Pedagang Martabak dari Mars

Ketika Siswa SMK Menggugat Sekolah

Alfian Bahri

3 min read

Saya teringat pernyataan Haidar Bagir dalam buku Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia: “Bisa jadi saya yang salah. Tetapi saya tak habis heran, mengapa susah sekali meyakinkan orang bahwa sistem pendidikan kita—mulai paradigma hingga praktinya—mengandung kesalahan-kesalahan fundamental.”

Inilah yang agaknya ingin dikatakan ulang oleh Rafi Azzamy, anak SMK yang beberapa waktu lalu menulis artikel “Sekolah dan Ilusi Kedisiplinan”. Tulisan itu menjelaskan bagaimana pemaknaan disiplin di lingkungan sekolah perlu direpresentasi ulang. Singkatnya, tulisan itu mempertanyakan makna kedisiplinan, bagaimana kedisiplinan bekerja, bagaimana seharusnya disiplin diterapkan, serta ada atau tidaknya keadilan dalam praktik disiplin. Fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan agaknya perlu dipertanyakan kembali, sebab alasan sekolah mendisiplinkan siswa sebagai upaya untuk mendidik bisa saja melenceng menjadi tindakan yang justru menindas. Lewat tulisan tersebut, secara sederhana Rafi mengupayakan hal itu. Kini—hingga tulisan ini diterbitkan—video uraian pendapat Rafi saat ditanyai oleh Okky Madasari sudah ditonton lebih dari satu juta kali di Twitter dan dua juta kali di TikTok.

Tak sampai di situ, selain lewat tulisan, Rafi juga membuktikan sikap kritisnya lewat tindakan. Dalam unggahan di Twitter, Rafi mengaku pernah mendapatkan ancaman dari pihak sekolah karena keberaniannya melakukan kritik.

Saat membaca tulisan “Sekolah dan Ilusi Kedisiplinan”, saya sedikit terkejut dengan gaya bahasa, isi, serta dasar pikirannya. Bayangan pertama saya adalah anak ini sedang kerasukan teori-teori dekonstruktif khas filsuf pascastukturalis. Kita bisa sama-sama melihat pendekatan yang digunakan Rafi dalam uraiannya sangat kental dengan nuansa kecurigaan hierarki dan perayaan subjek pinggiran. Narasi besar soal kedisiplinan yang ada di sekolah coba ia pertanyakan. Anak SMK itu ingin menghadirkan ruang subjek minor.

Dalam kacamata saya, untuk anak seusia Rafi, kemampuan berargumen dengan bobot diksi dan kosa kata filsafat dalam tulisannya sudah cukup mengesankan. Kita bisa sama-sama melihat kosa kata khas Baudrillard, Foucault, Bourdieu, Virilio, dan lainnya yang menjadi dasar gagasan utamanya. Rafi secara mendasar dan sederhana mencoba mengurai banalitas, estetika, kepatuhan, relasi kuasa, wacana, dan praktik dalam pendidikan. Tentu ini suatu hal yang tidak biasa dan tentunya menarik.

Terlepas dari konstruksi dan ketepatan argumen, tulisan Rafi perlu kita apresiasi. Saat anak usia sekolah memilih jalan aman dalam pendidikan, ia justru mengajak kita untuk mulai mempertanyakan hierarki dan ketimpangan kuasa yang terjadi di sekolah. Bagi saya, pro dan kontra dalam hal ini sudah tidak perlu lagi dipersoalkan. Terlepas dari dia anak SMK, sudah sepantasnya kita sedikit mengapresiasi pikiran Rafi.

Agaknya memang susah saat argumen anak muda seperti Rafi berhadapan dengan gaya intelektual sentimen dan konservatif. Alih-alih memberi ruang dan mengapresiasi atau membalas dengan argumen konstruktif, respons terhadap argumen Rafi justru cenderung menyerang, bahkan tidak sedikit yang keluar dari substansi tulisan dan menyerang personalitasnya. Melihat itu, saya pribadi merasa bahwa orang yang merespons negatif fenomena anak muda yang berani bicara seperti Rafi ini merupakan golongan yang berbicara melalui sudut pandang konvensional saja.

Murid harus Menggugat

Pendidikan di Indonesia butuh orang seperti Rafi. Orang yang berani mengemukakan pendapat lewat tulisan yang mendasar, bukan asal-asalan dan berlatar sentimen.

Sekolah selama ini memang menjadi lembaga sumber ilmu pengetahuan. Wacana-wacana tentang kebaikan diajarkan di sana. Namun, bagi saya, peraturan-peraturan yang terlalu berlebihan dalam tubuh sekolah bisa menjadi sumber utama masalah. Apa kita pernah mempertanyakan kegunaan sekolah selain agar dapat ijazah lalu bekerja? Apakah sistem yang ada di sekolah memang benar-benar baik seperti wacananya? Lewat Rafi, kita seharusnya mulai merenung dan berkaca diri. Apa yang sebenarnya sekolah berikan pada kita? Apakah aturan sekolah beserta tetek bengeknya selama ini memberi dampak dan pengaruh pada kehidupan kita? Apa soal-soal ujian yang diagungkan guru begitu berfungsi? Apa bekal yang diberikan sekolah selama hampir seperempat hidup kita?

Baca juga:

Anak muda atau para siswa jangan sampai menjadi subjek yang pasif. Mereka harus mempertanyakan, menggugat, dan merepresentasikan ulang makna sekolah, pendidikan, dan segala atributnya. Karena sejatinya, anak muda adalah subjek utama pendidikan. Jangan sampai keagungan sebagai subjek berubah menjadi objek.

Ini bukan bentuk perlawanan, justu ini adalah bentuk dialog sosiologi. Rafi sudah mencontohkannya lewat tulisan. Dia sudah melakukan disensus terhadap narasi besar sekolah yang menurutnya hierarkis selama ini. Seharusnya ada pakar atau pengamat pendidikan, atau bahkan pihak sekolah yang memberi tanggapan argumentatif. Ini akan menjadi contoh model dialog pembelajaran yang sehat. Argumen dilawan dengan argumen, bukan dengan sentimen apalagi hukuman.

Kecurigaan yang menjadi awal dari pikiran dekonstruktif seperti Rafi ini baik bagi pertumbuhan pikiran dan praktik. Karena dengan kecurigaan, kita mencoba mencari celah dari keutuhan fakta. Dengan begitu, pembelajaran akan berjalan dua arah. Pendidikan di Indonesia butuh hal semacam itu. Tidak etis bila siswa seperti Rafi justru tidak mendapat dukungan moral dari sekolah.

Meski begitu, apa pun bentuk argumen pada akhirnya nanti, harus kita akui bahwa permasalahan dalam sistem pendidikan memang sangat kompleks. Kita tidak perlu mencari kambing hitam tentang siapa yang harus bertanggung jawab. Sebagai individu yang seharusnya terus belajar, kita sudah sepantasnya merefleksikan diri atas permasalahan pendidikan. Hal ini tidak bisa dibebankan pada satu disiplin dan faktor, sebab ada banyak pihak yang terlibat dalam skala mikro maupun makro.

Bila ada begitu banyak tanggapan negatif terhadap anak muda seperti Rafi, mungkin benar apa yang dikatakan Haidar Bagir, sulit menjelaskan dan meyakinkan pada orang bahwa sekolah dan pendidikan di Indonesia mengandung kesalahan fundamental.

Alfian Bahri
Alfian Bahri Pedagang Martabak dari Mars

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email