Lagi dan lagi, suara kritis berakhir dengan represi. Kali ini korbannya adalah Bima, pemuda asal Lampung yang sedang menjalani studi di Australia. Mulanya ia membuat konten dengan headline “Tentang Lampung”. Dalam kontennya, Bima menjelaskan beberapa alasan mengapa Lampung tidak maju-maju. Hal-hal yang disorot Bima sebenarnya menjadi hak publik untuk tahu. Mulai dari infrastuktur terbatas, proyek mangkrak, nepotisme pendidikan, tata kelola pemerintahan, dan olah agrobisnis. Namun, mengapa pembicaraan tentang hak publik tersebut berakhir dengan pelaporan?
Kalau diperhatikan, di dalam konten tersebut Bima tidak menyebut nama pribadi tertentu. Tidak ada individu yang bisa dijadikan delik di sana. Bima dengan gaya ekspresi khasnya hanya menguraikan kondisi pembangunan kota asalnya. Semua yang diucapkan bersifat publik. Seharusnya video tersebut dipahami sebagai hubungan masyarakat dan pemimpin. Kalau begitu, pelaporan terhadap Bima ini sebenarnya mewakili siapa? Kalau mewakili Bupati Lampung, tentu ada masalah serius dalam demokrasi bangsa ini.
Baca juga:
Suara kritis seharusnya menjadi pengontrol dan pengevaluasi. Suara kritis juga berpotensi membuka jalan perubahan. Rakyat berhak mengemukakan hak konstitusionalnya dengan bersuara. Suara bukanlah hal yang dapat diberikan penguasa kepada rakyat, melainkan hal yang harus dirangkul dan dipahami. Suara adalah tanda keagenan seseorang. Ketika seseorang dapat menyuarakan pendapatnya, ia dapat disebut agen.
Agen di sini diartikan sebagai seseorang yang bertindak atas kesadaran diri, disengaja, dan dengan alasan yang masuk akal. Atas dasar keagenan tersebut, seharusnya pertarungan intelektual dan argumenlah yang dikedapankan, bukan malah memasang kekuasaan politik yang ujung-ujungnya pelaporan dan penggunaan pasal-pasal karet.
Bima mengemukakan keresahannya kepada publik sebagai personal intelektual yang bebas dan merdeka. Di balik diri Bima, tidak terlihat ada unsur ditunggangi penguasa. Hal semacam itu seharusnya disambut dengan tepuk tangan dan apresiasi. Bagaimanapun, dalam berdemokrasi suara autentik oposisi sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang kekuasaan. Bila hal itu tidak dipahami sebagai dasar bernegara, rasanya sangat sulit berharap kebebasan berpendapat di Indonesia.
Efek Domino Menjadi Suatu Gerakan Baru
Hal yang paling menarik dari kasus Bima ini sebenarnya adalah letak efek dominonya. Suara Bima berhasil mengajak banyak orang Lampung bersuara. Warganet seketika ikutan mengunggah kondisi fisik kota Lampung. Mereka seakan sedang memasang badan dan mendukung argumen Bima dengan fakta. Mulai dari konten bernuansa parodi sampai konten dukungan moril, semua membanjiri lini masa media sosial. Lampung seketika menjadi sorotan nasional.
Saat diselidiki lebih dalam, sebenarnya suara kritik Bima dapat dipertahankan dengan baik, sebab pada 2022 lalu Provinsi Lampung mendapat penghargaan APDB Award. Penghargaan tersebut diberikan kepada Gubernur Arinal Djunaidi atas kinerja keuangan Pemerintah Provinsi Lampung anggaran 2022. Pada tahun tersebut, Provinsi Lampung menduduki posisi tertinggi untuk Persentase Realisasi Belanja APBD Provinsi se-Indonesia TA 2022, dengan realisasi anggaran sebesar 97.25%.
Temuan tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana bisa? Efek domino Bima bukan isapan jempol atau pola algoritma media sosial. Memang ada indikasi besar bahwa sedang ada masalah dalam pembangunan Lampung.
Dalam beragam video yang terunggah, kondisi fisik Lampung terutama infrastruktur, memang dapat dikatakan bermasalah. Bahkan wakil bupatinya sendiri dalam wawancara mengakui ada sekitar 700 km jalan yang rusak parah dan perlu dibenahi. Kalau sudah begini, lalu pelaporan Bima itu atas dasar apa dan mewakili siapa?
Pedagogi Kritis dalam Masyarakat Informasi
Bima telah berhasil menunjukkan bagaimana sebenarnya anak muda perlu bersuara dan bersatu dengan cara mereka. Keberanian publik dan intelektualitasnya juga berhasil diaktifkan. Hal ini bisa jadi pijakan momentum untuk meletakkan kedaulatan di tangan rakyat.
Dalam masyarakat informasi, ketercapaian semacam itu sangat memungkinkan untuk diulang dan dipertahankan. Melalui penggunaan media sosial dan peningkatan kreativitas generasi muda yang melek teknologi, suara kritis bisa menemukan kekuatan dan dampaknya. Tentu itu akan berdampak baik untuk kepentingan publik, sebab suara pemuda adalah suara autentik rakyat.
Cara-cara seperti ini bisa dijadikan tolok ukur baru dalam gerakan dan ide. Tidak perlu adu otot, modal, dan kekuasaan. Para anak muda cukup menyatukan suara mereka dalam suatu bingkai yang konsisten, bertanggung jawab, dan autentik sebelum akhirnya dikemas dalam bentuk konten. Di situlah kekuatan mereka sekarang dalam masyarakat jaringan.
Untuk menjaga asa baru tersebut, pedagogi kritis wajib dihadirkan. Pedagogi kritis adalah konsep di mana seseorang sadar akan potensi dirinya sendiri dan berani menunjukkan potensi tersebut. Selain itu, pedagogi kritis juga mewadahi suatu kehadiran, keberagaman, kebebasan, dan keautentikan suatu ide dan gerakan. Kaum pedagogi kritis adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai daya dobrak terhadap hierarki dan ketertundukan.
Baca juga:
Henry Giroux memperluas konsep pedagogi menjadi paradigma kehidupan, yakni pandangan mendalam yang dianut seseorang dalam melihat hubungannya dengan dunia dan orang lain. Artinya, ia mempertanyakan hubungan-hubungan kekuasaan yang terletak di dalam masyarakat sehingga menghasilkan pola masyarakat tertentu yang kritis.
Sikap kritis tersebut secara mendasar dibarengi oleh dua hal, keluasan wawasan dan kepekaan moral. Sederhananya, kita perlu melihat sebuah persoalan dan kaitannya dengan persoalan-persoalan lain. Dasarnya adalah kesadaran akan rasa saling terhubung terhadap segala sesuatu. Kepekaan moral terhadap kepentingan publik menjadi kunci.
Dengan perpaduan antara sikap kritis, keluasan wawasan, serta kepekaan moral, pedagogi kritis bisa kita jadikan inspirasi bagi pendidikan untuk mendorong keterlibatan sosial demi membawa perubahan di dalam masyarakat.
Dalam hal ini, sekolah-sekolah wajib berada di garda terdepan menjadi perisai dan tombak dalam merumuskan, menjalankan, menerapkan, menumbuhkan, dan merawat konsep pedagogi kritis tersebut. Bagaimanapun sekolah adalah ruang paling bebas, netral, dan terbuka terhadap segala jenis pikiran. Sekolah harus mampu memfasilitasi pikiran yang berorientasi pada kepentingan publik. Kepekaan moral dan wawasan luas perlu dijembatani dan dipadukan dalam ruang-ruang belajar di kelas. Singkatnya, sekolah harus menjadi pabrik intelektualitas masyarakat.
Bima dan efek domino warga Lampung berhasil menunjukkan ketercapaian pedagogi kritis. Atas dasar kepekaan sosial dan moral dalam bermasyarakat, mereka berhasil menyuarakan nalar kritis berwawasan dengan cara yang berani. Semua itu dicapai tanpa melalui forum dan cara-cara konvensional.
Ide, gerakan, dan suara mereka coba kelola dengan pengalaman zaman mereka sendiri. Media sosial jelas telah berhasil memfasilitasi kebebasan berpikir mereka. Bebas dengan cara mereka, ide mereka, dan tanggung jawab mereka sendiri. Pada akhirnya semua mengerucut pada harapan bahwa ada perubahan dam ruang bersama.
Dari fenomena tersebut, kita banyak belajar bagaimana pedagogi kritis bekerja dalam masyarakat informasi. Saat kebebasan, kepekaan, keberanian, kesadaran, dan tanggung jawab atas kondisi publik bertemu dengan ruang yang menjamin kesetaraan dan kehadiran, saat itulah fungsi intelektual masyarakat bekerja sebagai tubuh oposisi (rakyat).
Bila titik harapan semacam itu tercapai, tugas pemerintah hanya perlu menjawab sodoran argumen dari masyarakat lewat bukti, bukan melalui represi sebagai upaya pembelaan dan pembenaran kebijakan yang diambil. Pertarungan intelektual dan kedewasaan menerima fakta harus dikedepankan, sebab memang begitulah seharusnya demokrasi bekerja.
Editor: Prihandini N