Kenapa banyak orang bisa menjadi penggemar fanatik K-Pop? Kenapa penggemar K-Pop kerap mendapat stigma? Bagaimana memahami KPopers dari sisi sosiologis dan historis?
(Baca juga Pesohor Predator: Selebritas Korea Selatan dalam Pusaran Kekerasan Seksual)
Saat itu akhir 2018. Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games XVIII mengundang Super Junior untuk mentas di panggung besar tersebut. Tiga tembang dibawakan oleh boyband yang akrab dipanggil Suju ini, salah satunya adalah Sorry, Sorry.
Lirik lagu Sorry, Sorry terngiang-ngiang dalam kepala Dira Sugandi. Malam itu biduan ternama asal Bandung tersebut memang jadi bintang tamu pada penutupan Asian Games XVII bersama Suju dan puluhan artis lain. Kepada majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2018, Dira mengaku penasaran dengan K-Pop. Selama ini wanita itu hanya mengetahui Super Junior sebagai salah satu perintis boyband Korea. Lagunya apa, embuh.
Dira bersyukur perjumpaannya dengan Suju di belakang panggung mengubah persepsinya akan K-Pop. “Saya jadi bersimpati karena, meski megastar, mereka tetap ramah dan humble banget,” ujar Dira.
Sebaliknya, sanjungan terhadap Dira dilantunkan para personel Suju sesaat setelah dia selesai tampil. Bahkan salah satu personel, Choi Siwon mengatakan kalau bandnya terkesima dan menjadikan lagu Unbeatable yang dinyanyikan Dira sebagai inspirasi mereka. Rupanya kejadian itu cukup menjawab pertanyaan yang bersarang di benak Dira selama ini: mengapa penggemar K-Pop sampai segila itu menyukai idolanya.
Jenis musik K-Pop menjelma jadi bagian paling penting dari gelombang budaya populer Korea Selatan. Di negeri ini K-Pop tak pernah sepi peminat. Hentakan musiknya mampu membuat yang tua terpikat. Apalagi yang belia. Jika Dira Sugandi hanya butuh satu alasan—ramah—untuk bisa jatuh hati pada para idol, maka tidak dengan kelompok perempuan muda kelas menengah kota. Kelompok yang mendominasi kegandrungan terhadap budaya K-Pop ini mempunyai alasan yang melimpah untuk mencintai idola mereka.
Kegandrungan terhadap boyband Korea bisa karena alasan bahwa mereka adalah boyband terbaik dengan musik terbaik, selalu totalitas ketika tampil di atas panggung, klip video musik yang keren, komunikasi yang bersahabat dengan penggemar, wajah personel yang tampan serta tak ketinggalan kecenderungan gaya dari para personel yang menantang maskulinitas toksik.
Penggemar K-Pop di Indonesia kebanyakan adalah perempuan, baik yang sudah bekerja maupun yang lebih muda. Mereka mempunyai ciri serupa sebagai anggota kelas menengah; pendidikan perguruan tinggi, daya beli menengah untuk hiburan, dan kiblat transnasional dalam konsumsi budaya hidup. Kelompok perempuan muda kelas menengah kota jadi target pasar industri hiburan seperti K-Pop. Penjualan tiket konser yang hampir setara dengan gaji UMR selalu ludes terjual. Aktivitas fan girling lalu diafdolkan dengan membeli album fisik, merchandise dan segala pernak-pernik K-Pop yang harganya tak bisa dibilang murah.
Mereka ekspresif menunjukkan kecintaan terhadap idola mereka di ruang-ruang publik. Berhasrat kuat dalam mengungkapkan sentimen kolektif mereka secara lokal, maupun transnasional. Rasa kolektif itu dirayakan dengan menyelenggarakan kumpul sesama penggemar, bahkan mereka kerap mencuri perhatian publik dengan meniru tarian idola atau cover dance, cover music atau bahkan flash mob. Di sosial media pun gerakan mereka masif membentuk jaringan maya lintas-negara yang menjadi tempat mereka berbagi cuitan, info terbaru, musik, dan klip video idola K-Pop mereka.
(Baca juga Diplomasi Budaya: Dari Korea Selatan Kita Belajar)
Keekspresifan ini kerap dianggap sebagai kefanatikan buta oleh orang-orang. Stigma buruk pun acap disematkan kepada para perempuan penggemar K-Pop. Tak terkecuali para perempuan berjilbab/berhijab penggemar K-Pop. Bahkan para perempuan berjilbab ini mungkin lebih banyak mendapatkan kesinisan. Sebab sehelai kain yang menutupi kepala para perempuan ini diharapkan menjadi pertanda kesalehan dan kalemnya seorang perempuan. Kita kerap melihat cuitan publik figur yang mengaminkan stigma terhadap para perempuan berjilbab penggemar K-Pop ini.
Pada 2016 lalu akun burung biru dengan nama pengguna @Uus_ berkicau, “Terkadang suka ngebayangin lebih banyak mana, hijabers yang nonton konser Sulis atau nonton konser Suju :))) Kebanyakan Suju sih.” Kicauan lainnya berbunyi, “Mending liat cewek pake baju sexy di tempat dugem sambil mabok-mabok daripada liat cewe hijab di konser Korea sambil nangis-nangis. Pftt.” Tentu ini hanya satu dari sekian banyak komentar tak menyenangkan yang dilemparkan kepada para perempuan penggemar K-Pop yang berhijab.
Konteks Historis
Merebaknya gelombang budaya populer Korea Selatan di Indonesia tak lepas dari konteks historis yang terjadi jauh sebelum K-Pop booming. Dalam buku Identitas dan Kenikmatan: Politik Layar Indonesia (2015), Ariel Heryanto mencoba mengurai pertalian antara tren hallyu dengan rekam jejak historis bangsa ini. Menurutnya orang Indonesia menemukan keasyikan dari kegiatan menyelami dan mengungkapkan sebuah identitas baru sebagai seorang Asia yang modern dan kosmopolitan, hal ini disebabkan lantaran sedikitnya hambatan seperti kekangan politik dan norma-norma moral yang khusus dalam konteks kesejarahan masyarakat.
“Mereka melakukannya pada titik persimpangan sejarah yang khusus,.. runtuhnya budaya maskulin yang kuat menyusul kejatuhan pemerintahan militeristik Orde Baru dan kekosongan ideologis dan budaya yang mengiringinya.” – Ariel Heryanto
Gambaran tentang beribu-ribu perempuan meneriaki sekelompok pria bermake-up sedang menyanyi sambil menari hanya akan sekadar jadi imaji saja jika kita masih hidup di masa Orde Baru. Kehadiran K-Pop menjadi kesempatan merekontruksi ulang konsep maskulinitas yang sering dilekatkan kepada lelaki. Maskulin tak melulu harus berkulit gelap dengan wajah tanpa polesan, tetapi lelaki dengan kulit cerah, menggunakan make up serta menari juga sama machonya dan pantas digilai oleh para perempuan.
Sedangkan jika ditilik lagi ke belakang, titik persimpangan sejarah khusus yang dimaksudkan oleh Ariel adalah pada saat sentiment anti-Tionghoa sangat kuat di masa Orde Baru. Walau masyarakat mengetahui bahwa Tionghoa, Korea dan masyarakat Asia Timur lainnya adalah etnis yang berbeda, namun tak menampik jika di ruang publik orang-orang yang berwajah oriental dan tak dikenali ini pasti akan diidentifikasikan sebagai seorang Tionghoa.
Memang sampai kini pun rasa sentimen terhadap etnis Tionghoa pun masih bercokol. Meski begitu, sangat keliru jika kita “meremehkan” peran budaya populer dari asia timur termasuk K-pop dalam membantu mengurangi streotip buruk yang selalu dilekatkan pada etnis Tionghoa.
Kemudian, secara historis Orde Baru bukanlah masa yang ramah terhadap Islam. Runtuhnya rezim ini pun menjadi kebebasan baru bagi Islam. Islam lantas merumuskan identitas yang baru sebagai agama yang cair, terbuka dengan globalisasi namun tetap pada koridor syar’i. Tren syariah menjadi marwah masyarakat penganut muslim Indonesia. Salah satunya ialah berjilbab yang telah menjadi norma di kalangan Muslimah.
Bertepatan pada masa puncak Islamisasi inilah mayoritas para penggemar K-Pop lahir dan dibesarkan. Fenomena K-Pop di antara perempuan muda muslim menjadi hal yang baru dan memukau bagi Ariel untuk diamati. “Mereka harus mendamaikan dua hal yang tampak bertolak belakang: ketakwaan beragama dan tekad kuat untuk menjalankan disiplin terhadap diri sendiri dan ketaatan terhadap kesalahan di satu sisi, dan di sisi lain merayakan kenikmaan konsumerisme duniawi yang sudah menjadi gejala global.”
Pada akhirnya dominasi budaya K-Pop bukan hanya sekadar perkara aktivitas fan-girling yang jamak mereka sebut sebagai “krisis identitas”. Melewati itu, fenomena kegandrungan perempuan terhadap budaya K-Pop nyatanya membenang dengan peneguhan kelas menengah, sentiment anti-Tionghoa dan identitas baru Islam. Ada kontestasi identitas di sana; di tengah keranjingan perempuan muda penggemar militan budaya K-Pop.