“O SANCTA SIMPLICITAS!” Seru Friedrich Nietzsche dalam Beyond Good and Evil pada pembukaan bab kedua yang ia beri tajuk Spirit Bebas. Setelahnya, ia misuh-misuh akan kondisi orang-orang yang terjerembab dalam simplifikasi dan falsifikasi. Melalui tulisannya yang menempatkan tanda seru cukup acap ini, salah satu pemicu kegeramannya adalah sains kala itu yang dilandasi oleh kebodohan belaka, serta dipadatkan sedemikian rupa.
Sang nihilis berkumis tebal itu menyesalkan adanya kemudahan. Jika membacanya sepenggal akan cukup aneh, apalagi oleh kita yang lahir di era yang serbamodern ini. Namun, “God is dead”—ungkapannya yang fenomenal itu—saya kira seharusnya sudah cukup jadi pembelajaran ketika berbicara soal penggalan. Mata saya mendelik melihat kalimat yang ia tuliskan selanjutnya:
“Bagaimana kita telah memberikan kepada indera kita kekuasaan penuh bagi apa pun yang bersifat superfisial, memberikan kepada kita pikiran satu idaman ilahiah terhadap lompatan-lompatan berspirit tinggi dan kesimpulan-kesimpulan palsu.”
Kalimat terakhir tampak relevan, bukan? Ia tak kehabisan tempat dalam lini masa internet dengan pelbagai rupanya, lebih-lebih di tahun politik.
Informasi Milik Semua, tapi…
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 F disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada.
Bagi rakyat Indonesia, layak mendapatkan informasi adalah sebuah kewajiban. Dengan internet dalam genggaman, pelbagai informasi membantu kita dalam memperkaya pengetahuan hingga menjaga kita untuk tetap relevan akan situasi riil di sekitar.
Sayangnya, tawaran internet untuk “memperkaya” informasi malah dimiskinkan oleh informasi-informasi singkat dalam rupa video eksplanasi pendek. Peran “menjaga” kita untuk tetap relevan ini pun malah dibutakan oleh algoritma.
Duet Maut Video Singkat dan Algoritma
Kehadiran TikTok betul-betul mengubah cara manusia modern dalam mengonsumsi informasi. Jika dulu kita harus membaca beribu-ribu teks untuk mengetahui tentang suatu hal atau menahan mata dan posisi duduk demi menonton wawancara yang memakan waktu berjam-jam, kini semua itu disederhanakan dalam klip berdurasi 15 detik sampai 2 menit—atau lebih sedikit. Aplikasi media sosial lain pun menirunya, misalnya Instagram dengan reels-nya, YouTube dengan shorts-nya, bahkan video Twitter yang kini jika kita usap ke atas akan menampilkan video yang lain.
Sebetulnya, rangkuman atau penyingkatan itu cukup membantu dalam memberi pengertian akan sebuah informasi. Dari segi waktu, ia lebih efisien. Namun, ia menjadi berbahaya jika, seperti informasi yang kerap tersebar dewasa ini, potongan-potongan klip yang aslinya mungkin berdurasi 1-2 jam disederhanakan dengan mencomot potongan statement dalam video tersebut dengan durasi yang cukup singkat. Itulah sebabnya mengapa banyak siniar menampilkan timecode di dalam videonya, yakni untuk mengantisipasi potongan-potongan video yang bisa diinterpretasikan jauh dari konteks.
Kesederhanaan informasi dalam video singkat ini diperparah dengan cara kerja mesin di internet dengan algoritmanya. Alat ini merupakan pencatat sistematis tulisan, foto, atau video yang dicari, disukai, dilihat, dan diikuti pengguna media sosial untuk menampilkan tulisan, foto, atau video serupa. Warganet dibuat nyaman dengan konten-konten yang memang dikurasi untuk memanjakannya.
Namun, yang perlu dicatat dari sistem yang membuat masyarakat internet melupakan “sisi lain” itu adalah kecenderungan untuk menampilkan hal-hal yang hanya mereka suka saja. Bayangkan, jika kerabatmu penyuka Capres A, tentu lini masa yang ditampilkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan Capres A dengan citra baiknya. Apakah Capres B tidak akan tertampil di lini masanya? Tentu terpampang, hanya saja, bagian jeleknya. Itulah algoritma. Sejauh ini, ia hanya memberikan apa yang kita inginkan, bukan yang kita butuhkan. Bila terus seperti ini, polarisasi sudah barang hanya berjarak sekian sentimeter dari hidung.
Merespons kehadiran algoritma Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, Dr. Abdul Gaffar Karim, mengatakan:
“Untuk menaklukkan algoritma adalah dengan menggunakan Algoritma berpikir seperti saat kita memainkan rubik.”
Maksudnya, kita perlu memaksimalkan peran otak dengan menerapkan skeptisisme terhadap informasi-informasi yang berseliweran sehingga pada akhirnya kita tidak ikut-ikutan terjerembab dalam kesimpulan-kesimpulan palsu.
Baca juga:
O Sancta Simplicitas!
Pemerintah perlu andil mencegah perpecahan yang disebabkan kemudahan yang dimungkinkan oleh algoritma. Dengan segala sumber daya yang dimiliki, pemerintah perlu mengarahkan pandangannya akan “kemudahan yang lain”.
Kesederhanaan yang kudus—atau kemudahan—saya kira dapat dinyatakan kepada permasalahan lawas yang urung terselesaikan di negeri ini. Kemudahan yang dimaksud, misalnya, kemudahan akses pendidikan dan kesehatan, kemudahan pembangunan rumah ibadah (entah Nietzsche akan sepaham atau tidak melihat realitas saat ini), kemudahan melaksanakan ibadah, dan kemudahan-kemudahan yang dirasa mendasar bagi manusia Indonesia, bukan hanya kemudahan administrasi dan regulasi bagi para pemodal.
Editor: Emma Amelia