17 November lalu, seorang warga Desa Ketapang Laok di Kabupaten Sampang tewas dikeroyok menggunakan celurit. Pangkal masalahnya adalah cekcok soal pilkada. Debat berujung maut. Sialnya, ada pihak yang sempat-sempatnya merekam peristiwa berdarah itu. Videonya lalu viral di berbagai platform media sosial. Tak pelak, viralnya video itu segera jadi siraman bensin yang mengobarkan api komentar rasis terhadap Madura.
Beberapa tahun terakhir, rasisme terhadap Madura tumbuh subur di media sosial, terutama di Instagram dan TikTok. Berangasan, norak, kumuh, tidak bisa diatur, serta maling adalah beberapa cap yang tanpa ampun digelontorkan warganet pada orang-orang Madura. Terutama di akun-akun media massa Surabaya yang mengunggah konten negatif soal para pendatang Madura, komentar templat semacam “sudah benar dipisahkan selat, malah dibangun jembatan” berceceran seperti tai ayam di kandang ternak. Kalau antologi komentar rasis itu mau dikompres dalam satu kata, Madura itu: keras. Tapi, benarkah demikian? Untuk menjawabnya, kita perlu mengurai dulu rasisme sebagai biang kerok persoalan.
Rasisme terhadap Madura sedikit banyak disumbang oleh bapuknya pengetahuan geografi banyak orang. Saya sering berjumpa orang-orang yang tidak tau bahwa di Madura itu ada 4 kabupaten (apalagi bahwa Madura punya gugus kepulauan yang merentang sampai sejajar Nusa Tenggara Barat). Ini membuat mereka enteng mengomentari peristiwa yang hanya terjadi di satu kecamatan/kabupaten sebagai fenomena umum di Madura. Padahal, sekali lagi, Madura terdiri dari 4 kabupaten. Masing-masingnya punya bentang alam, lanskap kebudayaan, dan karakter masyarakat yang berbeda. Di Kabupaten Sumenep sendiri, tempat saya berasal, gaya bicara orang dari tiap kecamatan bisa berbeda-beda. Ada yang cepat dan bernada tinggi, ada yang perlahan dan nyaris berbisik, ada juga yang berayun seperti gelombang di segara. Itu baru soal gaya bicara, belum yang lain-lain. Belum lagi, kebudayaan Madura ‘persemakmuran’ juga tersebar secara geografis di daerah Tapal Kuda (Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi). Madura seberagam dan seluas itu. Tentu sangat konyol menganggap mayoritas orang Madura berperangai sama. Itu sekonyol menganggap mayoritas orang Jawa pasti hobi klitih hanya karena segelintir bocah puber di Jogja khusyuk melakukannya.
Selain itu, rasisme juga disokong oleh cara pandang tunggal soal kebudayaan. Cara pandang ini melihat lanskap kebudayaan suatu etnis/kawasan dalam imaji tunggal. Seringkali, imaji tunggal itu dibingkai oleh klaim keaslian. Beginilah budaya Madura yang asli, beginilah Jawa yang orisinil, beginilah karakter budaya Timur yang otentik. Imaji tunggal ini hanya berasal dari mata si penatap dan menomorsekiankan pihak yang ditatap. Dengan kata lain: cara pandang tunggal itu hanya punya ‘satu mata’, kayak Dajjal.
Dalam sejarah kita, tatapan ‘satu mata’ itu bersanad pada elitisme dan tentu saja kolonialisme. Buku babon The History of Java (1817) yang disusun Thomas Stamford Raffles adalah contoh paling gamblang dari tatapan ‘satu mata’ itu. Dalam Dari Buku ke Buku (2016), P. Swantoro mencatat bahwa Raffles menyusun The History of Java dengan mengerahkan bantuan para kolega dan bawahannya, beberapa dari kalangan pribumi, antara lain: Adipati Semarang, Kangjeng Kiai Suroadimenggolo V, beserta dua anaknya (Raden Sukur dan Raden Saleh) juga seorang panembahan Sumenep, Sultan Abdurrahman Pakunataningrat. Semuanya adalah ningrat, elit. Raffles juga memuat info-info dari rakjat, tapi hanya sebagai catatan kaki yang tak disebut sumber informannya, itu pun dipilah-pilih sesuai preferensi pribadinya. Singkat kata: ini adalah pencatatan sejarah tanah Jawa menurut tatapan para elit.
Baca juga:
Beberapa tahun berselang, selepas Perang Diponegoro, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch mengolok masyarakat Jawa sebagai pemalas karena terlalu santuy dan ogah-ogahan bekerja dalam sistem Tanam Paksa. Cap malas itu kemudian menjelma jadi tatapan para pejabat Hindia Belanda dalam memandang pribumi. Denys Lombard mencatat tatapan itu dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (2018). Lagi-lagi, ini soal tatapan tunggal elit kolonial. Tatapan yang kemudian dicabik-cabik oleh Syed Hussein Alatas dalam Mitos Pribumi Malas (1988). ‘Kemalasan’ pribumi, menurut telaah Syed Hussein, justru adalah perlawanan terhadap kolinialisme. Sebab, dalam beberapa dokumen Belanda abad 17-18 yang ia temukan, jarang sekali ada komentar soal pribumi malas. Komentar jelek itu baru merebak setelah diberlakukannya Tanam Paksa yang sangat merugikan pribumi.
Tatapan ‘mata satu’ ala Raffles dan van den Bosch tadi juga terjadi pada Madura, terutama soal kekerasan. Dalam Garam, Kekerasan, dan Aduan Sapi (2011), Huub de Jonge mencatat komentar beberapa penulis dan misionaris Belanda soal perangai orang Madura yang mereka jumpai pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Semua komentar itu bernada sumbang, sama seperti banyak komentar warganet hari ini. Bagi para penulis dan misionaris itu, orang Madura kejam, gampang tersinggung, mudah membunuh, dan berperadaban lebih rendah dibanding Jawa atau Sunda. Pendeta Julius Petrus Esser, sebagaimana dikutip de Jonge, bahkan menyebut, “Jika penilaian orang kulit putih bisa dipercaya, orang Madura adalah ampasnya semua pribumi.” Komentar Carel Pieter Brest van Kempen lebih payah lagi. Dalam sebuah laporan bertarikh 1856 yang dirujuk de Jonge, van Kempen menyebut hampir setiap hari melihat jasad korban pembunuhan di alun-alun. Komentar-komentar yang dikumpulkan de Jonge itu membuat Madura tampak seperti Dothraki, kaum barbar pimpinan Khal Drogo di saga Game of Thrones.
Andaikata seluruh komentar itu benar sebagai fakta sejarah, kita tak bisa menelannya mentah-mentah. Sebab, menurut telaah de Jonge, kekerasan di Madura tidaklah alamiah. Kekerasan dan segala cap buruk soal Madura itu beririsan dengan setidaknya dua hal. Pertama, pemiskinan struktural. Kedua, ketimpangan kekuasaan. Ketika komentar-komentar tadi ditulis, rakyat Madura telah melarat parah selama berbad-abad akibat beban pajak yang terus meroket, terutama setelah Madura dijajah Mataram dan VOC. Masalahnya, menurut de Jonge, pemerintahan tradisional di Madura absen menjamin keamanan dan keadilan sosial. Tiadanya peran hukum yudisial dan gaibnya perlindungan penguasa membuat rakyat tak punya pilihan. Kekerasan jadi jawaban untuk menolong diri sendiri, semacam mekanisme self-help kalau kata anak Gen Z. Singkatnya, kekerasan di Madura merebak karena hajat hidup sedemikian sulit.
Ekspansi politik dari Jawa turut memperparah situasi sulit itu. Pada 1624, Kesultanan Mataram melakukan invasi akbar ke Jawa Timur. Dalam penaklukan ini, semua bangsawan Madura yang melawan dibunuh, kecuali Raden Prasena dari Arosbaya. Ia masih sangat belia ketika saudara-saudaranya dibantai pasukan Sultan Agung. Setelah sempat diperbudak sebagai abdi dalem keraton Mataram, Raden Prasena lalu diangkat jadi penguasa Madura di bawah panji Mataram dengan gelar Pangeran Cakraningrat I. Setelahnya, otomatis para elit lokal Madura secara politik berada di bawah ketiak raja Jawa. Rakyat Madura pun seperti semut digencet dua gajah. Hidup sudah susah, masih harus melayani titah penjajah.
Ketika Madura sudah jengah dan hendak lepas dari belenggu Mataram, dua pemberontakan dahsyat meletus pada akhir abad 17 dan awal abad 18. Menurut de Jonge, seusai Perang Trunojoyo dan Perang Suksesi Jawa I itulah kebencian rasial terhadap Madura menjadi-jadi. Setelahnya, kolonialisme pun kian menebalkan cap keras dan bengis Madura. Lepas dari belenggu Mataram, masih ada VOC yang berkuasa secara ekonomi dan politik. VOC, yang kemudian dilanjut pemerintah kolonial Hindia Belanda, memberi Madura otonomi politik dengan berbagai syarat. Salah satu syaratnya, para regen Madura harus menyuplai korps militer untuk membantu tentara kolonial menumpas pemberontakan di seantero Nusantara. Korps bantuan ini digdaya dalam Perang Bali, Perang Aceh, dan yang paling masyhur Perang Diponegoro. “Terlebih bagi orang Jawa,” tulis de Jonge, “Kerjasama militer korps-korps ini menjadi noda yang mencoreng segenap warga Madura.”
Sejarah kekerasan di Madura adalah hasil sengkarut tekanan ekonomi dan struktur kekuasaan feodal yang timpang. Politik elit punya peran penting di sini. Bagaimanapun juga, kepentingan para elit lokal dan penguasa koloniallah yang mengkondisikan kekerasan sebagai fitur sosial bagi orang Madura. Kekerasan mula-mula adalah pilihan yang tak terelakkan, respons atas perasaan tak aman yang terwariskan sebagai trauma generasional. Semua itu memuncak ketika perang berkecamuk di mana-mana sebagai dampak dari kolonialisme.
Baca juga:
Itu tadi adalah sekelumit riwayat dalam sejarah panjang Madura. Jika kita mau melihat bentang sejarah secara utuh, Madura punya kelenturan sosial yang tak main-main. Pada 1269, Banyak Wide alias Arya Wiraraja tiba di Sumenep. ‘Eksil’ dari Singhasari itu diterima secara terbuka bahkan menjadi cult-hero Sumenep hingga hari ini. Ia menjadi adipati pertama dalam sejarah Madura, menjabat setidaknya hingga 1293.
Sejarah Islam di Madura juga jadi bukti lain kelenturan sosial itu. Dalam Suma Oriental-nya yang legendaris, penulis Portugis Tomé Pires mencatat bahwa setidaknya hingga tahun 1515 orang-orang Madura belumlah beragama Islam. Islam merebak di Madura setelah tumbangnya Majapahit oleh Kesultanan Demak pada 1527. Catatan Pires itu disebut-sebut juga oleh Ricklefs dan Nugraha dalam Sejarah Indonesia Modern (2008). Konversi agama ini agak unik, mengingat para penguasa Madura saat itu adalah bestie-nya Majapahit yang beragama Hindu. Bisa saja mereka pindah agama karena ekspansi politik Demak. Tapi, riwayat Ki Pragalba berkata lain. Penguasa Madura Barat itu justru mengutus patihnya, Empu Bageno, pergi ke Kudus untuk mempelajari Islam. Uniknya lagi, perjalanan dinas Empu Bageno ini terjadi karena mimpi Raden Pratanu, putra mahkota Ki Pragalba. Raden Pratanu kemudian menjadi raja Madura pertama yang memeluk Islam, keislamannya didukung penuh Ki Pragalba yang baru bersyahadat di akhir hayat. Sementara itu, Empu Bageno masyhur sebagai pelopor syiar Islam di Madura.
Itu sekelumit riwayat di Madura Barat, lain lagi di Madura Timur. Setelah Geger Pacinan (1740-1743) yang berdarah-darah, banyak keluarga Tionghoa hijrah ke pesisir utara dan timur Jawa, bahkan hingga ke pesisir Sumenep. Di antara keluarga-keluarga Tionghoa itu, lahirlah Lauw Phia Ngo, sang arsitek kompleks keraton dan Masjid Jamik Sumenep. Lauw Phia Ngo ditunjuk langsung oleh adipati Sumenep saat itu, Pangeran Natakusuma I alias Panembahan Somala. Kuat dugaan, Panembahan Somala hendak menebus dosa sosial Cakraningrat IV dari Bangkalan, yang ikut membantu VOC dalam Geger Pacinan. Penunjukan Lauw Phia Ngo barangkali adalah sebentuk rekonsiliasi sekaligus rekognisi sosial. Sebagai arsitek nonmuslim, Lauw Phia Ngo menghias fasad gerbang Masjid Jamik dengan detail bermotif swastika, simbol keberuntungan yang disucikan dalam tradisi Hindu dan Buddha. Motif swastika itu masih terawat sampai sekarang.
Jika pada dasarnya orang-orang Madura memang berwatak keras, mereka akan merespons perbedaan dan perubahan secara ekstrem. Dan jika kita mau bersetia pada asumsi itu, maka orang asing seperti Arya Wiraraja tak bakal mudah punya tempat dalam sejarah Madura. Para jagoan lokal pasti segera menghabisinya. Gairah Ki Pragalba dan Raden Pratanu terhadap Islam juga jadi susah dinalar. Panembahan Somala pun mestinya tak semudah itu menunjuk pendatang nonmuslim untuk merancang infrastruktur vital kekuasaannya. Minimal, umat muslim Sumenep yang taat tak akan tinggal diam membiarkan masjid agungnya ‘dicemari’ simbol agama lain. Dan, jangan lupa, orang-orang Tionghoa yang lari dari pembantaian sangat tidak mungkin bersengaja hijrah ke daerah penuh pembunuh. Jika kekerasan memang serupa napas, pulau ini muskil bernama Madura. Sebab, dalam bahasa Sanskerta, Madura berarti “cantik”, “manis”. Amboi. Semua itu menunjukkan satu hal: watak keras orang Madura hanyalah mitos! Kekerasan selama ini hanya muncul sebagai respons sporadis, itu pun untuk hal-hal yang sudah sangat melampaui batas. Manusia manapun di muka bumi ini juga bisa berbuat demikian.
Tapi, kalau Anda mau keukeuh meyakini mitos Madura keras itu, tak mengapa. Barangkali nilai mata pelajaran geografi dan sejarah Anda memang sejelek itu. (*)
Editor: Kukuh Basuki