Mulai dari pembahasan hingga pengesahannya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menuai banyak polemik. Mulai dari pasal-pasal bermasalah sampai partisipasi masyarakat yang kurang maksimal sehingga tidak mampu membendung usaha pemerintah untuk mengesahkannya. Hasilnya, pasal-pasal kontroversial tetap ada dan diundangkan.
Gelombang protes dari kelompok masyarakat sipil makin besar setelah mereka mengetahui bahwa aspirasi mereka tidak terserap dengan baik. Di sisi lain, KUHP juga masih mempertahankan sifat kolonial yang sama seperti pendahulunya. Misalnya seperti Pasal 240 dan 241 mengenai pemidanaan untuk penghinaan presiden dan lembaga negara. Masih dimasukkannya pasal tersebut menjadi bukti bahwa negara belum bisa beranjak dari ketentuan pidana warisan zaman kolonial. Pasal tersebut berpotensi menjadi alat untuk meruntuhkan demokrasi karena menekan kebebasan mengemukakan pendapat.
Baca juga:
Selain Pasal 240 dan 241, masih ada beberapa pasal lain yang berpotensi bermasalah dan mengancam demokrasi konstitusional. Walaupun aksi protes penundaan pengundangan KUHP digaungkan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia hanya menyarankan untuk mengajukan pengujian KUHP ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pengoyakan Tubuh MK
Padahal, menurut pernyataan Zainal Arifin Mochtar, MK bukan tempat penampungan legislasi buruk. Berdasarkan pernyataan tersebut, marwah MK sebagai penjaga konstitusi justru terdegradasi jika dipahami hanya sebagai pemberi solusi atas kegagalan badan legislatif melakukan proses legislasi yang berkualitas dan memaksimalkan partisipasi bermakna (meaningful participation).
Sekalipun pengujian KUHP diajukan ke MK, apakah masalah akan seketika selesai? Tidak. Apalagi dengan banyaknya pertanyaan mengenai independensi serta imparsialitas MK yang sedang ‘dikoyak’. Saat ini tubuh MK tengah ‘dikoyak’ akibat berlakunya amandemen Undang-Undang MK yang memberikan gratifikasi politik berupa perubahan ketentuan masa jabatan yang menguntungkan para hakim konstitusi. Selain itu juga terjadi penggantian hakim konstitusi oleh DPR karena ‘berlawanan dengan keinginan lembaga yang memilihnya’.
Di sini terjadi praktik autocratic legalism untuk mengendalikan cabang kekuasaan lain dan mengurangi rintangan perwujudan tujuan politik. Aturan-aturan yang menabrak sejumlah prinsip konstitusionalisme sengaja dibuat untuk mewujudkan ‘tatanan politik’ yang sesuai visi misi para pejabat politik. Hasilnya, rakyat terpaksa patuh dan terjebak dalam sebuah perangkap inkonstitusionalitas.
Pertama, rakyat tidak bisa mencegah tindakan pejabat politik sebab tidak ada ruang untuk turut serta mengawasi jalannya pembentukan kebijakan negara. Kedua, rakyat tidak bisa mengadukan kebijakan inkonstitusional karena kekuasaan kehakiman berada dalam kekangan kekuasaan yang inkonstitusional pula. Hal ini seperti membentuk ‘lingkaran setan’, di mana proses yang merusak demokrasi konstitusional tetap dibiarkan langgeng karena tidak ada mekanisme kontrol terhadap kekuasaan politik, akibatnya checks and balances jadi melemah dan meruntuhkan struktur dasar konstitusi.
Apa akibat dari hal-hal tersebut jika dihubungkan dengan pemberlakuan KUHP baru ini? Kecil kemungkinan permohonan pengujian KUHP di MK nanti akan diterima oleh para hakim konstitusi. Rakyat tidak berkutik lagi karena minimnya partisipasi dalam proses legislasi. Kekuasaan kehakiman sebagai penjaga terakhir juga tengah diancam independensi dan imparsialitasnya, sebab kekuasaan politik mencoba membuat pengadilan melegitimasi apa pun yang menjadi agenda politik pemerintah.
Baca juga:
Bagaimanapun usaha rakyat menghadirkan argumentasi untuk membatalkan ketentuan yang berlawanan dengan semangat konstitusionalisme, jika hakim-hakim MK bersikap strategis karena ada kondisi yang memberi mereka ‘insentif politik’, ketentuan-ketentuan tersebut akan tetap dipertahankan di dalam KUHP. Hasil tersebut tentunya akan membuat masyarakat tidak punya pilihan lain selain tunduk pada aturan yang berlawanan dengan demokrasi konstitusional, sebab kekuasaan kehakiman dilemahkan demi mengurangi kontrol kekuasaan politik di legislatif dan eksekutif.
Menjadi Pahlawan Pengadilan
Jika MK mampu bersikap secara ‘legalist’ atau berpegang teguh pada semangat supremasi hukum, masih ada secercah harapan agar ketentuan-ketentuan tersebut dibatalkan, atau setidaknya dinyatakan inkonstitusional bersyarat. MK harus terlebih dahulu melakukan pendekatan berbeda dari pendekatan formalistik yang mempertimbangkan ketentuan hukum tekstual saja. MK juga harus memikirkan konsekuensi politik yang akan terjadi ketika ketentuan-ketentuan seperti pasal penghinaan lembaga negara diundangkan.
Boleh jadi Presiden Joko Widodo tidak melakukan pengaduan sama sekali ketika KUHP ini diberlakukan. Namun, tidak tidak ada jaminan jika presiden-presiden di periode berikutnya tidak menggunakan ketentuan ini untuk merepresi kebebasan berekspresi warga negara. Tentunya perlu ada hal yang digarisbawahi: kekuasaan kehakiman harus berani menjadi penyeimbang kekuasaan legislatif dan eksekutif agar mereka tetap berada di rambu-rambu konstitusi.
Selama badan peradilan tidak berani bebas dari kekangan kekuasaan politik, dan lembaga legislatif serta eksekutif tidak membuka pintu partisipasi, jebakan inkonstitusionalitas akan terus memerangkap masyarakat Indonesia. Usaha masyarakat untuk keluar dari jebakan tersebut tidak akan berhasil jika kekuasaan kehakiman hanya bisa pasrah ketika independensi dan imparsialitasnya diancam. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap ‘kepahlawanan’ pengadilan untuk mengembalikan kekuasaan negara ke jalur demokrasi konstitusional.