Setelah sukses dengan beberapa film dokumenter yang diangkat dari kisah kriminal nyata di tahun-tahun sebelumnya, seperti American Murder: The Family Next Door, Don’t F*** With Cats, ataupun Making a Murderer, tahun ini Netflix Kembali menghadirkan film dan serial “Based On True Crime Story” yang cukup fenomenal.
Di awal Februari Netflix merilis The Tinder Swindler, sebuah dokumenter tentang kejahatan penipuan yang dilakukan oleh Simon Leviev yang menipu para wanita yang ditemuinya di aplikasi Tinder. Pada minggu pertama penayangannya, The Tinder Swindler ditonton oleh lebih dari 44,8 juta penonton dan menduduki peringkat pertama Netflix Global Top 10 selama empat pekan di bulan Februari 2022.
Kurang lebih seminggu setelah penayangan The Tinder Swindler, pada 11 Februari Netflix kembali merilis tayangan “Based On True Crime Story” berjudul Inventing Anna. Bedanya dengan The Tinder Swindler yang merupakan film dokumenter, The Inventing Anna hadir dengan format yang lebih segar dalam bentuk serial drama 9 episode yang dibuat dan diproduseri oleh tangan dingin Shonda Rhimes yang dikenal sukses memproduksi beberapa serial, diantaranya How To Get Away With a Murder dan Grey’s Anatomy.
Inventing Anna yang diadaptasi dari kisah di artikel “How Anna Delvey Tricked New York’s Party People” di New York Magazine ini menceritakan tentang Anna Sorokin, seorang perempuan muda yang datang ke New York dan mengaku sebagai seorang bangsawan kaya dari Jerman. Setelah mengganti namanya menjadi Anna Delvey dan masuk ke lingkungan sosialita, dia pun melakukan penipuan untuk memenuhi gaya hidupnya. Mengungguli The Tinder Swindler, Inventing Anna ditonton lebih dari 77,3 juta penonton di minggu pertama rilis dan menduduki Netflix Global Top 10 series di di 88 negara selama lima pekan sejak penayangannya.
Mengapa Diminati?
Kepopuleran tayangan yang diangkat dari kisah nyata belakangan ini bukan tanpa alasan. Selain karena ceritanya yang menarik, tayangan yang diangkat dari kasus kriminal kerap memicu adrenalin penonton. Baik ketika itu diceritakan dari sudut pandang orang ketiga ataupun sudut pandang korban seperti kebanyakan pada film dokumenter. Di satu sisi penonton merasakan ketakutan tapi di sisi lain mereka juga tahu bahwa itu tidak akan menyakiti mereka secara langsung, karena mereka hanya duduk di kursi penonton dan tidak secara langsung menjadi korban , sehingga akan menimbulkan eustress, atau semacam stres positif yang diperlukan tubuh. Seperti layaknya ketika kita mencoba permainan ekstrem seperti bungee jumping atau roller coaster, meskipun membahayakan tapi kita tahu bahwa ada pengamanan yang akan membuat kita tidak terjatuh.
Baca juga:
Selain itu, film tentang tindak kejahatan yang berdasarkan dari kisah nyata membantu penonton memahami pola pikir pelaku kriminal, karena biasanya tindak kejahatan diceritakan secara detail dalam film atau serial, terlebih pada film dokumenter yang merekam langsung pernyataan para korban. Penonton merekam dengan baik dalam ingatan mereka tentang detail kejahatan yang mereka lihat dalam tayangan televisi sebagai bentuk antisipasi dan perlindungan diri jika tragedi yang mereka lihat di televisi menimpa korban terjadi kepada mereka.
Hal ini sejalan dengan pendapat Georger Gerbner dalam teori Kultivasi yang menyatakan bahwa media massa mampu menanamkan sikap dan nilai tertentu, di mana media memiliki peran untuk mempengaruhi penonton dan diyakini oleh penonton. Pada tayangan kriminal yang berdasarkan pada kisah nyata, karena menampilkan kejadian kriminal yang terjadi di kehidupan sehari hari membuat penonton meyakini bahwa rasa tidak aman yang mereka rasakan adalah valid dan penonton merasa perlu untuk menonton tayangan tersebut sehingga mereka bisa lebih waspada dan tidak menjadi korban selanjutkan dari tindak kejahatan.
Popularitas Pelaku Kriminal
Di masa awal penayangan The Tinder Swindler, Simon Leviev yang bernama asli Simon Hayut menyangkal semua tuduhan yang dilontarkan kepadanya. Meski dia keberatan dengan tayangan The Tinder Swindler, namun dia juga menikmati kepopuleran yang datang bersamaan dengan tingginya rating The Tinder Swindler ini. Tidak hanya jumlah pengikut di instagramnya yang naik pesat, saat ini Simon bahkan telah menandatangani kontrak dengan manajer talent Hollywood, Gina Rodriguez dari Gitoni Inc. Simon mengaku tertarik membuat konten podcast, menjadi pembawa acara kencan, dan bahkan menulis buku.
Keuntungan yang sama juga didapat Anna Sorokin setelah menjual kisahnya kepada Netflix. Netflix dikabarkan telah membayar sejumlah uang kepada Anna sebesar US$ 320.000 atau sekitar Rp4,5 miliar untuk menayangkan Inventing Anna. Perempuan yang bebas sejak bulan Februari 2021 setelah empat tahun dipenjara ini rupanya memanfaatkan dengan bijak hasil keuntungan yang dia dapat dari Netfix. Uang tersebut telah digunakan Anna untuk mengembalikan utang kepada para korbannya. Sebanyak US$ 199.000 telah ia bayarkan kepada bank sebagai ganti rugi. Selain itu, Anna juga telah membayar denda kepada negara bagian sebesar US$ 24.000, serta membayar pengacara sebesar US$ 75.000.
Berharap bisa menyusul kesuksesan The Tinder Swindler dan Inventing Anna, Netflix merilis Bad Vegan, serial yang menceritakan tentang Sarma Melngailis yang pada tahun 2000-an dikenal di New York sebagai “ratu masakan vegan”. Tetapi di tengah kesuksesannya mengelola restoran mewah, dia menikahi seorang penjahat dan melakukan penipuan yang merugikan banyak pihak.
Selain itu ada juga Trust No One: The Hunt for the Crypto King yang rencananya akan tayang tanggal 30 Maret 2022. Film ini terinspirasi dari artikel Vanity Fair November 2019, berjudul: “Ponzi Schemes, Private Yachts, and a Missing $250 Million in Crypto: The Strange Tale of Quadriga” yang akan menceritakan tentang penipuan cryptocurrency.
Meski film ataupun serial “Based On True Crime Story” mendatangkan banyak keuntungan, namun tak bisa disangkal bahwa di sisi lain ada korban yang dirugikan dari tindak kejahatan tersebut. Dengan memperhitungkan kesedihan dan rasa trauma yang dirasakan oleh korban, tayangan “Based On True Crime Story” seharusnya tidak hanya hadir sebagai hiburan semata, ada norma dan batasan yang harus dijaga sehingga tidak menimbulkan luka kembali bagi para korban. Dilematis rasanya ketika yang diuntungkan dari tayangan “Based On True Crime Story” justru pelaku kejahatan, sementara korban harus mengulang trauma yang dia rasakan setiap melihat pelaku di televisi.