Membandingkan Aksi Heroik Binatang dengan Polisi di Kanjuruhan

Ardhias Nauvaly

4 min read

“Binatang tak mempunyai akal dan pikiran
Opiniku, Iwan Fals.

Seperti judulnya, itu hanya opini Iwan Fals. Dan dari Pram kita dengar, tidak ada yang lebih nyata, termasuk lagu Iwan Fals, dari kenyataan itu sendiri. Misalnya kenyataan yang terjadi pada 1923. Untuk pertama kalinya, pertandingan Piala FA (kompetisi sepak bola di Inggris) dihelat di Stadion Wembley. Stadion ini baru rampung empat hari sebelum pertandingan final yang mempertemukan Bolton Wanderers dengan West Ham United.

Stadion berkapasitas 120 ribu ini kemudian dipaksa untuk menampung 300 ribu jamaah sepak bola. Overkapasitas 120%. Hasilnya, penonton tumpah ke lapangan macam Konser Putih Bersatu Jokowi 2019. Tidak perlu bayangkan, cukup simak dokumenter ini pada menit 2:50 ke belakang untuk lihat betapa pertandingan sore itu nyaris mustahil digelar. Setelah 2:50 adalah keajaiban.

Pada petang itu, keajaiban bekerja lewat kaki-kaki kuda kelabu bernama Billy. Demikian yang ditulis Jim White dalam salah satu bagian dalam buku A Matter of Life & Death. Dia menjelaskan asal-muasal julukan White Horse Final pada pertandingan tersebut. Kulit kelabu Billy tercitrakan sebagai putih dalam tayangan monokrom saat itu.

Baca juga:

Dia mengutip George Scorey, penunggang Billy, bahwa kuda ini begitu tangkas menertibkan massa sehingga permainan bisa segera dimulai dan yang terpenting: tanpa ada korban jiwa. Billy mampu menghalangi sejarah untuk mencatat pertandingan tersebut sebagai Tragedi Wembley 1923. Di sini, hewan nampak punya akal dan pikiran.

Namun, sudah wataknya keajaiban hanya bekerja pada satu waktu, di satu tempat. Ketika keajaiban tidak bekerja, stadion overkapasitas dan aparat brutal akan jadi resep ampuh pembantaian massal. Nyaris seabad setelah White Horse Final, di belahan dunia bernama Stadion Kanjuruhan, resep maut itu bekerja untuk membuat kenyataan bahwa 132 anak manusia mati (dibunuh) di stadion.

Dibunuh, Bukan Mati

The Bloomberg dengan tepat menulis berita menggunakan kata “killed” alih-alih “died”. Terbunuh itu mensyaratkan adanya tindakan satu atau beberapa pihak yang bermuara pada hilangnya nyawa. Syarat yang terpenuhi di Stadion Kanjuruhan malam 1 Oktober 2022. 

Arema vs Persebaya adalah pertandingan tensi tinggi. Ketika tensi itu pecah, massa merangsek ke stadion. Ini pola yang umum, di mana pun. Eintracht Frankfurt vs West Ham United dan Everton vs Crystal Palace pada tahun lalu adalah contoh. Bedanya, tidak ada korban jiwa di sana. 

Selain tidak adanya korban jiwa, pembeda antara kejadian di Kanjuruhan dengan dua contoh di atas adalah situasi setelah pitch invader masuk ke lapangan. Panitia penyelenggara, operator liga, federasi, dan klub jelas ambil bagian dalam kasus ini. Namun, sorotan terbesar harus diberikan pada mitigasi kerumunan yang brutal sekaligus tidak masuk akal.

Begini, permasalahannya adalah massa merangsek ke stadion. Langkah yang mesti diambil adalah crowd control (penertiban massa). Cara yang digunakan adalah menembakkan gas air mata. Hasilnya, dada sesak dan mata pedih. Massa panik dan tidak terkontrol. Langkah polisi gagal total. Crowd seketika jadi stampede. Malam itu, di Kanjuruhan, pembantaian terjadi.

Jangan Ada (Gas) Air Mata 

Setelah membaca liputan Suara.com berjudul “Kengerian di Pintu 13: Yang Sebenarnya Terjadi Saat Tragedi Kanjuruhan”, niscaya kita tidak akan menyebut gas air mata sebagai gas air mata. Ini gas air darah. “Gate 13 itu seperti kuburan massal Mas, banyak perempuan dan anak-anak,” tutur Eko yang berupaya selamatkan para penonton yang dicegat dua sisi: gas air mata dan gerbang stadion yang terkunci.

Pembantaian Kanjuruhan tercatat sebagai kejadian sepak bola nomor dua paling mengerikan sepanjang masa dari jumlah korban. Pucuknya terjadi di Lima 1964 dengan 263 korban. Penyebabnya sama, gas air mata. 

Laporan The Guardian pada 1964 nyaris persis dengan di Kanjuruhan: “Ratusan manusia dihimpit massa yang panik. Kabur dari polisi, anjing, dan gas air mata. Dalam kerusuhan itu, anak-anak dan perempuan bertumbangan, lalu digilas massa yang kalang kabut.”

Tapi di sini, polisi tidak pernah belajar. Pada 2018, Pembantaian Kanjuruhan nyaris dipercepat di Stadion I Wayan Dipta saat Bali United menjamu Persija Jakarta. Saat itu, North Side Boys (kelompok pendukung Bali United), nyalakan flare sebagai protes ke manajemen. Polisi, dengan sengak, mengarahkan moncong pelontar gas air mata ke tribun.

Baca juga:

“Jangan woi! Jangan ditembak!” teriak The Jak, pendukung Persija Jakarta, memohon kepada Yang Maha Berseragam. Celingak-celinguk sebentar di atas barracuda-nya, lalu sang polisi urung beraksi dan masuk kembali. Adegan ini terekam secara amatir oleh penonton.

Kembali lagi ke 1 Oktober 2022. Kapolda Jatim, Nico Afinta, bilang bahwa tembakan gas air mata sudah sesuai prosedur. “Tidak ada gas air mata bila tidak ada penonton yang menyerbu lapangan,” ucapnya. Padahal, merujuk Pasal 19 huruf b FIFA Stadium Safety and Security Regulation, senjata api atau gas air mata tidak boleh digunakan bahkan di bawa ke stadion. 

Di wawancara yang sama, Nico mengakui gas air mata bikin penonton bejubel dan mati sesak. Dari sini kita bisa tahu bahwa prosedur polisi adalah prosedur untuk membunuh.

Diejek Binatang? Bagus, dong!

Billy si Kuda Kelabu tidak punya akal dan pikiran untuk menembak gas air mata ke 300 ribu penonton di Wembley kala itu. Berkat tindakannya, nama Billy diabadikan menjadi nama jembatan pedestrian di Wembley pascarenovasi, White Horse Bridge namanya. Disingkirkannya kandidat manusia. Tidak tanggung-tanggung, saingan Billy adalah para insan sepak bola Inggris, dari Alf Ramsey hingga Geoff Hurst. Tentu, polisi dan otoritas pertandingan tidak masuk hitungan. Justru saat itu mereka dilabel tidak berguna oleh The Daily Mail dan dijadikan wujud ketidakbecusan yang naudzubillah oleh The Times. 

Untuk itu, polisi jangan lagi marah kalau diejek pakai entri kebun binatang. Sebab, di Inggris sana, binatang bisa pula jadi pahlawan. Persis seperti yang kalian, para polisi, inginkan, bukan? 

Misal, polisi dan pembelanya pernah dibikin berang oleh pria asal Makassar. Musababnya, polisi disebutnya sebagai anjing. Diringkuslah pria itu dan dipermalukan. Wajahnya tidak disensor. Identitasnya diedarkan. Salah sendiri mempermalukan marwah polisi, pikir warganet dan para polisi tentunya. 

Tunggu dulu. Mengapa polisi malu disebut anjing? Padahal, di Skotlandia, seekor anjing polisi bernama Luna diganjar Thin Blue Paw Awards berkat amalan baiknya: menyelamatkan 38 nyawa dalam 8 tahun karir. 

Luna pun tidak pernah kepergok teriak, “Jancok kawanku juga kena!” seraya mau menggebuk penonton yang minta tolong selamatkan para korban di Gate 13 Kanjuruhan. 

Bila itu belum cukup, ambil contoh di Amerika Serikat. Anjing K-9 bernama Lucas menyelamatkan “tuan” polisinya, Frazier, dari serangan 3 orang kriminal. 

Di sini, anekdot klasik Gus Dur nampaknya mesti direvisi. Polisi baik bukan tiga, melainkan empat: Hoegeng, patung polisi, polisi tidur, dan tambahan satu: anjing polisi.

Kepolisian di Kanjuruhan kelewat keblinger. Maka, bila di tembok tiap kota bertebaran mural ACAB (All Cops Are Bastards), jangan kebelet main pentung. Mereka marah dan itu masuk akal. Toh, apa sih ACAB itu dan mengapa polisi mesti marah? 

Memang, terjemahan literalnya adalah “polisi anak haram”. Namun, tafsir yang lebih kena dan populer adalah “polisi bangsat”. Dan bangsat adalah kutu, dia binatang.

Mestinya polisi tidak perlu malu, apalagi merasa negara sedang dirudal ketika diolok bangsat. Toh, binatang macam bangsat di mana pun setidaknya belum pernah kedapatan menembak gas air mata ke tribun stadion sehingga membunuh 132 manusia. 

Mentok-mentok, bangsat hanya bikin gudikan. Itu pun tidak sampai tinggalkan trauma seumur hidup bagi mereka yang ditinggalkan. Harusnya, polisi lebih malu disebut polisi ketimbang bangsat.

Binatang memang tidak punya akal dan pikiran. Baik Billy si Kuda Kelabu atau bangsat. Tapi, nyanyi Iwan Fals tidak berhenti di sana. Dia lanjutkan dendangnya:

Namun kadang kala/ 

Ada manusia seperti binatang/ 

(Kok bisa?)/ 

Bahkan lebih keji dari binatang macan// 

Kok bisa ada manusia yang lebih keji dari binatang?” tanyanya. 

Sayang sekali, tembang Opiniku rilis pada 1982. Bila Iwan Fals bikin lagu ini pada Oktober 2022, dia pasti punya jawaban: ketika yang dibutuhkan adalah binatang macam Billy, yang kita punya hanyalah polisi di Kanjuruhan.

 

Ardhias Nauvaly

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email