yang sama, simbol sendiri bisa dijadikan sebagai sebuah trigger yang emosional dan cenderung kognitif, dibandingkan hanya dengan kata-kata motivasi untuk melakukan sesuatu. Terlebih, simbol sendiri tidak hanya diartikan sempit dalam hal gambar, namun juga bisa karya seni seperti lagu, lukisan ataupun budaya tradisional yang sudah ada di masyarakat. Untuk itulah, sebuah lagu pop seperti “Into the New World” justru lebih mudah diterima sebagai simbol pergerakan untuk masyarakat dalam sebuah aksi. Hal ini tentunya sejalan dengan upaya diplomasi budaya Korea Selatan yang bertahun-tahun sudah dilakukan, yaitu dengan Hallyu.
Baca juga:
- Memahami Kenikmatan Fangirling K-Pop
- Fandom K-pop dan Suara Kebebasan Perempuan Indonesia
- BTS dan ARMY: Pesan Bersatu, Mencintai Diri, dan Berbagi
Penggunaan lagu K-pop tentunya memberikan nilai tambah tersendiri bagi aksi massa di Korea Selatan. Seperti yang disinggung sebelumnya bahwa simbolisasi dengan seni bisa membuat individu yang awalnya hanya orang biasa, bertransformasi ke dalam sebuah kelompok dengan identitas dan tujuan yang sama. Terlebih, seperti yang diungkapkan oleh Kim Pil-ho dalam tulisannya yang berjudul Songs of the Multitude: The April Revolution, the 6.3 Uprising, and South Korea’s Protest Music of the 1960s, bahwa musik, apalagi K-Pop bisa menjadi sarana dalam mempersatukan berbagai macam bagian dari masyarakat, dari berbagai usia maupun kelas. Ditambah lagi, pemanfaatkan sesuatu yang sedang populer akan mempermudah penyebaran “resonasi” dari gerakan massa tersebut. Dengan kecenderungan lagu K-Pop yang memiliki nada dan vibes yang vibrant, membuat pembawaan lagu tersebut di saat aksi turun ke jalan menjadi lebih festive dan menarik perhatian.
Pada lagu “Into the New World”, lirik yang sering dinyanyikan dengan penuh semangat dan secara bersamaan ada pada bagian yang memiliki makna:
특별한 기적을 기다리지마: Don’t wait for any special miracle
눈앞에선 우리의 거친 길은: Our rough path in front of us
알 수 없는 미래와 벽 바꾸지 않아: Might be an unknown future and challenge
포기할 수 없어 : But we can’t give up
Alunan lirik tersebut menjadi semangat tersendiri bagi para aktivis yang sedang turun ke jalan. Kata menyerah tidak ada pada catatan mereka. Pilihannya adalah terus berjuang untuk demokrasi yang lebih baik di Korea Selatan. Terutama pada kasus tindakan presiden yang dipandang semena-mena dan melawan konstitusi.
Baca juga:
- Terperangkap Jebakan Inkonstitusionalitas
- Membajak Mahkamah Konstitusi, Mengorupsi Demokrasi
- Momen Ketika Politisi Mengontrol Mahkamah Konstitusi
Cerita yang terjadi di Korea Selatan seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat-masyarakat sipil di negara-negara lainnya. Bahwa budaya populer, justru bisa digunakan dan dimanfaatkan sebagai identitas baru yang menggerakkan massa dalam mencapai tujuannya. Gerakan sosial yang terjadi di Korea Selatan hampir selalu leaderless. Tidak ada pihak atau individu yang muncul sebagai pemimpin dari sebuah gerakan. Tetapi, mereka memanfaatkan jaringan dan juga kelompok-kelompok yang sudah solid untuk saling membantu pada sebuah isu yang sedang diangkat. Ditambah dengan pemanfaatkan teknologi yang mutakhir, tiadanya pemimpin gerakan tidak lagi menjadi masalah bagi aktivis untuk terus menjalankan aksinya.
Jika misalnya dilakukan di Indonesia, kira-kira lagu pop apa yang paling cocok untuk dijadikan anthem demonstrasi? Sepertinya lagu-lagu perjuangan dari Iwan Fals masih sangat relevan untuk digaungkan di tengah massa, karena bersifat timeless. (*)
Editor: Kukuh Basuki