Pemilihan kepala daerah serentak di Indonesia sudah dilaksanakan. Rutinitas elektoral ini menjadi panggung bagi masyarakat untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah. Di sini, warga berhak memilih figur potensial yang bisa menyelesaiakan masalah dan mampu merepresentasikan kepentingan warga. Meskipun harus juga diakui, demokrasi elektoral di Indonesia masih menyisakan beberapa problem, seperti menjamurnya politik uang dan politik berdasar kekerabatan.
Namun, terlepas dari soal itu, pilkada bukanlah rutinitas politik elektoral yang hanya berakhir di tempat pemungutan suara (TPS). Pemaknaan pilkada justru terletak pada “relasi warga dan pemimpin” yang memungkinkan adanya relasi timbal balik. Di sini, warga bergantung pada kebijakan pemimpin yang mereka pilih. Kebijakan tersebut berkaitan dengan aspek kesejahteraan ekonomi, jaminan sosial, pembangunan infrastruktur, dll. Sementara itu, pemimpin membutuhkan partisipasi warga, yang memungkinkan mereka mampu mendesain kebijakan yang tepat sasaran.
Dalam relasi timbal balik (reciprocal relation), posisi masyarakat sipil tidak ditentukan oleh kepentingan penguasa. Artinya, gerakan masyarakat sipil (civil society movement) tak berada dalam kendali politik penguasa, yang mengakibatkan adanya pembungkaman. Namun, relasi timbal balik didasarkan pada kemampuan dan sikap politik untuk melakukan pengawasan (controlling), evaluasi (evaluation), dan kritik. Pada titik inilah sebenarnya gerakan masyarakat sipil memberi dorongan dan rangsangan bagi bekerjanya demokrasi lokal.
Masyarakat Sipil Setelah Pilkada
Sejauh mana ide dan gerakan politik ini berhasil dibangun masyarakat sipil pasca pilkada? Pada titik mana gerakan masyarakat sipil berhasil mengonsolidasikan dirinya dalam arena politik di tingkat lokal? Apakah demokrasi elektoral pasca pilkada dapat mendorong agenda masyarakat sipil terfasilitasi melalui struktur politik negara? Atau jangan-jangan kebalikannya, gerakan masyarakat sipil mengalami “pembalikan arah” (direction reversal) oleh agensi politik antagonis di level politik lokal, seperti oligarki lokal, ASN korup, maupun faksi-faksi politik yang menginginkan pelemahan masyarakat sipil?
Baca juga:
Sebelum lebih jauh melihat gerakan masyarakat sipil di level lokal, kita perlu melihat secara makro karakter dan kondisi gerakan masyarakat sipil itu sendiri. Studi Vedi R. Hadiz (2005), mencatat bahwa pasca kejatuhan Soeharto, kondisi negara lemah, sementara posisi masyarakat sipil terpecah-pecah dan tak teratur. Menurut Vedi, kondisi ini dilatarbelakangi oleh keadaan ekonomi-politik pada waktu itu yang mengalami krisis.
Mengikuti pendapat Vedi Hadiz di atas, kita bisa menengok gerakan dan karakter masyarakat sipil saat ini. Terlihat bagaimana sebetulnya yang terjadi ialah masyarakat sipil nyaris tak dapat mengimbangi jalannya kekuasaan dan pengambilan kebijakan negara. Ada banyak contoh kasus yang bisa disebutkan di sini. Misalnya pengesahan Rancangan UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, pengesahan Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan pengesahan Putusan Mahahkmah Konstitusi Nomor 90/PUU/XXI/2023 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
Pengesahan UU ini meskipun menimbulkan protek publik yang luas di berbagai daerah di Indonesia, tetapi toh tetap disahkan. Gerakan masyarakat sipil memang memelopori banyak protes terkait disahkanya UU kontroversi tersebut. Tetapi, gerakan-gerakan itu tak mampu membendung proses pengesahan UU tersebut. Ini menandakan bahwa gerakan masyarakat sipil, selain belum mengimbangi kekuasaan, secara internal masyarakat bisa jadi tak memiliki ‘sikap politik yang sama’.
Lantas, apakah konteks makro semacam itu akan berulang di tingkat lokal, dengan karakter politik yang berbeda-beda di setiap wilayah? Di tingkat lokal, menurut saya, gerakan masyarakat sipil justru mampu meng-counter jalannya kekuasaan. Jika di tingkat makro gerakan masyarakat sipil mudah digembos, di tingkat lokal gerakan masyarakat sipil mengambil posisi yang berbeda dalam mengawasi bekerjanya kekuasaan sekaligus membangun konsolidasi demokrasi.
Adanya Kepentingan Bersama
Ada alasan kuat mengapa gerakan masyarakat sipil di level lokal lebih solid pasca pilkada ketimbang di level nasional pasca pemilu. Pertama, kebijakan subtansial. Kebijakan ini berkaitan secara langsung dengan hidup sehari-hari masyarakat lokal, seperti akses pada kesejahteraan ekonomi, infrastruktur publik, dan kebijakan lain yang secara langsung memengaruhi kondisi hidup masyarakat lokal.
Baca juga:
Penting dicatat, ini bukan berarti menegaskan bahwa kebijakan di level nasional tak berpengaruh pada kondisi hidup masyarakat lokal. Sebaliknya, menurut saya, kebijakan pemerintah daerah yang secara langsung mengakibatkan terpinggirnya masyarakat lokal akan lebih sensitif mengundang gerakan. Artinya, apabila tiba-tiba ada keputusan pemda yang secara langsung menyentuh aspek hidup masyarakat lokal, gerakan masyarakat sipil akan lebih berpotensi muncul, karena elemen-elemen di dalamnya seperti petani, nelayan, dll mengalami langsung dampaknya.
Kedua, dibaca dari aspek territorial, menurut saya, gerakan masyarakat sipil pasca pilkada di level lokal akan lebih solid dan punya agenda konsolidasi yang terorganisir. Mengapa? Pertama, Jika di tingkat makro gerakan masyarakat sipil menghimpun berbagai elemen-elemen yang berbeda-beda, yang juga memiliki kepentingan yang berbeda-beda.
Kedua, karena cakupannya yang lebih luas, pengorganisasian gerakan yang independen dan terorganisir akan sulit diwujudkan. Karena bisa jadi elemen-elemen di dalamnya, dengan karakteristik politik yang berbeda, memiliki sikap atau pandangan politik yang berbeda, dan bisa jadi gerakan independen akan sangat sulit diwujudkan.
Sementara sebaliknya, di tingkat mikro (daerah), gerakan masyarakat sipil lebih mudah terorganisir karena elemen-elemen di dalamnya memiliki kepentingan yang sama dalam mendesak hak-hak mereka untuk diakomodasi oleh pemerintah. Dengan sikap politik yang sama, mereka akan cenderung mengambil sikap politik untuk membangun geraka karena berada dalam “tekanan kepentingan yang sama” yang mengharuskan adanya gerakan.
Menurut saya, di level lokal pasca pilkada, gerakan masyarakat sipil yang lebih solid, terorganisir, dan independen bisa diwujudkan. Yang menjadi masalah ialah, tak ada aktor yang memiliki konsistensi untuk membangun gerakan ini dan lemahnya isu-isu yang dibangun untuk menggerakan elemen yang berbeda-beda, yang tentu akan punya cara pandang berbeda dalam menyikapi suatu isu.
Editor: Prihandini N