Tulisan Mohammad Rafi Azzamy yang berjudul Sekolah dan Ilusi Kedisplinan membuat saya mengingat masa sekolah dasar dan menengah pertama pada kurun waktu 2003-2015. Dan kini profesi saya pun tidak jauh dari ruang lingkup lembaga pendidikan, yakni di sekolah. Tulisan tersebut juga saya sebarkan kepada rekan tenaga pendidik dan guru, yang tentu memiliki reaksi pro dan kontra bahkan tidak ada reaksi. Tulisan tersebut tidak sepenuhnya keliru dan malah menyimpan kebenaran di bagian tertentu, membacanya sekali duduk membuat saya menulis ini. Sekolah di tulisan tersebut mungkin terbaca kejam di bagian tertentu, ditambah ada rasa kecewa dan tidak puas melintas dan mewakili. Meskipun di sana tidak tertulis jelas sekolah pada tingkatan apa, dasar atau lanjutannya.
Tidak sedikit pengalaman atau sesuatu yang saya alami di sekolah dasar hingga menengah terkait ilusi kedisiplinan tersebut. Pengalaman tersebut hari ini menjadi kesan dan pesan kepada diri saya sendiri yang kini memiliki profesi di bidang pendidikan.
Membentuk Kepribadian
Ketika di sekolah dasar, saya diberi hukuman karena seragam yang saya kenakan terlihat ketat dan tidak pantas menurut standar sekolah. Saya menerima hukuman berupa pengerdilan dan rok saya digunting sedikit agar segera diganti. Alih-alih marah, saya justru minta maaf kepada sekolah karena mengenakan seragam seperti itu, lalu merengek kepada orang tua untuk membelikan yang baru. Padahal pada masa itu ekonomi keluarga saya lumayan terpuruk.
Saya juga pernah dipanggil untuk duduk bersama guru konseling yang mana selalu terkesan identik dengan murid bermasalah. Seharusnya murid yang tidak bermasalah yang memerlukan konseling lebih banyak, pikir saya saat itu. Kesalahan saya adalah melakukan kekerasan kepada murid laki-laki. Saya memukulnya dengan penggaris besi hingga kulitnya sedikit sobek. Saya melakukan pembelaan karena murid laki-laki tersebut melakukan pelecehan kepada hampir semua murid perempuan di kelas, memblokade pintu kelas ketika jam pulang setelah guru berlalu lebih dulu. Murid laki-laki tersebut menarik rok-rok kami para perempuan, kadang melakukan sentuhan fisik di area vital tanpa persetujuan. Kekerasan yang saya lakukan memang tidak boleh dibenarkan. Tetapi hanya saya yang duduk sendiri di sana. Lagi-lagi saya menulis permintaan maaf.
Pada tingkat sekolah menengah, saya menulis memo di mading sekolah pada saat pengumuman kenaikan kelas karena saya protes dengan nilai-nilai yang aneh di pikiran saya. Murid yang memiliki kedekatan lebih dengan guru memiliki nilai yang lebih besar, padahal seharusnya semua murid memang dekat dengan guru. Tulisan di mading sekolah tersebut diabaikan dan hilang entah kemana. Lalu saya menulisnya di dinding toilet guru lengkap dengan kalimat serapah yang sebelumnya tidak saya tulis di memo mading. Alhasil saya terlacak berkat murid yang menjadi anak emas di sekolah.
Saya dihukum untuk membersihkan toilet dan menghapus tulisan tersebut. Beberapa hari saya membersihkan toilet dibantu beberapa teman yang sepakat dengan tulisan tersebut, lalu menutup tulisan tersebut dengan gambar bunga dan rumput dengan cat yang saya beli dari hasil menipu orang tua dengan dalih hendak membeli buku—modus jenis ini sebaiknya perlu diperhatikan orang tua terhadap anak-anaknya. Ini belum termasuk ketika saya disuruh keluar kelas karena dianggap mengganggu teman-teman lain. Sebelum keluar dari ruangan kelas, beberapa kali saya mengatakan: “Semangat ya yang di dalam kelas.”
Saya berlalu dengan perasaan intimidasi yang hebat yang saat itu tidak saya mengerti apa nama perasaan tersebut dan bagaimana mengelolanya dengan bijak. Saya juga tidak suka sekolah. Lebih asik bermain atau pergi ke pameran buku dan makanan, pikir saya saat itu. Dan betapa mengejutkan apa yang telah terlalu pada masa tersebut banyak membentuk kepribadian dan ingatan dengan kesan dan perasaan unik yang bertahan hingga sekarang.
Jadi, apakah kita sepakat bahwa pendidikan merupakan bagian yang sangat penting dari kehidupan? Pasalnya pendidikan tidak dapat diserahkan kepada individu atau lembaga di sektor yang mencari keuntungan atau kekuasaan semata. Perlu diperhatikan adanya kuasa yang timpang di antara guru dan murid. Pendidikan yang nyatanya dikelola oleh lembaga pemaksa dan penguasa perlu membaca dan mengkaji ratusan jurnal pendidikan yang menyajikan tulisan-tulisan yang mengemukan beragam pendapat tentang bidangnya. Tulisan-tulisan yang menurut saya sangat sulit disimpulkan secara umum, yakni bagaimana cara mendidik yang sebenar-benarnya.
Baca juga:
Saya pernah menulis esai di lembaga kampus dengan kata kunci pendidikan, sedikit yang saya pahami dalam proses penulisan, dan apa yang pernah saya alami sebagai pendidik maupun peserta didik, bahwa proses belajar mengajar dalam iklim pendidikan memang menuntut perhatian dan ketelatenan, bukan pengabdian setengah hati apalagi pemaksaan dan tindakan-tindakan ilusif tentang kedisiplinan, sebagai ikhtiar yang seharusnya dimaksudkan untuk memahami apa itu pendidikan dan bagaimana mencapai kondisi seideal mungkin bagi beragam karakteristik peserta didik, bukan malah diandalkan untuk memperoleh eksistensi, penindasan, pemaksaan serta meregenerasi watak serupa di masa yang akan datang.
Pendidikan Kegaraman
Lembaga Pendidikan seperti sekolah yang biasanya menuntut penyeragaman sudah waktunya menyediakan pendidikan keragaman dengan memahami murid dalam minat, kemampuan, ambisi, latar belakang, dan sebagainya. Pengendalian Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional perlu ditekankah dan dihayati kembali.
Dalam UU ini, penyelenggaraan pendidikan wajib memegang beberapa prinsip, antara lain pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai budaya, dan kemajemukan bangsa dengan kesatuan yang sistemis, yakni dengan sistem terbuka dan multimakna.
Bekerja di bidang pendidikan juga menuntut kreativitas, produktivitas, tenaga, manajemen, dan berbagai keterampilan yang berkaitan dengan lapisan kultur. Saat ini saya mengamati, mempelajari, dan berinteraksi dengan tenaga pendidik, guru, serta murid di tempat saya bekerja. Mereka juga memiliki karakteristik berbeda bahkan mungkin berseberangan dengan saya tentang ide dan gagasan tentang ruang lingkup sekolah dan pendidikan.
Saya bisa memberikan jawaban atas beberapa hal yang saya alami pada masa sekolah dasar dan lanjutannya kepada murid-murid hari ini melalui cara dan obrolan ringan yang sedikit radikal. Misalnya kepada murid-murid yang gondrong, saya sarankan untuk bertanya kepada yang memotong rambut mereka mengapa rambut mereka harus dipotong, dan kemudian meminta mereka menulis jawaban dari si pemotong rambut tersebut, setelah itu saya minta murid-murid itu menemukan cara untuk mengatasinya, seperti menjawab pertanyaan dari sebuah asumsi. Atau cobalah bernegosiasi, seperti dengan mengemukakan alasan: “Saya ingin tetap gondrong, tapi saya akan belajar giat di sekolah dan bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan rambut saya ini.” Saya sendiri juga meminta izin dan maaf kepada murid apabila ditugaskan memeriksa ponsel mereka yang ketahuan digunakan pada saat jam pembelajaran.
Mengingat bahwa semua yang terlibat di dalam sistem pendidikan pada dasarnya adalah manusia biasa yang dipengaruhi oleh pemikiran, latar belakang, karakteristik, dan relativisme moralitas serta kapital, maka dialektika mengenai cara terbaik untuk menyelenggarakan pendidikan akan sangat mungkin terjadi. Namun, saya berusaha menjadi kesan terbaik untuk lembaga pendidikan tempat saya bekerja. Tidak mudah memang, tapi saya perlu melakukan sesuatu.
Selain memiliki motivasi menjadi seorang guru atau tenaga pendidik sejak menjadi murid, saya juga memiliki keyakinan bahwa setiap individu dapat unggul di suatu bidang bukan hanya karena keistimewaan tertentu. Sebaliknya, mereka menjadi luar biasa karena terobsesi dengan perbaikan, memenuhi pengetahuan dan penerimaan terhadap eksistensi diri sendiri untuk selalu belajar memahami berbagai hal tanpa penilaian material atau ekspetasi muluk-muluk.
Editor: Prihandini N