Tanggal 17 April 1996 akan selalu diingat sebagai hari yang kelam bagi kaum tani di seluruh dunia. Hari itu, tragedi berdarah terjadi di Eldorado do Carajás, Brasil. Sembilan belas petani tak bertanah yang mempertahankan hak-hak mereka untuk memproduksi pangan dengan menuntut akses terhadap tanah gugur dan lebih dari 60 orang lainnya mengalami luka-luka.
Peristiwa itu lalu menjadi momentum yang menggelorakan perjuangan petani di berbagai belahan dunia. Sejak tragedi tersebut, La Via Campesina (LVC/Gerakan Petani Dunia) menetapkan tanggal 17 April sebagai Hari Perjuangan Petani Internasional.
Meskipun hari perjuangan petani internasional telah diperingati bertahun-tahun, intimidasi, kriminalisasi, dan diskriminasi hukum masih terjadi terhadap petani, orang-orang yang bekerja di pedesaan, pekerja migran, dan komunitas masyarakat adat di seluruh dunia. Berdasarkan data LVC, dalam beberapa bulan terakhir saja, gerakan rakyat di Brasil, Palestina, Paraguay, Kolombia, Mali, Ekuador, Perancis, Spanyol, Thailand, Sri Lanka, Korea Selatan, Kenya, Kanada, Haiti, Guatemala, Peru, dan Indonesia masih mendapati pelanggaran serius terhadap hak asasi petani.
Baca juga:
Hak Asasi Petani
Penggusuran dan pengusiran jutaan petani kecil dan tak bertanah di berbagai belahan dunia dilatari oleh kebijakan nasional dan internasional. Pengambilalihan tanah difasilitasi oleh berbagai instrumen kebijakan yang mengatasnamakan pembangunan ekonomi guna mengembangkan industri skala besar atau proyek-proyek infrastruktur, industri ekstraktif, kawasan wisata, kawasan ekonomi khusus, kawasan konservasi, dalil konservasi perubahan iklim, dan perkebunan. Kesewenangan ini membuahkan petaka: tanah hanya dikuasai segelintir pihak.
Petani yang kehilangan tanah sebagai alat produksi juga kehilangan kedaulatan dan identitas kebudayaan. Hal ini diperparah dengan sistem tanam monokultur untuk menghasilkan bahan bakar nabati maupun kegunaan industri lainnya demi keuntungan modal agribisnis dan korporasi transnasional semata. Para pemodal yang tamak akan tanah berdampak pada kerusakan atas hutan, air, lingkungan, dan kehidupan sosial-ekonomi petani. Padahal, menurut ETC Group, keluarga petani lebih banyak menghasilkan pangan yang dikonsumsi penduduk dunia dibandingkan pangan yang diproduksi oleh korporasi. Atas dasar itu, semestinya kekayaan alam di muka bumi lebih besar diperuntukkan bagi keluarga petani yang menghasilkan panen, bukan yang lain-lain.
Perjuangan yang dilakukan di sawah dan ladang merupakan satu kesatuan yang utuh dari pembelaan hak asasi manusia dan keadilan kehidupan. Secara rinci, perjuangan itu dinyatakan dalam Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa tentang Hak Petani dan Orang-orang yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP). LVC telah menggelar berbagai aksi dan perlawanan serempak ini, mulai dari tanah pedesaan hingga ke meja perundingan di kantor-kantor lembaga internasional di Roma, Jenewa, dan New York.
Pada tataran praktik, gerakan petani mulai menghancurkan dogma revolusi hijau dengan mempraktikkan pertanian alami atau agroekologi. Kemudian, mereka memproduksi dan mengampanyekan pangan lokal, membentuk koperasi sebagai wadah ekonomi, dan menentukan nasib sendiri secara bermartabat.
Tanah untuk Petani
Dalam konteks Indonesia, sejak awal kemerdekaan, para pendiri bangsa menempatkan petani sebagai elemen penting dalam perjuangan. Bung Karno menempatkan petani Indonesia sebagai soko guru revolusi. Hasyim Asy’ari menggolongkan petani sebagai penolong negeri. Namun, predikat-predikat besar itu seakan tinggal omong kosong di masa kini. Petani Indonesia secara umum masih dimarjinalkan. Baik dari segi kepemilikan tanah sebagai alat produksi, sarana produksi pertanian, distribusi hasil panen, pasar, dan pengembangan sumber daya manusia.
Kenyataan itu mendorong usulan hak asasi petani sebagai muatan peraturan perundang-undangan. Substansi hak asasi petani kemudian diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan). Pada satu sisi, pengesahan UU Perlintan adalah sebuah kemajuan. Di sisi lain, isi UU tersebut ternyata berwatak kolonial.
Pasal 59 UU Perlintan terkait sewa tanah mengatur tentang kemudahan bagi petani untuk memperoleh lahan pertanian dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan. Pasal ini dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Atas dasar itu, gerakan petani seperti Serikat Petani Indonesia mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya MK menyatakan bahawa Pasal 59 UU Perlintan bertentangan dengan UUD 1945. Menurut MK, tanah negara tidak boleh disewakan kepada rakyat karena praktik ini menjadikan kita kembali ke era penjajahan.
Meskipun begitu, praktik sewa tanah negara masih terus terjadi. Bahkan, kerap menjadi jalan pembuka bagi tindakan intimidasi, kriminalisasi, dan diskriminasi hukum kepada petani.
Petani yang menggarap tanah di area yang diklaim Perum Perhutani terus dibebani biaya bagi hasil—untuk tidak menyebutnya pungutan. Petani yang tak sanggup membayar diancam akan digusur dari tanah pertaniannya. Malangnya, praktik ini dilanggengkan melalui peraturan tentang Perhutanan Sosial. Padahal, fakta lapangan menunjukkan bahwa area yang diklaim Perum Perhutani sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai kawasan hutan.
Baca juga:
Berbagai perampasan hak petani ini menjadikan momen peringatan Hari Perjuangan Petani Internasional amat genting. Mari, gunakan momen ini untuk menggugah keberpihakan kepada petani kecil dan tak bertanah.
Editor: Emma Amelia