Anda mungkin pernah berada sangat membutuhkan suatu barang, kemudian Anda memutuskan mencari informasi barang tersebut di dunia maya. Anda begitu yakin akan cepat mendapat informasi yang detail dan tepat tentang barang yang hendak dibeli di sana.
Anda langsung menuju salah satu aplikasi online marketplace yang menyediakan informasi mengenai barang yang Anda butuhkan, lengkap dengan ulasan dan bintang untuk penjual barang tersebut. Tanpa diminta, iklan yang tersisip di sana memberi tahu Anda tentang barang-barang serupa.
Lalu, apa yang terjadi?
Selama berjam-jam, Anda larut melihat-lihat barang tersebut tanpa jadi membelinya. Hal ini terjadi justru bukan karena minimnya informasi barang yang Anda dapatkan di aplikasi online marketplace, melainkan kelebihan informasi yang Anda terima. Hal yang baru saja terjadi pada Anda ini dinamakan infobesitas (infobesity) atau keberlebihan informasi (information overload).
Infobesitas yang Anda alami tadi didengungkan pertama kali pada tahun 2010 oleh Rosa-Maria Koolhovens, seorang pengamat gaya hidup para remaja di Belanda. Jika menilik pada kemiripan kata, hampir tidak ada perbedaan yang mendasar antara obesitas dan infobesitas. Hanya saja, jika obesitas adalah penyakit kelebihan berat badan karena konsumsi junk food atau makanan sampah, infobesitas disebabkan oleh kelebihan junk info atau informasi yang kurang penting alias tidak berguna.
Namun, ada perbedaan besar di antara keduanya. Penderita obesitas menyadari bahwa dirinya menderita penyakit kegemukan. Sementara itu, penderita infobesitas tidak menyadari bahwa dirinya menderita penyakit yang begitu menyeramkan.
Penyakit infobesitas membuat seseorang terjebak dalam situasi mengonsumsi informasi berjumlah besar secara terus-menerus. Hal ini memiliki dapat memberikan dampak yang tidak baik kepada tubuh.
Penumpukan informasi di dalam otak merupakan dampak dari ledakan kuantitas informasi yang tertangkap otak di era sekarang. Era ledakan kuantitas informasi tersebut kemudian dikenal dengan era keberlimpahan informasi.
Permasalahan ledakan kuantitas informasi bisa dianalogikan dengan kemacetan lalu lintas yang banyak terjadi di beberapa kota besar di Indonesia. Jumlah kendaraan yang melintas melebihi kemampuan dan layanan prasarana jalan yang ada—demikian pula infobesitas.
Ledakan kuantitas informasi melebihi kemampuan otak kita dalam memprosesnya. Akibat yang ditimbulkan adalah perlambatan sistem pemrosesan otak kita, bahkan menjadikan sistem dan metabolisme fisik terpaksa harus melakukan istirahat lebih dini. Selain menyebabkan pengambilan keputusan yang lambat seperti ilustrasi di awal tulisan ini, infobesitas juga ditengarai menyebabkan kelelahan, turunnya produktivitas, kurang percaya diri, stres, bahkan kerugian secara finansial.
Baca juga:
Obat untuk penyakit infobesitas ini sama seperti obat penyakit obesitas, yakni diet informasi dan pola hidup sehat informasi. Langkah pertama yang diambil adalah berperilaku bijak dalam menanggapi informasi yang beredar di internet. Saring dulu sebelum sharing; yang dalam konteks informasi dan komunikasi merupakan sebuah perilaku dasar dari berliterasi.
Jika berkaca pada realita yang sudah banyak terjadi di masyarakat, umumnya gejala yang dialami penderita infobesitas adalah kesulitan dalam menyaring informasi, memahami isu, dan mengambil keputusan mengenai kebenaran suatu informasi. Alhasil, berita palsu dan disinformasi yang merugikan dan memecah masyarakat menjadi hal lumrah.
Nah, kapan kita mulai menerapkan diet informasi dan pola hidup sehat informasi?
Editor: Emma Amelia