Kematian anggota polisi Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang merupakan sopir dari istri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Republik Indonesia (Divisi Propam Polri), menghadirkan banyak pertanyaan di benak publik karena kesimpangsiuran insiden maut tersebut dan keterangan polisi yang tidak dapat diterima oleh akal sehat.
Keterangan resmi Mabes Polri bahwa kematian anggota polisi setingkat bintara tersebut disebabkan oleh baku tembak dengan Bharada E, rekan sesama anggota polisi yang diperbantukan untuk mengawal keluarga Ferdy, menimbulkan pertanyaan mengapa mereka yang sesama anggota polisi pada unit kerja yang sama dapat saling tembak-menembak. Keterangan resmi tersebut juga segera menimbulkan banyak pertanyaan lanjutan, seperti bagaimana dalam baku tembak tersebut Brigadir J bisa terkena lima peluru sedangkan satu peluru saja sudah cukup untuk merobohkannya. Apakah ia sengaja hendak dibunuh? Hendak dieksekusi? Kemudian fakta bahwa Brigadir J roboh oleh jenis pistol Glock yang seharusnya hanya dimiliki oleh perwira juga menimbulkan pertanyaaan. Bagaimana bisa seorang Bharada, pangkat terendah dalam kepolisian, memegang pistol secanggih itu? Apakah Bharada E hanya suruhan, dikambinghitamkan, atau dikorbankan untuk melindungi seseorang dengan posisi yang jauh lebih tinggi dari dia?
Kalau begitu, siapa yang coba dilindungi oleh polisi? Jika melihat sebegitu sistematisnya percobaan perlindungan ini, timbul dugaan, apakah bukan Ferdy sendiri yang melakukannya? Keterangan polisi bahwa baku tembak terjadi karena pelecehan terhadap istri Ferdy bisa menjadi penjelasan masuk mengapa Ferdy sangat marah, dan masalah ini menjadi sangat personal, sehingga memicu eksekusi maut ini.
Pelajaran dari Masa Orba dan SBY
Insiden penembakan terhadap Brigadir J ini mengingatkan saya kepada kasus penembakan Bambang Heru, seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Ia ditembak sehingga meninggal oleh seorang mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) yang kebetulan anak seorang petinggi militer ketika saya menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Mahasiswa UI pada sekitar tahun 1976. Ini masa di mana militer sangat berkuasa dan polisi masih bergabung.
Seperti yang saya gambarkan dalam buku saya, Dalam Pusaran Adab Dipimpin dan Memimpin: Biografi Seorang Aktivis, insiden yang terjadi pada bulan November 1976 ini berawal dari keributan antara Bambang dengan mahasiswa UKI ini. Keributan antara mereka dilanjutkan dengan kejar-mengejar mobil. Akhirnya karena merasa terdesak, mahasiswa UKI yang dikejar Bambang ini mengeluarkan senjata api milik orang tuanya yang dia bawa. Akibatnya, Bambang tewas di tempat dengan luka tembak. Pelakunya kemudian diketahui adalah anak dari Laksamana Muda Atung Sudibya, asisten pengamanan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL).
Kematian Bambang menyebabkan terjadinya keributan di komunitas mahasiswa UI. Selaku Ketua Umum DMUI, saya memimpin aksi protes atas kasus penembakan itu. Bagi saya, walaupun pelakunya anak seorang petinggi, hukum tidak boleh pandang bulu. Pelakunya harus ditindak meskipun pada saat itu militer sangat berkuasa dan sedang melakukan represi yang sangat keras kepada mahasiswa akibat persitiwa Malari hanya dua tahun sebelumnya.
Atung menghadapi langsung demonstrasi ini. Di depan saya dan teman-teman, dia mengakui penembakan tersebut dan mengakui kesalahan anaknya serta kelalaiannya sebagai orang tua. Ia sudah menyerahkan anaknya ke tahanan Polisi Militer Angkatan Laut (POMAL) dan bahkan kemudian mengundurkan diri dari jabatannya untuk bisa berkonsentrasi mendampingi anaknya dalam proses hukum tanpa embel-embel jabatan yang bisa mendatangkan tuduhan penyalahgunaan kekuasaan.
“Betul, pistol itu milik saya dan telah digunakan secara salah oleh anak saya tanpa sepengetahuan saya. Saya bertanggung jawab atas kesalahan anak saya ini. Ini sepenuhnya kelalaian saya dan saya mohon maaf,” ujarnya.
Terus terang, saya kaget juga dengan tanggapan semacam itu sehingga tidak segera menanggapi.
“Jadi besok saya akan menghadap KSAL, menjelaskan duduk perkaranya, dan mengundurkan diri dari jabatan saya agar saya bisa fokus mendampingi anak saya di pengadilan,” katanya lagi.
Sikap kesatria dan sadar diri dari Atung yang menjaga kehormatan Angkatan Laut seharusnya dicontoh oleh Ferdy dan para jenderal polisi lainnya demi menjaga sisa kredibilitas dan kepercayaan terhadap Polri di mata publik.
Meskipun masih jauh dari ideal untuk mereformasi kepolisian secara total, pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, banyak jenderal polisi yang bisa ditindak, dipidana, dan dipenjara karena kejahatan mereka.
Baca juga:
Pada 2006, mantan Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal Suyitno Landung dan mantan Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Samuel Ismoko dijatuhi vonis penjara pelha pengadilan karena menerima suap dalam penanganan kasus pembobolan bank BNI yang dilakukan Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.
Pada 2009, Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji dipaksa mengundurkan diri dan kemudian dipidana karena terlibat dalam berbagai kasus. Kejadian yang kemudian dikenal sebagai cicak vs buaya ini melibatkan Susno Duadji antara lain dalam kasus korupsi pengamanan dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat dan kasus PT Salmah Arowana Lestari (SAL) milik Anggodo Widjojo.
Tahun 2011, dua jenderal polisi menjadi perhatian publik karena terlibat dalam makelar kasus mafia pajak Gayus Tambunan. Mereka adalah Irjen Pol Raja Erizman dan Brigjen Pol Edmon Ilyas. Keduanya merupakan mantan Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim yang menangani kasus mantan pegawai pajak Gayus Tambunan. Keduanya dipecat dari jabatannya dan mendapatkan hukuman pidana.
Pada 2012, publik dihebohkan dengan pemberitaan kasus korupsi pengadaan simulator SIM senilai Rp198 miliar. Mantan Kakorlantas Polri Irjen Pol Djoko Susilo dan mantan Wakil Kakorlantas Brigjen Pol Didik Purnomo harus bertanggung jawab terkait kasus ini. Djoko Susilo divonis 18 tahun penjara, disita seluruh kekayaannya, dan dicabut hak politiknya. Sementara Didik Purnomo divonis 5 tahun penjara karena dinilai terbukti bersalah dalam kasus ini.
Sayangnya, momentum keberanian penindakan terhadap para jenderal polisi ini tidak dilanjutkan pada masa Presiden Joko Widodo, di mana misalnya, Komisaris Jenderal Budi Gunawan yang dinyatakan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) malah diberi jabatan yang sangat strategis oleh Jokowi sebagai Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dan kemudian kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Momentum Reformasi Polri
Apapun alasan di belakang meninggalnya Brigadir J, publik menunggu transparansi dan apa yang akan dilakukan Polri untuk mengungkapkan kebenaran tentang kasus ini tanpa ada yang ditutup-tutupi. Berbagai survei telah menunjukkan betapa rendahnya kepercayaan publik kepada polisi. Jika kasus ini terus ditutup-tutupi, kepercayaan yang masih ada terhadap Polri akan hilang sama sekali. Apa jadinya jika polisi tidak mendapatkan kepercayaan dari masayarakat? Kesatuan ini berarti sudah tidak punya mandat dari masyarakat untuk terus ada.
Masyarakat dan terutama sekali keluarga Brigadir J dan keluarga Bharada E pasti tidak bisa menerima ketidakadilan terhadap anggota keluarga mereka yang akan menciderai nama keduanya serta keluarga besar mereka sampai kasus ini benar-benar terang benderang.
Presiden Jokowi seharusnya bisa memakai kasus ini sebagai pintu masuk untuk membenahi secara total kesatuan ini. Kepala Divisi Propam Polri adalah salah satu jabatan paling strategis di tubuh Polri karena ia menegakkan disiplin, menjaga peraturan internal untuk tetap ditaati, dan menghukum personel yang melakukan pelanggaran. Ia menjadi panutan ratusan ribu anggota polisi di seluruh Indonesia. Apa jadinya jika seorang kepala Propam memberikan contoh bahwa anggota polisi dapat menghindari hukum atau kebal hukum? Peraturan dan disiplin yang mutlak ditaati akan menjadi seperti permainan yang dapat dilanggar sewaktu-waktu. Ini menjelaskan bagaimana banyaknya kasus polisi yang melanggar aturan dan hukum, dan indikasi bahwa sudah saatnya polisi direformasi total.
Polri adalah tiang negara. Indonesia yang demokratis dan ingin maju mutlak butuh polisi yang bersih dan jujur seperti yang telah dicontohkan almarhum Hoegeng. Saya yakin kita belum terlambat untuk membenahi kesatuan yang kita cintai bersama ini.
Dipo Alam adalah mantan Ketua Umum Dewan Mahasiswa UI dan Sekretaris Kabinet dibawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.