Meningkatnya jumlah perempuan penggemar K-pop di Indonesia selama satu dekade terakhir ini telah mengubah pandangan negatif terhadap perempuan penikmat musik. Perempuan penggemar K-pop mampu melahirkan kekuatan baru lewat kebebasan berekspresi sesuai hati nurani. Ini menandakan bahwa mereka menjadi bagian dari gerakan besar perempuan Indonesia di era digital dalam menghadapi laju dinamika perkembangan zaman.
Berbeda dengan organisasi perempuan kenegaraan dan keagamaan yang keanggotaannya sering didasari oleh kewajiban perempuan dalam keluarga, keanggotaan perempuan penggemar musik, khususnya K-pop, adalah murni karena pilihan hati nurani. Mereka punya kebebasan memilih idola yang menurut mereka layak untuk diidolakan dan menjadi panutan. Mereka biasanya tergabung dengan basis yang memiliki ketertarikan terhadap sosok idola yang sama. Basis ini biasa disebut fandom (fan kingdom).
Setiap idol K-pop memiliki nama fandom yang berbeda-beda. Misalnya BTS dengan fandon bernama ARMY, Blackpink (Blinks), Twice (Once), NCT (NCTzen), Red Velvet (ReVeluv), Stray Kids (Stay), Itzy (Midzy), TXT (MOA), Winner (Inner Circle), EXO (EXO-L), dan lain sebagainya. Fandom-fandom ini Sebagian besar didominasi oleh perempuan. Bisa dibilang, fandom K-pop adalah pilihan bebas perempuan Indonesia pada masa kini. Bisa dikatakan juga fandom K-pop adalah organisasi perempuan nonformal terbesar di Indonesia.
Baca juga:
Walaupun mereka pada awalnya sering diidentikkan sebagai kumpulan perempuan fanatik, lebay, hingga norak dalam mendukung idolanya, hal itu tidak menyurutkan semangat mereka dalam memperlihatkan identitas fandom mereka. Justru sebaliknya, perlahan tapi pasti, mereka berhasil mengubah gambaran tersebut dengan melakukan aksi-aksi positif, seperti penggalangan dana untuk bencana, kampanye anti rasisme, donasi untuk korban pelecehan seksual, dan untuk perawatan hewan terlantar.
Dari Pemanis hingga Mendominasi
Sepanjang sejarah, keterlibatan perempuan di dunia musik bisa dibilang sangat minim dan hanya sebagai pemanis. Dari seluruh personel musik, umumnya perempuan hanya ada di posisi vokal. Selebihnya adalah laki-laki. Begitu juga dalam hal penonton. Dari pergelaran musik rakyat seperti keroncong dan karawitan hingga musik modern seperti jazz, country, dan juga rock and roll, mayoritas penontonnya adalah laki-laki.
Dalam masyarakat yang budaya patriarkinya masih kuat, menikmati musik secara leluasa dan terang-terangan tidak mudah bagi perempuan. Mendatangi konser yang hampir semuanya laki-laki, dengan waktu yang biasanya digelar malam hari, perempuan penikmat konser akan rentan mendapatkan stigma masyarakat. Mereka akan dianggap nakal dan tidak bermoral.
Ketika The Beatles mulai menyapa penikmat musik Indonesia pada era Orde Lama, penggemar muda The Beatles dengan ciri khas meniru pakaian dan potongan rambut John Lennon dkk mulai bermunculan. Bisa dikatakan, mereka ini adalah fandom generasi pertama di Indonesia. Era fandom generasi ini masih didominasi laki-laki. Tren ini tidak bertahan lama karena pemerintah Orde Lama segera mencekal lagu-lagu rock and roll karena dianggap tidak cocok dengan semangat revolusi yang sedang digalakkan waktu itu.
Memasuki era Orde Baru, musik semakin bebas. Tidak ada lagi pencekalan lagu-lagu dari genre atau negara mana pun. Alhasil semakin banyak musik dari berbagai penjuru dunia masuk ke telinga masyarakat Indonesia melalui siaran radio dan beberapa televisi yang mulai ada pada masa itu. Penggemar musik perempuan pun sudah mulai bermunculan. Setidaknya mereka tidak khawatir lagi berurusan dengan hukum akibat mendengar dan menikmati musik.
Walaupun jumlahnya semakin bertambah, waktu itu fandom-fandom musik masih dikuasai laki-laki. Jumlah perempuan yang ikut fandom secara konsisten masih sedikit. Hal itu bukannya terjadi tanpa alasan. Pada era Orde Baru, dibentuk perkumpulan perempuan bernama Dharma Wanita bagi istri-istri PNS dan PKK demi kepentingan masyarakat umum. Di dua organisasi itu ditanamkan nilai-nilai perempuan yang santun, lembut, memakai pakaian adat dan bersanggul sebagai representasi perempuan yang baik, sesuai moral Pancasila, dan berguna bagi nusa dan bangsa. Sebaliknya, perempuan yang memilih bebas mengekspresikan diri tanpa mau terikat dengan norma-norma baku dan asertif, dianggap bukan perempuan baik-baik bahkan diidentikkan dengan Gerwani, organisasi perempuan yang dibubarkan pemerintah Orde Baru karena dianggap berafiliasi dengan PKI.
Semakin terbukanya peraturan pemerintah terhadap pendirian stasiun TV swasta membuat persebaran musik di Indonesia semakin masif. Adanya berbagai macam segmen pemirsa membuat acara yang ditayangkan juga lebih bervariasi. Munculnya MTV, Channel V, dan beberapa stasiun televisi yang mempunyai porsi banyak di bidang musik membuat perempuan penggemar musik semakin mudah memilih aliran musik yang sesuai dengan selera mereka. Mulai banyak berunculan group vokal yang digemari perempuan di era 90-an. Sebut saja New Kids on The Block, Back Street Boys, NSYNC, Boyzone dan Westlife. Mereka bisa menonton konser-konser musisi idola melalui televisi.
Baca juga:
Pada era itu, perempuan sudah mulai leluasa untuk datang ke tempat konser pada malam hari tanpa takut mendapat stigma. Namun, pada waktu itu masih belum ada fandom yang terorganisir secara masif. Hanya ada individu atau kelompok pertemanan yang kebetulan mempunyai idola yang sama. Mereka datang ke konser pun seperti tidak ada ikatan emosional dengan penonton lainnya karena tidak saling kenal. Oleh sebab itu, berkumpulnya mereka di acara tertentu hanya bersifat insidental dan tidak berkelanjutan.
Mendukung Idola, Menyuarakan Identitas
Namun, era itu telah berlalu. Seiring datangnya gelombang budaya Korea pada awal tahun 2000-an, perempuan menjadi aktor utama terbentuknya fandom-fandom K-pop di Indonesia. Mereka punya karakter unik sesuai dengan ciri khas idola mereka. Mereka juga sangat bangga menunjukkan identitas fandomnya di mana pun, layaknya suporter sepak bola yang bangga menggunakan jersey klub kebanggaannya.
Kegiatan utama mereka adalah fangirling. Mereka akan secara rajin mengikuti perkembangan idola mereka melalui media sosial Twitter, Instagram, kanal YouTube, dan media sosial khusus K-popers seperti Weverse. Dari sana mereka bisa tahu apa yang sedang dikerjakan idola mereka di luar waktu pentas. Reality show mereka juga sangat diminati sehingga episode terbarunya selalu ditunggu-tunggu.
Selain itu, mereka juga berusaha melengkapi pernak pernik dengan identitas fandom mereka, seperti photo card dan poster bergambar idola kesayangan. Mereka juga mendengarkan musik-musik idola mereka lewat streaming di Spotify, JOOX, Apple Music, dan YouTube. Ini menjadi salah satu cara mendukung idola mereka di samping datang konser. Tentunya membeli boxset album musik adalah wujud apresiasi tertinggi untuk mendukung idola mereka supaya terus menghasilkan karya-karya yang monumental.
Munculnya internet dan media sosial semakin mempermudah perempuan penggemar K-pop untuk saling terkoneksi dengan sesama anggota fandom di seluruh Indonesia bahkan dunia. Hal itu membuat mereka bisa lebih leluasa mengorganisir anggota untuk melakukan aksi-aksi fangirling dengan berbagai cara, seperti bertukar informasi hingga membuat aksi penggalangan dana untuk gerakan sosial.
Sebagai catatan, Indonesia menempati urutan pertama jumlah K-popers terbanyak di Twitter. Hal ini membuat eksistensi mereka disegani netizen. Kemungkinan munculnya fandom baru masih terbuka lebar seiring kemunculan beberapa grup K-pop baru, seperti New Jeans, Kep1er, dan Aespa, yang lagu-lagu hitsnya mulai menemukan pendengarnya di Indonesia.
Editor: Prihandini N