Dalam persaingan untuk merebut suatu citra, sekolah memiliki alat bernama ‘lomba’. Perlombaan, pada dasarnya (jika kita optimis), dibentuk sebagai ajang manusia untuk bertukar pengetahuan. Namun, lambat laun perlombaan dimonopoli secara politis oleh beberapa pihak.
Euforia Lomba dan Monopoli Nalar Manusia
Ada semacam elemen fundamental yang menjadi landasan mengapa manusia begitu antusias terhadap lomba, prestasi namanya. Prestasi adalah suatu fantasi yang diciptakan oleh tatanan sosial-budaya manusia. Fantasi ini menghasilkan suatu dorongan dalam kesadaran manusia untuk menggapainya. Fantasi disusun oleh elemen-elemen makna yang menempel pada kesadaran. Prestasi sebagai suatu fantasi memiliki elemen makna yang mengisinya, seperti makna bahwa prestasi itu luar biasa, makna bahwa prestasi itu membuat manusia dikenang sejarah, atau bahkan makna bahwa prestasi itu membuat manusia diakui oleh sekitarnya.
Elemen fundamental bernama ‘prestasi’ inilah yang menjadi landasan antusiasme manusia pada perlombaan. Karena elemen ini berhasil menciptakan fantasi yang luar biasa tinggi pada manusia, dorongan untuk pencapaiannya pun amatlah besar. Dorongan pencapaian ini akan mengarahkan manusia pada apa yang disebut sebagai kenikmatan (jouissance), layaknya orgasme, prestasi dapat menghasilkan kepuasan bagi manusia. Fantasi akan prestasi ini membuat manusia terjebak pada semacam ekstase yang membuat dorongan utama pada lomba, yakni pencapaian akan pengetahuan, berganti menjadi libido liar sebagai ajang pemuasan. Inilah yang disebut sebagai euforia.
Secara politis, euforia ini sengaja diciptakan demi manuver ekonomis-ideologis. Euforia dapat diciptakan secara sengaja. Dengan memahami bahwa euforia terjadi karena adanya ekstase akibat fantasi yang melahirkan dorongan pemenuhan makna dalam keinginan, kita dapat mengetahui bahwa menciptakan euforia adalah dengan mengendalikan fantasi, mengendalikan pemaknaan.
Doktrin Orang-orang Terpilih
Cerminan kompetisi yang menjadi esensi utama dalam lomba merepresentasikan sejarah konflik dalam peradaban manusia. Karl Popper, dalam karyanya A Poverty Of Historicism, menyebut bahwa sejarah manusia hanyalah sejarah bagi orang-orang terpilih yang sejatinya serakah. Sejarah manusia disusun oleh apa yang Popper sebut sebagai “doktrin orang-orang terpilih”, yakni semacam ajaran dan tuntutan agar manusia ingin eksis dalam sejarah, entah melalui kekuasaan, pencapaian, maupun kebaikan. Popper mengatakan bahwa manusia baik sejati tak akan menginginkan dirinya untuk eksis dalam sejarah, bahkan nama manusia-manusia baik sejati mungkin tak pernah ditulis dalam sejarah manusia, sebab yang ditulis hanyalah mereka yang memenangkan konflik dan memiliki hasrat serakah untuk diakui manusia.
Kita dapat melihat mereka yang dianggap sebagai pahlawan sebenarnya hanyalah mereka yang memenangkan konflik dalam sejarah panjang umat manusia. Mereka sejatinya adalah sosok serakah yang memiliki sifat rakus untuk berkuasa. Pahlawan sesungguhnya tak akan pernah ingin eksis dalam sejarah. Contoh ini adalah contoh makro, kita dapat menemukan contoh mikro dari “doktrin orang-orang terpilih” dalam fenomena perlombaan.
Dapat kita lihat bahwa siapapun yang menjadi pemenang lomba, merekalah yang akan dikenang. Para pemenang lomba akan masuk dalam sejarah karena kemenangan mereka, sedangkan yang mengalami kekalahan akan hilang dalam sejarah. Lebih buruknya, mereka yang kalah dalam perlombaan akan merasakan kegagalan yang berlebih karena ada anggapan bahwa ia telah melakukan kesalahan sejarah.
Baca juga:
Perlombaan memiliki tuntutan politis yang amat kuat, siapapun peserta yang mengikuti lomba pasti mewakili institusi atau wilayah etnografisnya, hal ini membuat peserta lomba memiliki beban tanggung jawab yang amat berat.
Salah jika kita memahami bahwa peserta lomba hanya menjadi subjek-subjek yang menitih karirnya, padahal para peserta lomba juga menjadi subjek politis yang digunakan intitusi atau tempat yang ia wakili.
Beberapa peserta lomba memang sukarela mendaftarkan diri mereka dalam perlombaan, tetapi tetap saja peserta lomba membawa identitas politis-ideologis (institusi, kaum, atau tempat yang ia wakili) yang menempel pada dirinya. Identitas politis-ideologis ini membebankan suatu tanggung jawab pada para peserta lomba, tentu dalam skema “doktrin orang-orang terpilih”.
Kita bisa melihat sekolah sebagai contoh kasusnya. Dalam pengajaran-pengajarannya, sekolah sering menanamkan “doktrin orang-orang terpilih” soal kebanggaan, kehebatan, dan semacamnya. Bahkan di pondok saya semasa saya SMP, ada semacam kata-kata terkenal yang berbunyi “jangan tanyakan apa yang pondok berikan padamu, tanyakanlah apa yang kamu berikan pada pondok”.
Doktrin atau kata-kata ini meramu makna yang mengisi fantasi murid, hasilnya murid mengalami ekstase dalam dirinya. Ekstase ini menjadi semacam ilusi yang menipu murid akan tujuan sebenarnya ia bersekolah, yaitu mencari pengetahuan agar bisa bermanfaat bagi sesama, bukan malah mencari kebanggan dan semacamnya. Ekstase inilah yang menimbulkan euforia, akibatnya tujuan murid dalam bersekolah teralihkan oleh fantasi yang diciptakan sekolah.
Manuver fantasi oleh sekolah ini jelas politis, sebab sekolah juga terjangkit “doktrin orang-orang terpilih” karena sekolah ingin eksis di dalam benak manusia, bahkan dalam skema ekonomi sekolah jelas ingin memperkaya diri. Demi menjalankan kepentingan ekonomis-ideologis ini sekolah perlu memanfaatkan murid-muridnya. Sekolah sebagai institusi yang politis tentu juga digunakan oleh negara sebagai media sosialisasi, seperti yang dijelaskan oleh Philip Wexler dalam Education in a Changing Society. Negara menggunakan sekolah untuk menyebarkan propagandanya, agar manusia-manusia di dalam sekolah dapat menjadi warga yang paham dan diam akan aturan-aturan yang ada, dan prestasi di sini adalah alat yang sangat efektif untuk melakukannya.
Pengajaran-pengajaran di sekolah sangat erat dengan apa yang disebut sebagai “monopoli penalaran”, yakni semacam pengendalian pola pikir murid oleh sekolah, sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Robert Dreeben dalam On What Is Learned in School, bahwa sekolah melakukan pengajaran hal-hal yang sesuai dengan kepentingan yang ada (negara maupun budaya). Dengan menciptakan kebakuan-kebakuan dalam pembelajaran terkait norma maupun pengetahuan, sekolah telah memonopoli penalaran. Monopoli penalaran ini didukung oleh ‘fantasi prestasi’ dalam perlombaan.
Dari Pesta Intelektual hingga Libido Kapital
Telah kita lihat bagaimana sekolah memanuver perlombaan yang semestinya menjadi ajang pesta intelektual berubah menjadi alat monopoli akal. Fenomena ini jelas tak lepas dari sistem kapitalisme yang menjadi hegemoni abad modern hari ini, kita tak boleh naif dengan mengatakan bahwa perlombaan sebagai ajang intelektual belaka, sebab perlombaan telah menjadi media kapital untuk memperluas teritorinya.
Sekolah hari ini telah menjadi institusi kapitalis yang sudah menyimpang jauh dari rumpun pedagogi humanis, peran lomba dalam pengembangan teritori kapitalisme sekolah adalah sebagai penghasil citra. Citra adalah semacam jembatan fantasi pada realitas atau sebaliknya. Semisal fantasi manusia dalam memilih sekolah yang bagus, mereka akan melihat citra yang terkandung di berbagai macam sekolah dan memilih citra yang paling sesuai dengan fantasinya, realitas mengenai ‘sekolah bagus’ yang dipikirkan manusia dikaburkan oleh citra.
Perkembangan teknologi membuat citra-citra hari ini semakin mengaburkan realitas, sejalan dengan apa yang disebut Baudrillard sebagai hiperealitas. Pengaburan realitas oleh citra ini menghasilkan suatu masyarakat yang disebut Guy Debord dalam Society of the Spectacle sebagai ‘masyarakat tontonan’, yakni masyarakat yang menganggap sentral peran citra dalam membangun relasi sosialnya. Pencarian manusia akan ‘sekolah bagus’ jelas adalah pencarian akan citra tentang hal-hal bagus. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh sekolah, dalam konteks pembahasan kita yakni penghasilan citra melalui prestasi dalam lomba. Perlombaan yang awalnya menjadi ajang pesta intelektual kini diperalat guna memuaskan nafsu libido kapital.
Baca juga:
Citra Prestasi: Membaca Ilusi
Citra ‘sekolah bagus’ sering diidentikkan dengan ‘pencapaian prestasi’. Inilah kebodohan kita. Dengan memandang demikian, kita telah lupa fungsi sejati sekolah sebagai institusi pendidikan.
Sekolah yang bagus seharusnya dilihat dari sistemnya, pengajarannya, pola keseharian di dalamnya, bukan malah dari citra prestasi yang ada.
Para penghamba citra ini diejek oleh Sontag dalam The Image World. Manusia yang terjerat dalam dunia citra adalah manusia yang lebih memilih citra ketimbang nyata, copy ketimbang asli, penampakan ketimbang eksistensi. Dengan memilih citra ketimbang realita, sama artinya dengan lebih memilih kepalsuan ketimbang kebenaran.
Dari sini, kita (yang memilih realita ketimbang citra) harus dengan tegas mengatakan bahwa omong kosong sekolah mengaku dirinya sebagai ‘sekolah bagus’ apabila mereka hanya memaparkan prestasi yang diraih, komentar tokoh, dan statistika karir alumni (ini semua politis!). Sekolah bagus itu dilihat dari realita pengajarannya, bukan ilusi citranya. Ilusi-ilusi yang dihasilkan citra ini harus dibongkar sedalam mungkin, dengan melihat realita yang sesungguhnya, bukan citra yang mengaburkannya.
Editor: Prihandini N
Keren nih
Sy sebagai pengajar lepas seneng banget kalau melihat murid yg kritis namun tetap tahu etis dan berani seperti ini. Maju terus dek, sukses ya sm bukunya juga sekses selalu…😀👍
Itulah kenapa Indonesia sering juara Olimpiade namun gak pernah menang Nobel.
Kaburnya Harga Oleh Nilai – Catatan Pinggir, Goenawan Muhammad.