Menjadi guru Pendidikan Jasmani di Indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah. Segenap tuntutan dan harapan dibebankan padanya di saat sarana dan prasarana olahraga dan lahan untuk aktivitas jasmani di sekolah tempatnya mengajar jauh dari kata ideal.
Jarang ada sekolah yang sarana dan prasarana olahraganya lengkap. Seringnya, sekolah yang mempunyai peralatan lengkap, tapi tidak mempunyai lahan yang cukup luas untuk olahraga lari dan permainan bola. Atau, sebaliknya, ada sekolah yang punya lahan luas, tapi jumlah alat olahraganya tidak mencukupi dan kondisinya sudah memprihatinkan. Yang lebih parah lagi, ada sekolah yang lahannya sangat sempit dan tidak mempunyai alat-alat olahraga untuk menunjang aktivitas jasmani siswa-siswinya.
Lebih banyak kritik untuk sekolah:
Tidak banyak sekolah yang serius memberi perhatian terhadap kemajuan mata pelajaran Pendidikan Jasmani. Mata pelajaran yang sering disebut pelajaran olahraga ini diperlakukan sebagai pelengkap pelajaran-pelajaran lain yang dianggap lebih penting. Beberapa sekolah kadang masih memberlakukan peraturan untuk meniadakan pelajaran pendidikan jasmani pada saat mendekati ujian akhir semester atau ujian akhir tahun.
Karakter Pendidikan Jasmani yang identik dengan permainan seolah bertolak belakang dengan karakter mata pelajaran lain yang dianggap serius dan memerlukan konsentrasi penuh. Hal ini tidak lepas dari anggapan dikotomis antara bermain dan belajar yang masih dipercaya oleh masyarakat Indonesia. Anggapan ini tercermin dalam petuah seperti, “Ayo belajar dulu, habis itu bermain,” atau, versi yang lebih galak, “Bermain terus, kapan belajarnya?” seolah bermain dan belajar itu air dan minyak yang tidak mungkin disatukan.
Padahal, pemisahan antara aktivitas bermain dan belajar inilah yang menyebabkan proses belajar menjadi membosankan. Menurut Johan Huizinga, manusia adalah homo ludens atau makhluk bermain. Manusia mempelajari segala hal melalui permainan. Manusia mendapat pengetahuan tentang alam dan manusia lainnya melalui proses bermain. Tak peduli usia, manusia selalu suka bermain karena bermain adalah insting yang dimiliki manusia sepanjang hidupnya. Pemisahan yang saklek antara belajar dan bermain justru merugikan karena melawan insting natural manusia dalam memahami alam dan manusia di sekitarnya dengan permainan.
Baca juga: Membongkar Kepala Anakku
Siswa yang pandai dalam mata pelajaran Pendidikan Jasmani tidak akan dipuji layaknya siswa yang jago IPA, Matematika, atau Bahasa Inggris. Paling-paling, mereka hanya dielu-elukan ketika ada kompetisi antarsekolah dan pekan olahraga. Di luar itu, bintang kelas hanyalah milik si jago Matematika atau Bahasa Inggris. Oleh sebab itu, pelajaran Pendidikan Jasmani tidak pernah menjadi prioritas utama program tahunan sekolah.
Tujuan utama dari pendidikan jasmani bukan mencetak siswa menjadi atlet atau membuat tim olahraga sekolah yang siap berkompetisi di pekan olahraga. Pendidikan jasmani lebih diarahkan ke pembelajaran aktivitas gerak untuk mencapai kesegaran jasmani yang maksimal. Dengan tercapainya kesegaran jasmani maksimal ini, siswa diharapkan akan mampu mengikuti aktivitas belajar di semua pelajaran dengan kondisi badan yang fit.
Baca juga: Refleksi Piala Uber dan Thomas 2022
Pendidikan jasmani juga bertujuan memberi pengalaman aktivitas gerak pada siswa untuk mengembangkan motorik kasar, motorik halus, melatih keseimbangan, melatih reflek, dan memaksimalkan kelenturan pada persendian. Selain bermanfaat untuk memaksimalkan pertumbuhan tubuh siswa, kemampuan-kemampuan itu dapat menghindarkan siswa dari cedera serius ketika jatuh atau mengalami insiden lainnya.
Tujuan lain Pendidikan Jasmani yang tak kalah mulia dari mata pelajaran lainnya adalah menanamkan sikap saling menghormati, taat peraturan, tertib, empatis, jujur, sportif, dan pantang menyerah melalui permainan dan olahraga. Alih-alih disuapi nasihat dan hafalan saja, siswa yang mengikuti pelajaran Pendidikan Jasmani diajak mempraktikkan langsung nilai-nilai kemanusiaan ketika berinteraksi dengan teman-temannya dalam suatu permainan atau olahraga.
Tidak berhenti di situ, Pendidikan Jasmani juga mengajarkan pola hidup sehat yang mencakup pengaturan pola makan, pola istirahat, kebersihan, dan jadwal aktivitas harian di luar jam sekolah. Harapannya, tubuh anak akan sehat dan memiliki indeks massa tubuh (IMT) yang proporsional; tidak terlalu gemuk ataupun terlalu kurus.
Tujuan-tujuan Pendidikan Jasmani tersebut akan sulit tercapai jika sarana dan prasarana di sekolah tidak memadai. Guru Pendidikan Jasmani sering mengalami kesulitan saat menjalankan tuntutan kurikulum dalam kegiatan belajar-mengajar.
Salah satu tantangan terberat dalam pelaksanaan tuntutan kurikulum Pendidikan Jasmani adalah kegiatan olahraga air. Sangat jarang ada sekolah yang mempunyai kolam renang. Kalaupun menggunakan kolam renang di luar sekolah, ada kendala berupa jarak dan biaya masuk ke kolam renang umum. Alhasil, kegiatan olahraga air sering kali ditiadakan.
Tantangan pelaksanaan tuntutan kurikulum juga ada dalam pengajaran olahraga permainan, misalnya jumlah bola yang tersedia dan layak pakai tidak sebanding dengan jumlah siswa. Siswa jadi harus mengantre lama sampai tiba gilirannya memegang bola. Suasana menunggu yang membosankan itu membuat beberapa siswa tidak antusias. Alhasil, ketika sesi simulasi permainan, hanya beberapa siswa saja yang aktif bermain. Siswa lain lebih memilih bersantai dan beristirahat sebelum masuk waktunya.
Selain mengganggu kelangsungan kelas yang tertib, pelaksanaan tuntutan kurikulum yang tidak diimbangi dengan ketersediaan sarana dan prasarana olahraga juga berpotensi membahayakan keselamatan siswa. Misalnya, ketiadaan matras yang layak untuk dipakai senam lantai. Siswa rawan mengalami cedera. Selain itu, pengajaran gerak dasar senam lantai jadi tidak maksimal sehingga siswa tidak menguasai keterampilan yang diperlukan untuk melakukan gerakan yang lebih kompleks.
Setiap sekolah pasti berharap siswanya dapat berprestasi dan memenuhi tuntutan indeks minimal dalam setiap mata pelajaran. Namun, bagaimana hal itu bisa terwujud jika kondisi jasmani siswanya tidak maksimal? Adanya siswa yang mudah mengantuk di kelas atau siswa yang sering izin tidak masuk sekolah karena sakit adalah contoh nyata kurangnya kesehatan jasmani siswa. Hal itu tentu akan menyulitkan siswa dalam memahami pelajaran-pelajaran di kelas.
Baca juga: Guru yang Membebaskan
Kesehatan jasmani adalah hal yang krusial bagi keberhasilan siswa menguasai materi semua mata pelajaran di sekolah. Jika kesehatan jasmani siswa maksimal, maka sistem kerja kognitif mereka pun juga maksimal. Di sinilah mata pelajaran Pendidikan Jasmani menjadi bagian yang integral dengan mata pelajaran lainnya. Sudah saatnya sekolah di Indonesia memberikan perhatian lebih dan mempunyai prioritas utama dalam mata pelajaran pendidikan jasmani untuk mencapai hasil pendidikan yang lebih baik.
Editor: Emma Amelia