Tak Ada Eve Hari Ini
Kamis adalah pagi yang pincang.
Menunggu rerimbun embun disesap siang.
Tak ada Eve, kota dibanjiri cahaya matahari.
Orang-orang menanti petang, untuk rebah
dan memainkan jemari.
Sekedar memaki.
Kamis adalah siang yang tawar.
Mendung serupa kuncup yang enggan mekar.
Tak ada Eve, jalan disapu angin selatan.
Orang-orang menanti petang, untuk rebah
dan mendaku diri.
Sekedar memaki.
Dan kamis adalah petang yang jalang.
Gaduh. Serupa tarian yang diiringi tetabuh.
Tak ada Eve. Setan-setan terbang menari tak karuan.
Orang-orang begadang merayakan malam,
hari sudah terlalu pagi.
Malah telah pergi, sekedar pergi.
(Cimahi, 5 Januari 2017)
–
Aku Menyelinap dalam Hening Malam
Aku menyelinap dalam hening malam.
Hingga tak satu setan pun tahu langkahku.
Tak ada purnama, bumi kehilangan sinarnya.
“Pergilah ke danau,
ada ribuan kunang-kunang bercaya hijau”
Apakah mereka saling menyumpah-kutuki sesamanya?
Aku menyelinap dalam rerimbun cempaka.
Hingga tak satu setan pun tahu langkahku.
Laba-laba menyulam jaring sutra.
Apakah mereka menyumpah-kutuki sesamanya?
Aku berjinjit lurus menuju sepinya pagi.
Hingga tak satu setan pun tahu langkahku.
Ada parkit menenun sarangnya.
Apakah mereka menyumpah-kutuki sesamanya?
Aku berjalan menuju siang yang belia.
Hingga tak satu setan pun tahu langkahku.
Manusia-manusia berkumpul di punggung kota.
Dan mereka menyumpah-kutuki sesamanya.
(Cimahi, 4 Januari 2017)
–
Tambah Tumbuh
malam tambah
malam tumbuh
tambah malam, tambah tumbuh
hingga tubuh dipaksa tabah
diri tahu dia tua
hingga tambah pula
tumbuh lupa.
–
Adalah Selingkar Kemungkinan
Di hadapan cermin yang retak,
kau memulas bibirmu yang curam
tempat kata-kata kau istirahatkan
dengan perasaan yang rawan,
kau rapal kata cinta
dari mulutmu yang gemetaran
kata-kata itu boleh jadi sebuah tuah,
tetapi bagaimana jika kata itu
adalah tulah?
Kasih, hidup adalah
selingkar kemungkinan:
bahkan untuk ketakmungkinan itu sendiri.
–
Petak Umpet
Kini…
Aku tersesat pada ceceran kalimat
Menyusuri labirin, lorong-lorong,
dan jalan kata-kata
Mencari ujung dari tanda tanya.
Bukankah setiap puisi memiliki tepi?
Di situlah tanda tanya berdiri,
berujung, tanpa jawab sama sekali.
–
Karunia
nyanyian camar mulai lesap ditelan petang
untuk mengiringi waktu ini melangkahi hari
ruam pada langit biru adalah tanda, dan
Iringan daun eru yang jatuh ranggas gugur
di atas tanah yang basah selepas
hujan di sore oranye itu
adalah hari di mana aku jatuh cinta padamu.
*****
Editor: Moch Aldy MA