Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk sistem pendidikan, seperti: Pendidikan Hindu, Pendidikan Buddha, Pendidikan Islam, Pendidikan VOC, Pendidikan Kolonial Belanda, Pendidikan Jepang, dan Pendidikan Setelah Proklamasi (Sumarsono, 1985). Sejak awal kemerdekaan, Indonesia juga sudah memberikan perhatian besar pada perkembangan pendidikan. Hal itu telah secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 Bab XIII yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. Sejak saat itu sistem Pendidikan nasional kita telah mengalami 11 kali perubahan kurikulum.
Baca juga:
Kita perlu memaklumi bahwa perubahan itu merupakan konsekuensi logis dari politik kurikulum yang terjadi di setiap masanya. Apa itu politik kurikulum? Politik kurikulum adalah setiap kebijakan pendidikan yang berdasarkan pada keputusan politik.
Prof. Said Hamid Hasan, Guru Besar Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia, mengemukakan bahwa kepedulian terhadap politik dan pengaruh kepentingan politik terhadap pendidikan semakin kuat dari masa-masa sebelumnya. Dalam hal ini, kurikulum sebagai jantung dari pendidikan tidak luput dari sebuah kebijakan yang ditentukan oleh kepentingan politik.
Ungkapan satire “Ganti Menteri ganti kurikulum” sebetulnya bukan sebuah ucapan penolakan, namun hanya ekspresi kaget untuk suatu perubahan yang mungkin bisa saja kebijakan sebelumnya masih dalam proses pembiasaan. Dan politik kurikulum akan menjadai isu nasional dalam menentukan kemana arah suatu bangsa akan dididik.
Gebrakan Merdeka Belajar
Arah Pendidikan Nasional saat ini tengah diperjelas sedikit demi sedikit. Nadiem Makarim melalui Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka sedang berupaya membawa pelajar generasi muda bisa hidup survive. Generasi abad 21 adalah generasi muda Indonesia yang memiliki kemampuan dan keterampilan tingkat tinggi, serta dibarengi dengan karakter unggul. Merdeka Belajar harus didahului oleh para gurunya sebelum mengajarkan kepada murid-muridnya.
Dalam sejarahnya, posisi guru mengalami perubahan-perubahan. Saat masa perjuangan di awal kemerdekaan, posisi guru aktif bergerak demi kemajuan bangsa dan berperan dalam politik kebangsaan. Berlanjut pada masa Orde Baru, kebebasan guru dipenggal dengan mengekang keras segala pandangan yang bertentangan dengan kehendak penguasa. Meski sudah memasuki masa Reformasi, peran guru hingga saat ini masih sama, yaitu mencetak anak-anak sesuai dengan arahan pemerintah dan disibukkan dengan perangkat administratif.
Saat ini pemerintah berupaya untuk memerdekakan proses belajar dengan guru diberikan kewenangan dalam membentuk murid-murid. Harapan besarnya guru dapat bebas berkreasi, berinovasi, serta mandiri untuk mengajar peserta didik sesuai dengan karakteristik masing-masing indvidu.
Pertanyaannya, apakah kualitas guru sudah mampu untuk dapat menerapkan pembelajaran model seperti itu?
Baca juga:
Jika dari sisi pendidik terlihat lebih diringankan pada tugas administrasi, namun kita juga perlu melihat bagaimana dari sisi murid-muridnya. Tahun 2020 lalu pelaksaaan UN untuk terakhir kalinya, dan di tahun 2021 diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan survey karakter. Dari sini kita akan diperlihatkan bahwa nilai bukan lagi sesuatu yang paling utama, namun proses pembelajaran yang akan lebih diprioritaskan.
Skor PISA Bukan Rujukan
Dalam dokumen “Kajian Akademik: Kurikulum untuk Pemulihan Pembelajaran”, setidaknya ada dua hal yang mendasari perubahan dan penyederhanaan kurikulum, yaitu learning gap dan learning loss. Di sana juga dibahas tentang krisis pembelajaran, dan ukuran yang dipakai adalah skor PISA (Programme International Student assessment) pelajar di Indonesia stagnan dan tidak ada lonjakan selama periode tahun 2000 hingga 2018.
Sedangkan di sisi lain, model format penilaia PISA sudah banyak mendapat kritik dari berbagai kalangan pendidikan. Dr Yong Zhao dari Universitas Oregon misalnya, ia menyebut PISA sebagai pandangan monolitik terhadap dunia pendidikan. Hal itu juga diperkuat dengan pernyataan dari Professor Pasi Sahlberg yang menyebutkan beberapa masalah PISA, di antaranya: 1) PISA menyebabkan dampak negatif pada sistem sekolah dan 2) Sekolah mendapatkan tekanan dan mengejar standar literasi dan numerasi yang di tetapkan Lembaga PISA.
Lembaga penyelenggara PISA sendiri memiliki bias ekonomi karena merupakan aliansi perusahaan yang mencari peluang ekonomi dalam dunia pendidikan. Bias ekonomi ini memiliki tujuan untuk menyeragamkan produk pendidikan berstandar secara global. Hal itu tentu akan semakin menggeser makna dari sebuah pendidikan sebagai tempat berproses setiap individu untuk mengembangkan diri dan kemampuannya dalam menunjang keberlangsungan hidup yang dipilih.
Baca juga: Ledakan Pengangguran dan Lahirnya Generasi Sia-Sia
Visi 2050
UNESCO menerbitkan buku yang berisi dokumen visi pendidikan 2050, di mana di dalamnya mengajak kita semua membuat kontrak sosial baru. Kontrak sosial baru dibangun berlandaskan pemahaman bahwa pendidikan berkualitas sepanjang hayat dan merupakan hak asasi manusia.
Dalam buku ini terdapat sub judul “Kontrak sosial baru untuk pendidikan” yang memuat lima hal untuk memperbarui pendidikan : 1) Pedagogi didasarkan para prinsip kerjasama, kolaborasi, dan solidaritas, 2) Kurikulum menekankan pada pembelajaran ekologis antarbudaya dan interdisipliner, 3) Guru diakui sebagai produsen pengetahuan dan merupakan tokoh kunci dalam transformasi pendidikan dan sosial, 4) Sekolah adalah wahana pendidikan yang mendukung kesetaraan, inklusi, kesejahteraan individu serta masyarakat, 5) Kesempatan pendidikan berlangsung sepanjang hayat.
Sistem pendidikan kita saat ini diharapkan tidak hanya mengajarkan agar peserta didik menjadi cerdas, namun juga mampu menciptakan individu yang berkarakter. Peserta didik layak dimerdekakan dengan belajar lebih realistis dan mampu mencari solusi kritis atas persoalan hidup masing-masing individu. Sebagaimana kontrak sosial yang dicanangkan oleh UNESCO, sistem pendidikan kita harus dibangun berlandaskan bahwa pendidikan berkualitas sepanjang hayat merupakan hak asasi manusia.