Korupsi Semakin Menjadi-jadi, ke Mana Gerakan Masyarakat Sipil?

Faisal Bachri

2 min read

Munculnya kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat pajak membuat kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara berada di ujung tanduk. Masyarakat yang menyaksikan fenomena itu hanya dapat menyerukan slogan tagar #stopbayarpajak melalui media sosial.

Sentimen masyarakat mendapat respons dari pemangku kebijakan. Setahun lalu, sentimen #stopbayarpajak direspons dengan kekesalan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia menganggap orang yang menyerukan sentimen tersebut tidak ingin negaranya maju. Sri Mulyani juga merespons ajakan untuk tidak bayar pajak yang akhir-akhir ini muncul lagi. Ia memerintahkan pembubaran grup motor gede pejabat pajak yang dinilai memberi persepsi negatif. Ia juga memerintahkan pelaporan LHKPN bagi para pejabat.

Fenomena penggunaan tagar tersebut dapat dianggap sebagai kritik bahkan perlawanan masyarakat terhadap disparitas kehidupan pembayar pajak dengan pejabat dan pengelola pajak. Namun, tendensi maju masyarakat cenderung terjebak dalam ruang informal, dalam obrolan tongkrongan semata. Paling mentok gerakan semacam itu hanya muncul menjadi gerakan online media sosial bersenjatakan tagar atau petisi online.

Baca juga:

Padahal masyarakat Indonesia punya sejarah dalam berbagai gerakan progresif, terutama upaya melawan korupsi. Meskipun sebagian besar gerakan tersebut menghadapi kebuntuan, setidaknya masyarakat harus berinvestasi pada upaya kolektif agar perubahan sosial tercapai. Salah satu tujuan utamanya adalah menuntut kekuasaan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Kebuntuan Gerakan Masyarakat Sipil

Gerakan masyarakat sipil muncul sebagai kelompok penekan berbagai kebijakan pemerintah atau produk legislasi yang dianggap merugikan orang banyak. Di Indonesia, gerakan masyarakat sipil muncul sebagai upaya demokratisasi pada era Soeharto yang kemudian dianggap berhasil menyumbang tekanan untuk proses reformasi pada 1998.

Preseden ini dapat dianggap sebagai modal kultural dan sejarah kelompok masyarakat sipil untuk menjadi kelompok penekan dalam arena politik. Aspinall menyebut kontribusi utama terhadap jatuhnya Orde Baru adalah keberadaan masyarakat sipil yang mengkritisi fondasi ideologi dari rezim otoriter.

Dalam isu antikorupsi, masyarakat sipil turut berperan aktif sebagai kelompok pekenan kebijakan yang melemahkan KPK. Pada akhir masa kepemimpinan pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terjadi serangan terhadap kewenangan penyelidikan KPK. Sebelumnya KPK menangkap seorang anggota keluarga presiden. Hal ini dianggap menjadi pemantik berbagai upaya elite politik untuk memangkas kekuatan KPK.

Masyarakat sipil berhasil mempertahankan posisi KPK karena pemerintah cenderung enggan meluncurkan represi sehubungan dengan momentum pemilihan presiden yang dekat. Upaya serangan terhadap KPK juga terjadi pada September 2019 yang diinisiasi oleh masyarakat sipil dengan gerakan mahasiswa. Masyarakat sipil harus berkontestasi dengan pemerintah yang mendukung upaya pelemahan KPK. Namun, kali ini tidak seperti sebelumnya. Gerakan masyarakat sipil pada saat itu menghadapi kekalahan. Banyak kewenangan khusus KPK yang hilang, dan pemimpin KPK berasal dari kalangan polisi (Mietzner, 2020).

Pada perkembangannya, gerakan demokrasi semakin terpuruk. Gerakan 2019 yang dikenal dengan Reformasi Dikorupsi menjadi potret kegagalan gerakan masyarakat sipil. Memang salah satu penyebabnya adalah besarnya upaya represi negara terhadap gerakan tersebut. Namun, secara umum gerakan masyarakat sipil setelah tahun itu masih menghadapi kebuntuan.

Baca juga:

Transparency International merilis indeks persepsi korupsi 2020 dan menyebutkan bahwa Indonesia berada di peringkat 110 dari 180 negara dengan nilai 34 dari skala 100. Wawan Suyatmiko, Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International menyebut bahwa preseden ini merupakan penurunan paling drastis sejak 1995.

Kebuntuan gerakan masyarakat sipil barangkali berada pada kapasitas masyarakat sipil untuk menjadi ruang inklusif dan progresif. Gerakan masyarakat sipil tahun 2019 didominasi oleh almamater kampus masing-masing mahasiswa. Meskipun langkah mahasiswa turun ke jalan dapat dianggap sebagai langkah maju, kapasitas mahasiswa sebagai agen perubahan sangat terbatas. Kendati memiliki akses pengetahuan dan waktu yang relatif luang, mahasiswa gagal mendorong apa pun. Ditambah pula gerakan mahasiswa terlalu cepat redup.

Di samping gerakan mahasiswa, dapat ditemukan berbagai elemen masyarakat sipil seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan serikat-serikat rakyat. Namun, semua entitas tersebut menghadapi keterbatasannya masing-masing.

LSM terjebak pada kerja-kerja administratif dan bergantung kepada donor sehingga cenderung sulit menyentuh basis massa di akar. Serikat rakyat, seperti serikat buruh atau petani menghadapi kesulitan ekonomi di ruang produksinya, seperti pabrik, ladang, atau perkebunan.

Sentimen kritis masyarakat akan selamanya terjebak dalam ruang informal, kendati berpotensi untuk perubahan progresif, itu hanya akan menjadi santapan media sosial. Gerakan masyarakat sipil yang kurang kuat tidak dapat menciptakan ruang-ruang transfer pengetahuan atau pendidikan terhadap masyarakat.

 

Editor: Prihandini N

Faisal Bachri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email