Mahasiswa Program Doktoral Bimbingan dan Konseling, Universitas Pendidikan Indonesia

Kesejahteraan Psikologis sebagai Tujuan Pendidikan

Arina Mufrihah

3 min read

Salah satu hal yang begitu menarik mengenai pendidikan di negara-negara Eropa adalah kesejahteraan psikologis (psychological well-being) peserta didik menjadi salah satu tujuan penting pendidikan. Negara-negara Eropa yang menduduki peringkat 20 teratas The Program for International Students Assessment (PISA) tahun 2018 seperti Finlandia, Polandia, Irlandia, Slovenia, Belanda, Swedia, Denmark, Jerman, dan Belgia menempatkan kesejahteraan sebagai tujuan dari pendidikan mereka. Negara-negara tersebut, berdasarkan hasil asesmen PISA, berhasil mendidik generasi mudanya unggul di bidang sains, matematika, dan literasi. Namun menariknya, bukan kecerdasan intelektual yang menjadi tujuan penting, melainkan kesejahteraan psikologis warganya.

Kesejahteraan Psikologis

Psychological well-being, seperti halnya teori lain seperti psikologi kognitif, psikologi perkembangan, dan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skill/HOTS), merupakan sebuah teori yang digunakan untuk menyusun sebuah kebijakan dan arah pendidikan. Kesejahteraan psikologis bukanlah teori baru. Pada tahun 1989, model kesejahteraan psikologis (eudaimonia) diajukan oleh Carol D. Ryff untuk menjawab kelalaian dalam formulasi fungsi manusia yang positif. Eudaimonia fokus pada kajian tentang kebahagiaan manusia yang berhubungan dengan tujuan dan makna hidup. Teori ini kemudian menjadi rujukan induk bagi diskusi dan pengembangan kesejahteraan psikologis remaja.

Kemudian pada tahun 1998, teori Psikologi Positif digagas dan dipromosikan oleh Martin Seligman. Teori ini fokus pada fungsi positif manusia berupa kekuatan dan kebajikan. Gerakan psikologi positif digambarkan sebagai studi tentang apa yang membentuk kehidupan yang menyenangkan dan bermakna. Dan juga perlawanan dari teori psikologi klasik yang cenderung berfokus pada penyakit mental dan menekankan perilaku maladaptif dan pemikiran negatif.

Teori kesejahteraan psikologis manusia, baik model Ryff maupun Seligmen berakar dari filsafat eudaimonic,yaitu elemen penting untuk meraih kebahagiaan dan kehidupan yang baik. Berangkat dari fakta fenomenologis yang menangkap aspek inti dari apa artinya menjadi manusia: berjuang, proaktif, membuat makna, dan sebagaimana diartikulasikan oleh Aristoteles lebih dari 2.000 tahun yang lalu, untuk mengejar kebaikan tertinggi yang ada di dalam diri manusia. Cita-cita tentang fungsi manusia ini, bersama dengan penyempurnaan dari psikologi eksistensial, humanistik, perkembangan dan klinis, membuka jalan bagi target empiris dalam penelitian ilmiah yang selanjutnya dimanfaatkan untuk meningkatkan keberhasilan pendidikan dalam berbagai aspek kehidupan individu.

Langkah-langkah yang dirancang untuk mengoperasionalkan kesejahteraan eudaimonic kini telah dimasukkan ke dalam banyak bidang sebagai alat untuk mengevaluasi negosiasi remaja dalam menghadapi tantangan dan transisi hingga masa dewasa dan akhirnya usia lanjut, serta manajemen pekerjaan, keluarga, dan kehidupan masyarakat. Kesejahteraan psikologis, tampaknya, menjadi dasar untuk mendefinisikan jati diri manusia yang utuh.

Negara-negara maju yang melakukan akselerasi pendidikan abad 21 semakin menyadari bahwa generasi muda mereka terdampak risiko tinggi stres dan depresi. Risiko tinggi remaja terhadap kondisi mental yang buruk atau negatif nampaknya menjadi alasan rasional bagi pemerintah di berbagai negara maju untuk menjadikan kesejahteraan psikologis sebagai salah satu tujuan utama dari pendidikan. Di dalam dokumen-dokumen resmi negara, mereka menekankan pendidikan pada “promoting mental health and well-being”. Fokus ini bahkan menjadi bagian integral dalam kurikulum pendidikan, menjadi visi pendidikan khas abad 21.

Baca juga:

Negara-negara Eropa peringkat teratas PISA secara eksplisit menyebutkan well-being dan kata lain dengan makna serupa (prosperity dan culture of peace) sebagai tujuan esensial pendidikan mereka. Untuk memastikan tercapainya kesejahteraan individual dan sosial siswa, negara-negara yang tergabung dalam Organization of Economic Co-operation and Development (OECD) itu juga memastikan tercapainya visi pendidikan yaitu pendidikan bermutu yang adil dan setara bagi seluruh warga negaranya. Diperkuat lagi semangat dalam implementasi pendidikan sepanjang hayat (Lifelong learning education).

Tiga hal yang menjadi tujuan dan visi pendidikan selaras dengan strategi Sustainable Deveopment Goals (SDGs), adalah Pendidikan Bermutu untuk Semua (Quality Education for All/ QEFA), Kualitas Kesejahteraan dan Kesehatan (Good Health and Wellbeing), dan Institusi yang Kuat, Adil dan Damai (Peace, Justice, and Strong Institutions).

Kesejahteraan dan Keterampilan

Kesejahteraan tentu bukan tujuan tunggal, komponen lain yang juga menjadi fokus yaitu mengoptimalkan kemampuan peserta didik agar memiliki keterampilan yang relevan dengan tuntutan industri dan globalisasi. Akan tetapi, well-being menjadi prasyarat dasar untuk mampu mengakselerasi berbagai keterampilan dalam pasar kerja global yang selalu berubah. Memang nampak kontradiktif, di satu sisi kesejahteraan psikologis dianggap penting dan di sisi lain generasi muda juga diharapkan kompetitif dengan cara menguasai berbagai keterampilan yang relevan. Tujuan yang kedua justru disebut-sebut menjadi penyebab rendahnya resiliensi dan memburuknya kesejahteraan psikologis siswa remaja.

Kedua tujuan yang ingin dicapai secara simultan menunjukkan keseimbangan yang dicita-citakan oleh pemerintah negara-negara OECD melalui pendidikan, sebab pendidikan merupakan prediktor terkuat bagi kesejahteraan remaja. Mereka ingin mewujudkan masyarakat global yang tidak cukup terampil-kompetitif saja, tetapi juga sehat dan sejahtera kondisi psikologisnya. Dua kondisi yang sama-sama optimal mengarahkan individu untuk menjadi kreatif dan produktif, dan dianggap mampu memperkuat pertumbuhan ekonomi negara. Ujung-ujungnya memang untuk pertumbuhan ekonomi, tapi setidaknya negara memperhatikan perkembangan mental warganya sebagai substansi dari hakikat manusia.

Pendidikan global saat ini yang lekat dengan tuntutan penguasaan literasi digital berpotensi tinggi melupakan hakikat dan elemen psikis manusia. Berbagai teori dan hasil studi tentang pentingnya kesejahteraan psikologis bagi individu dan sosial, bagi kesehatan manusia lahir dan batin, dan bagi produktivitas ekonomi skala nasional dan global berhasil mempengaruhi kebijakan khususnya di bidang pendidikan untuk mengangkat kesejahteraan psikologis sebagai salah satu tolak ukur kesuksesan pendidikan, sebab pengembangan keterampilan yang berkelanjutan hanya dapat dilakukan jika generasi muda memiliki kekuatan kesejahteraan psikologis.

Walau selalu dikaitkan dengan kepentingan negara untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang kuat, negara-negara maju melihat warganya sebagai manusia yang hidup dalam berbagai dimensi yang saling melengkapi: dimensi kehidupan biologis, pribadi, relasional, institusional, budaya, dan global. Tidak sebatas menganggapnya sebagai produk pabrik bernama pertuguran tinggi yang siap mendistribusikan lulusannya pada korporasi.

 

Editor: Prihandini N

Arina Mufrihah
Arina Mufrihah Mahasiswa Program Doktoral Bimbingan dan Konseling, Universitas Pendidikan Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email