Bagaimana mungkin kita bisa percaya pada putusan MK ketika hakim ketuanya adalah adik ipar presiden? Lebih-lebih, perkara permohonan judicial review-nya berkaitan langsung dengan keponakan sang hakim ketua yang juga merupakan anak presiden. Benarkah Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang independen?
Putusan tentang batas usia capres dan cawapres yang dibacakan pada Senin, 16 Oktober 2023 lalu menandakan bahwa MK telah tunduk pada kepentingan politik. Tidak berlebihan jika Dosen Fakultas Hukum UGM, Herlambang, menyebut MK sebagai Mahkamah Kartel, yakni sebuah lembaga yang berkomplot untuk memuluskan kepentingan politisi dan penguasa.
Bukan kali ini saja MK membuat geger dan mengoyak kepercayaan publik. Sebelumnya, Hakim Akil Mochtar dan Patrialis Akbar terjerat skandal korupsi. Akil Mochtar yang saat itu menjabat Ketua MK terlibat mega korupsi suap perkara sengketa pilkada. Kemudian, Patrialis Akbar terjerat suap dan divonis 8 tahun penjara. Ia merupakan Politisi PAN, yang sebenarnya sejak pengangkatannya saja telah dinilai kontroversial dan terjadi konflik kepentingan. Pengangkatannya oleh SBY dinilai oleh beberapa pihak bernuansa politis mengingat SBY merupakan besan Hatta Rajasa, Ketua Umum PAN waktu itu.
Tidak hanya itu saja preseden buruk MK, pencopotan Hakim Aswanto merupakan sebuah upaya intervensi politik terhadap kekuasaan kehakiman. Aswanto diberhentikan hanya karena sering menganulir aturan perundang-undangan yang dibuat oleh DPR. Tentu saja alasan tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum karena sama sekali tidak termuat dalam pengaturan pemberhentian Hakim MK dalam Peraturan MK No. 04/2012.
Seolah tidak cukup dengan semua fakta itu, baru-baru ini DPR menetapkan seorang politisi PPP, Arsul Sani, menjadi Hakim Konstitusi tahun 2024.
Baca juga:
Kepentingan Politik Jangka Panjang
Sejak awal, pembentukan Mahkamah Konstitusi bukanlah atas dasar urgensi hukum, tapi sarat akan kepentingan politik. Dalam buku Risalah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Ketiga Buku IV tentang Kekuasaan Kehakiman, ada tiga wacana terkait kedudukan MK. Ketiga wacana tersebut adalah MK menyatu dengan MPR, MK memiliki kamar tersendiri pada Mahkamah Agung, dan MK sebagai lembaga kehakiman yang independen dan mandiri. Perdebatan wacana tersebut sangat alot hingga sidang Panitia Ad Hoc Tahun 2000 tidak menghasilkan persetujuan apa pun tentang kedudukan Mahkamah Konstitusi.
Pemakzulan Abdurrahman Wahid pada 23 Juli 2001 menjadi momentum politik yang mengubah situasi. Setelah perdebatan yang panjang tersebut, pendirian Mahkamah Konstitusi dan fungsi judicial review dipandang bukan hanya sebagai solusi setelah krisis politik pemakzulan Abdurrahman Wahid, tetapi juga kepentingan politik jangka panjang agar presiden di masa mendatang tidak serta merta dapat dimakzulkan karena alasan politis. Ini merupakan keputusan kompromis nan politis dengan maksud melindungi presiden terpilih dari golongan partai tertentu di masa mendatang.
Yudisialisasi Politik
Di abad ke-21 ini, marak penyelesaian perkara moral, hak-hak individu, reproduksi, sampai kontroversi politik dalam ranah peradilan pada lembaga kekuasaan kehakiman. Neil Tate menyebutnya sebagai judicialization of politics (yudisialisasi politik). Ini berarti lembaga kehakiman tidak hanya mengurusi perkara yang bersifat yudisial saja, tapi juga politik. Adanya Mahkamah Konstitusi merupakan ekspansi kepentingan politik pada lembaga peradilan.
Ran Hirschl mengatakan bahwa perilaku hakim konstitusi dalam memutus perkara dipengaruhi oleh opini publik, ideologi personal, pertimbangan kolegial, latar belakang profesional, dan kebijakan strategis yang diputuskan oleh lembaga lain. Perkataan Presiden Jokowi yang berkaitan dengan ketidakpuasan atas pembuatan produk undang-undang lantas ditindaklanjuti lewat uji materi oleh Mahkamah Konstitusi adalah bentuk juristocracy. Dengan kata lain, pengujian undang-undang yang dilakukan di MK merupakan dalih untuk memuluskan pembuatan kebijakan secara (in)konstitusional, bahkan memuluskan agenda politik penguasa.
Baca juga:
Mengangkangi Konstitusi
Hal yang kontras tren perilaku MK ini adalah dissenting opinion Hakim Konstitusi Saldi Isra. Ia menyatakan secara terang-terangan ada “misteri” di balik berubahnya pendirian beberapa hakim konstitusi secara tiba-tiba. Plot twist dari yang awalnya menyepakati bahwa perubahan pasal yang mengatur batas usia minimum calon presiden merupakan open legal policy seketika berubah hanya karena alasan pernah menjabat sebagai kepala daerah. Sangat jelas terlihat bahwa beberapa hakim inkonsisten dan argumentasi tersebut lemah.
Saldi Isra juga menyatakan ada kejanggalan dalam gerak-gerik Ketua MK, Anwar Usman, yang sering kali absen dalam rapat permusyawaratan hakim. Polah Anwar berbanding terbalik ketika MK akan memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, yang sejak dimohonkan sangat jelas terjadi konflik kepentingan. Pemohon menyebut langsung nama keponakan Hakim Ketua MK, Gibran Rakabuming Raka, yang digadang bakal menjadi cawapres dalam permohonannya tersebut.
Kekhawatiran Saldi Isra menjadi kenyataan. Berubahnya pendirian para hakim bukan hanya fiksi belaka seperti yang ia nyatakan pada saat membacakan putusan. Ia menganggap bahwa putusan hakim tidak disertai dengan pertimbangan hukum yang logis.
Wahiduddin Adams, dalam pertimbangan hukumnya, menggambarkan bahwa masalah MK dalam memutus perkara ini berkaitan dengan independensi dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Menurutnya, memutus perkara ini mudah saja jika dilihat dari kacamata yuridis, tetapi menjadi pelik karena MK terlalu menanggapi muatan politis. Alhasil, terlihat jelas MK memihak, termasuk untuk persoalan yang sebenarnya bukan ranah MK.
Pakar Hukum Tata Negara FH UGM, Zainal Arifin Mochtar, beranggapan bahwa kalaupun MK mau mengabulkan permohonan batas usia capres-cawapres, MK lebih dahulu perlu menyadari untuk tidak terlibat dalam kepentingan politiknya secara langsung. Misalnya, dengan memberlakukan putusan MK tersebut pada pemilu yang akan datang, tidak langsung diberlakukan untuk pemilu saat ini.
Ke depannya, kita mesti ingat selalu bahwa Mahkamah Konstitusi pernah sangat blak-blakan mengangkangi konstitusi dengan mengabulkan perkara bernuansa kepentingan penguasa. Jangan-jangan, untuk seterusnya MK hanya akan menjadi lembaga predator untuk melindungi dan memuluskan regulasi yang dibentuk oleh DPR? Atau bahkan, memang benar bahwa MK hari ini telah semakin kukuh menjadi Mahkamah Kartel? Bagaimana bila ternyata tugas MK hanya berkomplot memberikan karpet merah bagi elit yang berencana naik takhta?
Catatan panjang sejarah kelam ini tidak boleh terulang di masa mendatang. Hakim MK harus bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Tugas kita bersama untuk terus mengawal dan mengkritisi gerak-gerik MK.
Editor: Emma Amelia
very insightful