Warganet Twitter banyak yang kebakaran jenggot menanggapi cuplikan obrolan Omong-Omong dengan Mohammad Rafi Azzamy, pelajar SMK yang pernah mengkritik disiplin ala sekolah dalam Sekolah dan Ilusi Kedisiplinan. Alfian Bahri dalam tulisannya, Ketika Siswa SMK Menggugat Sekolah, beranggapan bahwa sikap reaktif dan antipati warganet terhadap upaya kritik Rafi merupakan bukti nyata bahwa masih sulit menjelaskan kepada orang-orang bahwa sekolah dan pendidikan di Indonesia mengandung kesalahan fundamental.
Saya melihat adanya faktor jurang antar generasi dalam keriuhan wacana ini, khususnya antara Generasi X dan Y dengan Generasi Z. Generasi X dan Y adalah generasi yang hidup sebagai orang dewasa di era Revolusi Industri 4.0. Orang-orang yang saat ini berusia 26 – 45 tahun adalah generasi gabungan yang tumbuh besar dengan didikan behavioristis. Aspek-aspek kunci didikan behavioristis yang meliputi budaya hukuman, kebiasaan berseragam, kepatuhan, ketundukan, serta sama rata, sama rasa yang senantiasa dijejalkan kepada mereka.
Hasilnya? Banyak di antara orang dalam rentang usia tersebut yang masih percaya bahwa paradigma pendidikan yang behavioristis ini masih baik diterapkan hingga saat ini. Perubahan perilaku pada peserta didik pasca mendapat pendidikan behavioristis tampak jelas karena pendidikan ini menanamkan pembiasaan atau habit hingga menjadi suatu keniscayaan. Konsekuensinya, pembiasaan-pembiasaan ini pulalah yang menjadikan paradigma pendidikan behavioristis berkecenderungan kolot dan kaku.
Baca juga:
Orang-orang hasil didikan behavioristis kerap bersikap skeptis dan judgemental ketika menghadapi perubahan-perubahan di masyarakat yang terjadi dengan begitu cepat. Bentrok-bentrok pemikiran antara Generasi X dan Y dengan Generasi Z pun menjadi tak terelakkan. Generasi Z yang lahir sekitar akhir deade 90-an hingga awal 2000-an dan tumbuh besar dengan perkembangan teknologi informasi dan perubahan-perubahan yang menyertainya tentu tak bisa hanya manut dididik menggunakan cara-cara behavioristis.
Sebagai penggerak utama disrupsi atau perubahan-perubahan besar dalam kehidupan masyarakat di era Revolusi Industri 4.0, Generasi Z menghendaki pendidikan yang sesuai dengan zaman mereka. Namun, ini bukan berarti Generasi Z bisa lepas dari dromologi atau budaya ketergesa-gesaan yang terpatri dalam benak generasi-generasi terdahulu. Generasi Z justru tak punya banyak pilihan selain ikut dalam dromologi yang menuntut manusia untuk bergerak terus; seakan jika orang tidak bergerak cepat akan tertinggal, bahkan mati.
Behaviorisme Sekolah
Rerata sekolah masih membentuk karakter melalui pendidikan behaviorisme. Behaviorisme sendiri terus berkembang menjadi bentuk-bentuk yang lebih modern. Tidak hanya mencakup perilaku, behaviorisme juga merambah proses sosial dan kognitif. Seperti yang dikemukakan oleh Albert Bandura tentang belajar sosial, yakni pembelajaran yang mencakup lingkungan sosial sehingga berbuah pada pemahaman yang memengaruhi perubahan perilaku seseorang.
Bagi siswa, proses pembelajaran sekarang jelas-jelas kaku dan kolot. Keresahan para siswa akan hal ini bisa dipahami. Gaya hidup, pola asuh, dan pendidikan rerata Generasi Z dan Alpha membuat mereka lebih bisa kritis terhadap behaviorisme pendidikan yang sedang coba dijejalkan kepada mereka. Ekspresi kritis tersebut misalnya kritik Mohammad Rafi Azzamy terhadap kedisiplinan ala sekolahan yang menurutnya tak lebih dari sekadar omong kosong alias ilusi dalam Sekolah dan Ilusi Kedisiplinan. Sekolah, bagi Rafi, keliru memandang pemberian hukuman dan tetek bengek pendisiplinan sebagai usaha mencerdaskan.
Kedisiplinan
Menurut Suharsimi Arikunto, disiplin adalah kepatuhan seseorang dalam mengikuti peraturan atau tata tertib karena didorong oleh adanya kesadaran yang ada pada kata hatinya tanpa adanya paksaan dari pihak luar. Thomas Gordon berpendapat bahwa disiplin adalah perilaku dan tata tertib yang sesuai dengan peraturan dan ketetapan atau perilaku yang diperoleh dari latihan yang dilakukan secara terus-menerus.
Kedisiplinan versi behavioralis menuntut keseragaman dan kepatuhan. Sifatnya kaku dan mengikat, kalau perlu diadakan hukuman bagi pelanggarnya. Namun, menurut Bandura, menekankan pada pengamatan atau modelling dalam proses belajar, kedisiplinan pada peserta didik terbentuk dengan mencontoh perilaku orang lain melalui identifikasi dan observasi. Peserta didik akan mengulang perilaku disiplin jika diberikan penguatan positif, alih-alih hukuman.
Baca juga:
Perubahan zaman menuntut kedisiplinan diajarkan dengan menggunakan paradigma lain yang dianggap lebih relatable dengan kondisi generasi saat ini. Paradigma baru yang humanistis dan konstruktivis untuk membentuk disiplin secara lebih fleksibel dinilai cocok, tetapi membutuhkan lebih banyak kesabaran dan waktu untuk mencapai hasilnya.
Adaptasi dalam membangun sebuah mindset dan perubahan kognitif yang memberikan pemaknaan atas tujuan disiplin di lingkungan sekolah itu tidaklah mudah. Perbedaan background pada masing-masing individu menjadi salah satu hal yang perlu dipertimbangkan. Kesamaan perspektif pada pendidik, orangtua, dan siswa juga perlu diperhatikan. Perubahan akan pendidikan dan pola kedisiplinan bisa terjadi asalkan perubahan itu bersifat menyeluruh.
Generasi X dan Y perlu waktu untuk bisa keluar dari zona nyaman dan menerima produk dari kebiasaan baru dalam menyikapi kedisiplinan. Pendidikan konstruktivisme yang ditawarkan oleh pemerintah melalui kurikulum Merdeka Belajar adalah jembatan atau medium pembentukan karakter pada siswa yang sebisa mungkin meninggalkan behaviorisme yang usang. Sekolah tetap punya andil penting dalam pendidikan konstruktivisme, hanya saja pelaksanaannya harus disertai dengan kolaborasi aktif dengan berbagai pihak, terutama siswa. Sebab, bagaimanapun, sekolah adalah pendidikan itu sendiri.
Editor: Emma Amelia