Pembaca kadang penulis

Menyenandungkan Pergerakan

Didik W. Kurniawan

3 min read

Ketika masih menjabat, Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan dukungannya terhadap pemindahan Ibu Kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem (Al Quds), yang merupakan ibu kota negara Palestina. Pernyataan Trump menuai protes keras dari berbagai pihak, khususnya umat Islam. Presiden Jokowi turut mengecam pernyataan Trump. Aksi-aksi kepedulian terhadap rakyat Palestina digelar di beberapa kota di tanah air. Ini adalah salah satu contoh aksi bertajuk “Bela Islam” yang pernah ada.

Dalam setiap aksi bertajuk “Bela Islam” itu ada hal yang menarik untuk dicermati selain orasi para koordinator aksi dan gema takbir, yaitu keberadaan lagu-lagu nasyid yang dinyanyikan oleh para peserta aksi. Lagu-lagu tersebut seolah menjadi pelecut bagi peserta aksi, membakar semangat untuk terus senantiasa memperjuangkan keadilan bagi saudara-saudara di Palestina. Di sini, lagu-lagu nasyid tidak lagi hanya dipahami sebagai sebuah produk kesenian. Lebih dari itu, lagu nasyid merupakan bentuk respons terhadap fenomena-fenomena yang terjadi sekaligus menjadi media untuk menyuarakan aspirasi.

Baca juga:

Nasyid berasal dari kata bahasa Arab “ansyadu” yang artinya senandung atau lantunan. Para pelakunya disebut dengan munsyid. Sebelumnya, nasyid berkembang dan populer di Malaysia. Kelompok nasyid dari Malaysia bernama Raihan adalah salah satu dari sekian nama kelompok nasyid yang cukup populer di Indonesia.

Margaret Sarkissian, seorang etnomusikolog berkebangsaan Inggris, mencatat dalam Religion Never Had It So Good: Contemporary Nasyid and The Growth of Islamic Popular Music in Malaysia (2005) bahwa nasyid merupakan musik vokal yang dibawakan secara berkelompok. Dia menyejajarkan musik nasyid dengan musik kelompok-kelompok musisi seperti New Kids On The Block dan Backstreet Boys, tetapi liriknya bermuatan nilai religiusitas Islam. Dalam musik Barat, komposisi musik seperti ini disebut pula dengan acapella, yaitu bernyanyi tanpa iringan musik. Kemudian, nasyid berkembang dengan penambahan alat musik perkusi tidak bernada sebagai pengiring.

Geliat musik nasyid mulai menyebar di Indonesia sekitar tahun 1980. Saat itu, nasyid hanya dapat ditemukan di forum-forum aktivis muslim yang terbatas mengingat Orde Baru memiliki mekanisme ketertiban sosial tersendiri. Baru pada tahun 1990-an, nasyid mulai dikenalkan kepada masyarakat dengan lirik yang berisi nasihat, kisah para nabi, dan pujian kepada Allah. Dari sana, kita mengenal kelompok nasyid Seperti Snada yang populer membawakan lagu Jagalah Hati milik Abdullah Gymnastiar (Aa’ Gym). Kepopuleran Aa’ Gym turut mendongkrak kepopuleran musik nasyid. Ada pula kelompok musik Nasida Ria dari Semarang yang seluruh personelnya perempuan, terkenal dengan lagu Perdamaian.

Setelahnya, kelompok musik nasyid di Indonesia mulai menjamur. Sebut saja Nasyid Izzatul Islam dari Universitas Indonesia, lalu Nasyid Shoutul Harokah, The Fikr, Tazzaka, Hawari, Mupla, Shafixx, dan Edcoustic dari area Jakarta, Bandung, dan sekitarnya. Di Jogja, ada Fatih, Justice Voice, dan Eling Karepe. Di Solo, ada Zukhruf, Generik, Lentera, D’Arsh, Q-Voive, dan Alkaline. Kemudian, di luar Jawa ada Maidany dari Medan dan Launun dari Makassar.

Berbagai kelompok nasyid itu menggunakan komposisi musik yang beragam. Mulai dari acapella, menggunakan iringan musik perkusi, sampai dengan iringan musik combo band. Belakangan, muncul pula penyanyi nasyid solo seperti Aunur Rofiq Lil Firdaus alias Opick Tombo Ati yang sampai sekarang masih aktif melakukan konser amal guna menggalang bantuan kemanusiaan untuk rakyat Palestina.

Anne K. Rasmussen, dalam bukunya Women, The Recited Qur’an, and Islamic Music in Indonesia, mencatat perkembangan musik nasyid di Indonesia semakin besar. Salah satunya ditunjukkan dengan penyelenggaraan Festival Nasyid Indonesia di stasiun TV Indosiar tahun 2004. Layaknya jenis musik populer lainnya, kelompok nasyid dalam festival tersebut diseleksi melalui audisi di beberapa kota, kemudian dikarantina untuk berlatih dan berkompetisi menunjukkan penampilan terbaik mereka. Mirip-miriplah dengan mekanisme ajang pencarian bakat Akademi Fantasi Indosiar yang berjaya kala itu.

Partai politik kemudian juga menggunakan musik nasyid yang mulai populer. Partai Keadilan, yang kemudian berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera, adalah salah satu partai politik yang sering menyertakan musik nasyid dalam kegiatan kepartaian. Musik nasyid diputar di acara milad, aksi peduli bencana, aksi peduli Palestina, sampai jalan sehat.

Jalan musik nasyid terbuka lebar setelah Reformasi. Lagu-lagu nasyid yang tadinya hanya dilantunkan dalam forum-forum terbatas mulai dibawa di aksi-aksi turun ke jalan. Lagu nasyid yang membersamai peserta aksi biasanya dari jenis nasyid haroki.

Istilah haroki berasal dari kata bahasa Arab “harokah” yang artinya  pergerakan. Jenis nasyid ini bertempo cepat dengan birama 2/4 seperti lagu jenis mars dan deru orang baris-berbaris. Musik nasyid haroki menghentak, bergerak sigap dan tanggap membela saudara-saudara di Palestina.

Penggalan lirik lagu 1000 Mujahid:

Bila ada, seribu mujahid, akulah satu diantaranya

Bila ada, seratus mujahid, akulah satu diantaranya

Bila ada, sepuluh mujahid, akulah satu diantaranya

Bila ada, seorang mujahid, akulah yang menggenggamnya

Beberapa lagu nasyid yang memuat lirik tentang semangat juang dan kepedulian terhadap Palestina adalah Mujahid Muda, Kembali, Pemuda Kahfi, Palestina Tercinta, Ar Ruhul Jaddid, 1000 Mujahid, Bingkai Kehidupan, Gaza, Islam Cinta Keadilan, dan Doa Rabithah. Para munsyid-nya adalah kelompok Izzatul Islam, Shoutul Harokah, dan Maidany. Kalau kebetulan kita mendengar ada lagu nasyid yang dinyanyikan peserta aksi, bisa jadi salah satu dari lagu-lagu itulah yang kita dengar. Secara kultur, para peserta aksi terbiasa mendengarkan lagu-lagu bertemakan Palestina tersebut semasa mengikuti kegiatan keislaman di sekolah ataupun di organisasi kampus.

Baca juga:

Di satu sisi, sekarang nasyid identik dengan grup ngamen di acara pernikahan islami. Di sisi lain, nasyid juga turun ke jalan, menunjukkan bahwa ia sanggup menjadi gerakan sosial-politik dalam balutan musik.

Nasyid terdengar seru, menderu-deru di jalanan beradu. Nasyid menjadi media pergerakan, media penyeru. Nasyid memberi ruang; ketika suara kita dianggap sumbang, mari sampaikan melalui nyanyian.

 

Editor: Emma Amelia

Didik W. Kurniawan
Didik W. Kurniawan Pembaca kadang penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email