Apa yang kita pelajari setelah 1,5 tahun pembelajaran jarak jauh diberlakukan selama pandemi? Ternyata guru, sekolah, dan kurikulum pendidikan belum siap menghadapi perubahan terutama untuk memasuki sistem pendidikan era digital.
Masalah yang sering dikeluhkan orangtua selama pembelajaran jarak jauh adalah menumpuknya soal dan tugas yang diberikan guru. Banyak orang tua yang kelimpungan saat mendampingi anaknya belajar daring. Apalagi saat soal dan tugas dari sekolah sangat minim penjelasan. Tak jarang, orangtua yang tidak sepenuhnya sabar dan mengerti hakikat pembelajaran, langsung membantu pengerjaan soal dan tugas. Ini jelas buruk bagi perkembangan si anak. Karena orientasi belajar bukan lagi pemahaman pengetahuan, melainkan sebatas penyelesaian tugas guru demi mendapat nilai.
Harus diakui, banyak guru yang masih rendah kualitas pengajarannya. Banyak guru yang ternyata hanya mengartikan pembelajaran daring sebagai memberi penugasan untuk murid tanpa penjelasan tentang materi pelajaran. Tugas-tugas itu hanya dikirim lewat pesan singkat (whatsapp), lalu pengumpulan ditagih dalam bentuk swafoto berseragam bersama tugas. Guru sering hanya berperan menagih pengumpulan. Pada banyak kasus, penagihan tugas selalu disertai pengancaman nilai. Ironisnya, tugas-tugas tersebut sebagian besar jawabannya tersedia di mesin pencari google.
Dalam pembelajaran, apalagi di situasi pandemi, harusnya guru menjadi pemain paling depan untuk menyesuaikan diri dan terus membelajari dirinya. Minimal, guru harus mulai benar-benar melakukan penyesuaian diri dengan teknologi. Mulai dari pola pengajaran hingga penilaian harus diubah. Selama ini, penilaian selalu dilakukan di akhir semester atau setiap selesai ulangan dan ujian. Padahal, penilaian harus dilakukan sepanjang proses guna pengumpulan informasi yang tepat.
Lingkungan Digital
Dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan berbagai seminar pendidikan, faktor penting yang senantiasa disorot ialah metode pembelajaran. Padahal, metode pembelajaran tidak pernah universal karena kondisi dan lingkungan tiap sekolah dan siswa berbeda-beda.
Dalam situasi pandemi seperti ini, permasalahan perbedaan dan kesenjangan tersebut kian lebar dan jelas. Ruang kelas bergeser dan meluas ke ruang sosial. Pada lingkup ini, kontrol pembelajaran sudah tidak mungkin lagi pada sebatas metode pembelajaran dan pengawasan. Butuh hal yang lebih luas, plural, majemuk, namun privat.
Desain pendidikan Indonesia sampai detik ini buta terhadap permasalahan tersebut. Padahal bangsa ini punya dasar kuat dari Ki Hajar Dewantara dengan ing ngarsah sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Tetapi konsep itu dari dulu selalu miskonsepsi dan gagal dalam penerapan. Akibatnya, dari dulu banyak pelaku pendidikan yang terjebak dalam konsep metode dan standarisasi.
Dunia hari ini memiliki lingkungan baru yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah peradabannya. Teknologi komputasi menciptakan lingkungan yang benar-benar baru yang kita sebut sebagai lingkungan digital (cyber culture).
Manusia abad 21 hidup dalam lingkungan digital tersebut. Ada budaya baru di dalam sana. Suatu budaya saat batas ruang, batas waktu, batas etika, batas norma, dan batas pengetahuan telah lebur-hilang. Kondisi ini yang sebenarnya menjadi tantangan utama pendidikan. Karena bagaimanapun, pelaku pendidikan, terutama siswa, juga turut andil dalam lingkungan tersebut.
Menurut Bandura, orang belajar melalui pengalaman langsung atau pengamatan (mencontoh model). Prinsip dasarnya, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Sementara dalam lingkungan digital, model, wadah, beserta peniruannya sangat berlimpah tanpa batas. Dalam hal inilah, pendidikan Indonesia gagap dalam menghadapinya.
Kita bisa melihat sendiri bahwa gempuran K-Pop, konten prank, hoaks, dan politisasi lebih banyak memengaruhi karakter anak usia sekolah. Hal ini tidak mengagetkan, selain produksi pengetahuan sekolah tidak berkembang, desain pendidikan Indonesia masih berkutat pada standarisasi metode dan penilaian. Jadi, jangan heran bila kita sering menemukan siswa yang lebih memilih berjoged di Tiktok ketimbang belajar. Karena sejatinya di Tiktok dan platform digital lainnya, model, peniruan, dan apresiasi lebih tersediakan ketimbang sekolah. Akhirnya, sekolah menjadi ruang yang sulit menghasilkan karakter murni.
Para pelaku pendidikan harus mulai sadar sekaligus berbenah diri. Jangan terus menerus mengulang konsep dan metode yang sama. Keadaan cyber culture mengharuskan pelakunya lebih berwawasan terbuka, adaptif dan inovatif.
Sekolah dan sistem pendidikan harus kembali pada tujuan utamanya untuk menyediakan sumber daya manusia yang unggul dan humanis.