Petinggi Polri terlibat kasus pembunuhan, masifnya praktik korupsi di kalangan pejabat, tidak adanya perlindungan data pribadi masyarakat, hingga kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok hanyalah sedikit dari begitu banyaknya masalah yang sedang terjadi di negara ini. Ini tentu membuat kita bertanya-tanya, sebenarnya apa yang sedang terjadi? Dan siapa yang patut disalahkan saat ini? Negara, rezim, atau kebijakan publik?
Ketika membicarakan negara, kita tidak akan bisa lepas dari komponen yang ada di dalam penyelenggaraannya, yaitu rezim dan kebijakan. Negara adalah suatu entitas yang di dalamnya terdapat berbagai macam kelas. Kelas-kelas tersebut merupakan kumpulan berbagai macam golongan dengan bendera identitas masing-masing. Mereka hidup dan memperjuangkan ideologinya demi kemajuan negeri.
Rezim sebagai Kelas Penguasa
Dalam memandang konsep antara negara, rezim, dan kebijakan publik ini, saya menggunakan refleksi Louis Althusser. Dalam bukunya yang berjudul Filsafat sebagai Alat Revolusi, Louis menjelaskan bahwa negara adalah tempat yang dipahami oleh para penganut teori marxis klasik sebagai aparatus negara. Dalam Aparatus negara ini, pergerakan kebijakan publik yang mengatur komponen pendukung seperti polisi, pengadilan, penjara, tantara, pasar, dan lain sebagainya tidak bisa lepas dari birokrasi. Ketika menjalankan birokrasi, hanya ada satu kelas yang bisa mengontrol semua itu, yaitu rezim. Rezim menjadi kelas yang paling berkuasa.
Ketika suatu rezim berkuasa, kekuatan dan intervensi dalam menyelenggarakan negara tidak bisa lepas dari sifat represif. Represi digunakan kelas penguasa untuk melanggengkan segala kepentingan dalam menyelenggarakan negara. Berjalannya aparatur represif ini juga tidak bisa terlepas dari kebijakan-kebijakan yang dibuat rezim tersebut. Sebagai contoh, di dalam catatan sejarah perlawanan terhadap negara ada berbagai fakta yang menerangkan bahwa kebijakan represif kerap dilakukan. Salah satunya ketika peristiwa pembantaian Minggu Berdarah, pembantaian Komune Paris, dan intervensi berupa ‘sensor’ terhadap karya Diderot yang berjudul La Religieuse.
Baca juga:
Negara di sini bukan sekadar teori, melainkan sebagai fase pembentukan identitas yang dijalankan oleh sebuah rezim. Negara memiliki citra nama yang baik meskipun di dalamnya terdapat serangkaian masa kelam. Suatu negara tidak patut disalahkan selama negara tersebut berdiri dan mempertahankan eksistensinya dalam ancaman. Lantas siapakah yang patut disalahkan?
Rezim adalah jawabannya. Negara tidak akan pernah berdosa karena negara hanyalah kata-kata yang didefinisikan oleh teori. Yang patut disalahkan ialah rezim yang menjadi kelas penguasa. Citra negara yang buruk merupakan kesalahan dari rezim yang berkuasa. Kebijakan juga tidak bisa disalahkan, sebab kebijakan di suatu negara tidak akan pernah bisa muncul tanpa adanya rezim.
Secara teori, negara dapat direpresentasikan sebagai fase ‘pelampauan’ dalam menggerakan sarana dan prasarana untuk mengidentifikasikan dan memahami relasi penindasan dan negara. Relasi tersebut merupakan pandangan yang berusaha mengungkapkan fakta bahwa penindasan dalam negara telah melahirkan sebuah kejernihan yang sangat istimewa bagi suatu rezim.
Negara adalah Aparatus Negara
Ketika rezim sudah tidak bisa memahami negara secara kontekstual, maka teori-teori yang berusaha mendeskripsikan negara akan terblokir. Maka dari itu, pendefinisian sebuah teori yang berusaha untuk menjelaskan negara akan terpengaruh dan tidak lepas dari definisi klasik, yaitu negara adalah aparatus negara. Lalu apa aparatus negara yang berpengaruh itu? Jawabannya ialah rezim yang menjadi penguasa dan pemangku kebijakan.
Negara juga tidak bisa memiliki makna kecuali dalam hakikatnya dalam fungsi dan kekuasaan. Ketika suatu negara berdiri, terdapat berbagai macam perjuangan kelas politik dalam memperebutkan kepemilikan dan pengambilalihan kekuasaan. Kelas politik itu dalam kata sederhana dapat disebut sebagai rezim. Kelas politik yang telah menang dan menjadi sebuah rezim tidak akan terlepas dari adanya aliansi antar kelas politik. Kontrol perjuangan kelas politik ini, jika ditarik dalam realita kenegaraan, merupakan pertarungan antara kubu aliansi dan oposisi. Dengan demikian, aparatus suatu negara pasti akan terus bergerak dan hidup demi mempertahankan kekuasaan. Rezim penguasa akan berusaha bertahan melewati berbagai macam gorengan publik yang berusaha mengubah kepemilikan kekuasaan negara.
Kenyataannya, suatu rezim dapat dengan mudah menguasai suatu negara, bahkan rezim yang buruk sekali pun. Dengan demikian, negara yang semula merupakan suatu entitas yang bersih dan suci, perlahan-lahan akan tercoreng dengan adanya dosa-dosa dari rezim yang berkuasa. Ketika sebuah rezim tidak bisa menjalankan negara, maka kehancuran negara akan menjadi kenyatan seiring dengan berjalanya waktu.
Rezim dalam sebuah negara tidak akan pernah bisa menjadi rezim yang baik walaupun selama ini telah menciptakan sebuah kebijakan-kebijakan yang baik. Rezim akan selalu dinilai salah ketika disusupi oleh kepentingan golongan dan politik.