Aku sudah putus asa. Aku ingin memecahkan batok kepala anak itu. Mempretelinya inci demi inci. Mengulitinya, menjilati bau anyir darahnya. Lalu, dengan alat bedah dan sedikit pengalaman, akan kulakukan tanpa sepengetahuan anakku. Membongkar pasang sel-sel otaknya. Mereset ulang semuanya.
***
Aku bingung. Sebenarnya isi kepala anakku apa?
Kepala itu yang terlebih dahulu keluar, kemudian disusul leher, tubuh-tangan, dan terakhir adalah kaki mungilnya. Aku masih mengingatnya, bukan tempurung kosong yang keluar dari rahimku. Aku mengeluarkan kepala berisi otak manusia. Dokter membenarkan itu.
Bayi itu menangis keras. Tangisan yang dinanti olehku dan suami.
Aku melihat sekilas, kepala itu masih polos penuh darah segar dari rahimku. Rasa sakit saat mengeluarkannya masih bisa aku jelaskan. Tapi sayang, bapaknya tidak berani di sampingku. Dia menangis kalau melihat aku kesakitan, katanya.
Aku masih mengingatnya, tangis pertama itu begitu keras. Itu melegakan. Orang baru lahir memang harus menangis, begitu kata ibuku dulu. Kalau tidak menangis, nanti bisa jadi bisu. Mengingat pengorbanan dan perjuangan saat melahirkan, aku begitu marah saat anakku dibilang tidak punya otak. Tapi, aku juga tidak bisa memungkiri, anakku memang berbeda.
Hampir semua sekolah angkat tangan. Guru-gurunya menyerah. Anakku terlampau parah, kata mereka.
Malu, teman-temanku udah besar semua, aku gak mau sekolah! Malu!
Itu yang selalu dieluhkan anakku. Aku sebagai orangtua sebenarnya juga kasihan dan tidak tega. Cukup logis bila dia merasa demikian. Dia tidak naik kelas beberapa kali. Dia sekarang kelas sembilan, pantarannya sudah kuliah dan bekerja. Itu karena memang anakku sering pindah-pindah sekolah lantaran tak naik kelas.
Guru-guru dibuat jengkel setiap waktunya. Anakku memang aneh. Terutama omongannya. Aku sebagai orangtua yang tahu persis kesehariannya, selalu dibuat bingung. Entah setan mana yang merasukinya, sehingga cericauannya sulit aku pahami.
“Dulu orang-orang bekerja gak dibayar, Ma. Cuma diberi makan saja. Sekarang, orang-orang itu bekerja, dan dibayar, tapi bayarannya hanya cukup buat beli makan. Itu semua karena mereka sekolah.”
“Apa hubungannya dengan kamu?”
“Aku tidak mau seperti orang-orang itu, Ma.” Dia selalu mengatakan itu dengan yakin dan tertawa-tawa.
Pergaulan anakku memang berbeda dengan anak pada umumnya. Saat yang lain sibuk bermain dengan teman sebayanya, anakku justru terdampar di pasar, bergurau dengan para pedagang. Itu yang membuatku jengkel.
Laporan guru dan sekolah juga sama. Membantah perintah guru, memprovokasi teman-temannya untuk bolos dan melawan, itu yang sering dilakukan anakku. Dia benar-benar anarkis. Itu bahaya untuk pendidikan kita, kata salah seorang guru.
Aku bukannya tak menegur. Belasan sapu dan 4 kursi plastik berhasil patah. Namun, anakku hanya menjerit kesakitan saja, selebihnya dia tak juga kapok. Bahkan aku sampai bingung, bagian tubuh mana lagi yang belum aku hajar.
“Aku benci sekolah, Ma! Aku benci!”
Anakku terus mengatakan itu dalam tangisnya. Dan itu semakin menyulut amarahku.
“Dia memang anak yang susah diatur, gak mau sekolah,” kata para tetangga yang mendengar itu.
“Jangan bermain dengan anak itu!” timpal yang lainnya.
Kursi itu melayang. Kepala anakku bocor. Aku pun menangis.
***
Anakku memang gak punya otak. Aku pernah membuktikannya sendiri. Mengerjakan matematika sederhana saja, dia tak mampu. Dari sepuluh soal, hanya 2 soal yang benar, selebihnya salah total. Aku suruh membaca buku, kepalanya pusing. Aku suruh menggambar, dia cuma bisa coret-coret gak jelas dan buang-lempar kertas. Soal agama, itu paling parah. Dia lebih rela aku pukuli ketimbang pergi salat. Hari Jumat, dia sering nongkrong di warung kopi bersama tukang becak. Ibu-ibu sering melaporkan itu. Aku malu bukan main.
***
Anakku harus sekolah. Sekolah itu penting. Kalau tidak sekolah, nanti besar mau jadi apa? Itu yang selalu aku nasihatkan. Tapi tampaknya percuma. Anakku lebih percaya dongeng para pedagang di pasar, bahwa jadi pengusaha membuatmu lebih cepat kaya.
“Kamu bisa dagangan saat sudah lulus,” kataku memohon.
“Kalau sudah punya ijazah, ceritanya bakal lain, Ma. Semua orang di pasar rata-rata tak lulus sekolah. Tapi mereka hidupnya tidak diperintah. Begitu bebas menentukan nasibnya sendiri.”
Aku masih gagal paham.
“Coba lihat Papa dulu. Dia berijazah, kerjanya susah. Pergi pagi, kaki dibungkus sepatu, leher diikat dasi, pinggang diikat sabuk, membawa tas, pulang sore, kadang sampai malam, lembur. Terus begitu setiap hari. Ribet sekali kerja seperti itu. Ujung-ujungnya sakit-sakitan. Dia tak pernah mengajakku bermain.”
“Di mana-mana bekerja ya seperti itu.”
“Tidak, Ma. Di pasar, bekerja begitu mudah. Para pedagang sayur dan bawang setiap hari bisa bermain lama dengan anaknya. Tidak ada jam lembur. Hidupnya juga berkecukupan, bahkan mereka banyak yang jadi juragan. Mereka semua melakukannya tanpa modal ijazah.”
“Terus kamu mau jadi pedagang sayur?”
Dia mengangguk.
Aku semakin yakin isi kepala anakku memang batu. Begitu sulit menjelaskan padanya, bahwa ijazah itu penting. Bila diteruskan, aku selalu dibuatnya marah dan sapu pun patah.
Sebenarnya, mulut licin tetangga yang paling ingin aku tabok sapu. Cibiran orang lebih mudah merusak harga diri. Aku tidak mau dicap gagal mendidik anak. Aku ingin anakku seperti lain-lainnya. Bersekolah dengan semangat, lulus, dan bekerja yang layak. Bukan jadi pedagang sayur.
Pekerjaan yang baik di mata orang ialah pekerjaan yang bermodal ijazah. Pada akhirnya orang-orang akan tetap melabeli anakku tak berpendidikan. Kepalaku mau pecah memikirkan itu. Belum lagi, aku janda. Anak janda yang tak berpendidikan, itu yang sering terdengar samar di telingaku.
Aku mengelus dada mendengar itu. Dia anakku satu-satunya. Aku harus membuatnya menjadi orang besar. Walaupun bapaknya sudah meninggal, dia tetap lelaki yang baik. Ada warisan yang bisa aku manfaatkan. Tapi justru itu jadi beban. Warisan banyak, tapi anaknya gak sekolah, janda memang payah!
Entahlah, begitu keras pikirannya. Aku ingin membongkar kepala anakku. Mencari tahu isinya, batu atau otak manusia.
***
Aku dilapori tetangga, anakku dagang pentol di pasar tadi siang. Laporan semacam itu sering kudengar, tapi tak pernah aku gubris. Sakit hati, pasti. Tapi, dia anak kesayanganku. Sungguh sulit keadaannya.
Kesabaran manusia tak ada batasnya, tetapi nafsu manusia yang membuat batas itu tampak nyata. Tetangga itu terus meyakinkanku, dia membawa foto. Dia berhasil membuatku naik pitam. Terlihat jelas anakku bertopi, sedang melayani pembeli, di depan sepeda bergerobak, bertulisan Pentol Saus Kacang Yahut.
Kali ini aku benar-benar dibuat marah. Harga diriku sebagai orangtua benar-benar runtuh. Aku seperti orangtua yang tak bisa mendidik anak. Semua pernyataan tetangga selama ini seperti dapat legalitasnya. Anak janda yang tak berpendidikan, nyata adanya.
***
Malam ini, aku akan bongkar kepala anakku. Mencari tahu isi batok kepalanya. Foto itu membayangiku. Betapa kurang ajarnya anak itu. Kesabaranku sudah habis. Dia tukang bikin malu. Bila sapu dan kursi tak mampu menyadarkannya, biar cara lain yang melakukannya.
Dia tertidur pulas, foto itu membayangiku. Terlihat begitu akrabnya anakku dengan pembeli. Lagi-lagi, ingatanku tertahan di sana. Di tanganku sudah tergenggam balok kayu tebal panjang. Omongan tetangga begitu terasa bising, mengusik tiada henti, seperti hantu.
Aku mengendap, langkahku benar-benar melayang. Begitu tenang. Aku sudah ingin membedah kepala anak itu. Anak tak tahu diuntung, bikin malu keluarga.
Daun pintu itu aku tekan pelan ke bawah, nyaris tanpa suara, aku dorong begitu terasa longgar. Pelan. Aku sendiri tak dengar suara gesekan selain degup jantungku. Yang ada di kepalaku saat ini hanya ingin membongkar isi kepala itu.
Kini kepala itu sudah begitu dekat denganku. Wajah jagoanku begitu polos, ada masa depan di sana. Masa depannya dan masa depanku yang suram. Aku hanya tinggal mengayunkan tanganku sekeras mungkin. Dia memang anak yang bikin malu. Tapi aku begitu sayang, dia satu-satunya yang kumiliki. Dan, foto terakhir anakku di pasar tadi, berhasil mengubah hidupku. Kepalanya tiba-tiba berubah menjadi kepalaku. Wajahnya menjadi wajahku.