Kasus korupsi di Indonesia belakangan ini kembali disorot. Setidaknya ada dua kasus yang menarik perhatian saya: terkuaknya harta pegawai Ditjen Pajak (DJP) berkat gaya hedon anaknya dan penyelewengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di sekolah Negeri Bojonegoro.
Dua kasus korupsi tersebut secara modus dan bentuk bukanlah model baru. Sebelum-sebelumnya sudah banyak. Hanya saja menurut saya kasus korupsi semacam itu menjadi afirmasi atas degradasi moral individu bangsa ini. Jabatan yang mulanya diamanatkan untuk pengelolaan berkeadilan sosial justru terlibat dalam praktik korupsi.
Pegawai pajak, jabatan yang seharusnya dipegang teguh sebagai pelayan dana rakyat, nyatanya justru bagaikan ladang ganja bagi kartel-kartel. Sosok guru yang seharusnya menjadi penggerak utama pembentukan karakter generasi muda, nyatanya juga jadi pelaku penyelewengan dana operasional dari negara.
Baca juga:
Tentu pernyataan itu bukan dimaksudkan sebagai generalisasi. Hanya saja, perlu kita pahami dan ketahui bersama bahwa kasus korupsi selalu terjadi dalam ruang struktural. Hal itu akan membawa potensi terkuaknya praktik kasus yang lebih luas dan masif.
Banyak kasus korupsi yang bisa dijadikan pengkajian moral. Namun, titik paling menyedihkan dalam menyikapi korupsi adalah pada saat kita mengetahui status pelakunya.
Dari sini kita jadi tahu bahwa jabatan dan status seseorang itu bukan tentang kemewahan semata, melainkan juga beban moral dan etika. Beberapa aspek tersebut sebenarnya tidak boleh dipisahkan. Harus dipahami menjadi satu kesatuan konsekuensi.
Jangan Masuk ke Sistem Bobrok
Bagi saya, kalau kita sudah tahu ada sistem yang bobrok, menawarkan jabatan fungsional, dan kita secara sadar tahu bahwa kita tidak bisa melawan itu, seharusnya kita jangan ikutan masuk.
Kita perlu menggeser peran masyarakat menjadi pengontrol dan pengawas. Jangan hanya karena kalkulasi perut, lalu pura-pura tidak tahu kebobrokan sistemnya. Yang penting saya fokus kerja, yang penting saya tidak melakukannya, yang penting bukan saya.
Sekilas itu biasa saja. Namun, jika dicermati lebih jauh, justru dari sanalah muncul bibit korupsi jalur partisipastif atau kontribusi minim. Lantas, apa bedanya kondisi semacam itu dengan seorang pencuri yang bersembunyi di rumah Anda, lalu Anda ikut menyembunyikannya hanya karena dia tidak mengambil uang Anda tapi uang tetangga Anda?
Saat kita berharap ada kenaikan pangkat, status, dan jabatan, seharusnya kita tidak mengalkulasi keuntungan dan kerugiannya. Konsep kesadaran diri juga harus dilibatkan di pintu masuk. Dari sini sebenarnya kita sering dan selalu lupa. Berharap naik kelas, tapi melupakan beban kelas tersebut, baik tentang moral, etika, dan tanggung jawab.
Korupsi selalu bermula atas keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan pengungkapan (Jack Bologne Gone). Dari beberapa elemen tersebut, yang paling dominan dan menjadi penyebab dasar adalah keserakahan.
Dalam hal ini, sistem berposisi sebagai kambing hitam. Bagaimanapun, sistem merupakan ruang statis. Unsur dinamis (manusia) yang seharusnya bisa melampaui kondisi sistem justru tidak bekerja di sini. Dapat dikatakan, dalam kondisi korupsi, sebenarnya kita adalah pembuat sekaligus pelaku.
Baca juga:
Berbeda dengan maling yang mencuri motor. Mereka tidak berusaha mengelabui sistem, tetapi berpikir bagaimana cara mendapatkan. Pada tubuh dan pikiran koruptor, hal itu tidak berlaku. Koruptor justru selalu berpikir bagaimana melampaui dan bermain dalam sistem. Mencari celah, mengadakan celah, dan bila perlu celah itu harus dibuat ada. Kalau sudah begitu, pendekatan berbasis perbaikan dan perubahan sistem tidak akan pernah berguna sama sekali, sebab pelaku koruptor sejatinya selalu memiliki dua fungsi, pembuat dan pelaksana.
Dua hal ini harus dipahami terpisah agar kita bisa membedakan pencurian dan pembobrokan. Kalau tidak begini, kita akan terus terjebak dalam konsep maling teriak maling atau maling menyembunyikan maling. Hanya tinggal menunggu waktu, kita masuk bagian yang mana.
Kesadaran diri, Pengontrol, dan Pengawas Aktif
Karakter paling mahal dalam hidup ini adalah sadar diri. Betapa susah dan menyebalkannya saat kita sudah tahu salah, tapi tetap melakukannya. Kita yang sudah tahu ada masalah, mengapa justru diam? Kita yang sudah tahu ada masalah, mengapa ikut-ikutan?
Hal itu terjadi lantaran kita tidak pernah punya kesadaran diri atas hidup bersosial dan bermasyarakat. Selama ini kita hanya belajar tentang tanggung jawab pribadi. Pendidikan dan kehidupan berbangsa kita gagal menumbuhkan semangat hidup bersama, hidup berdampingan, dan hidup berdampak. Paling sering yang dijejalkan pada saat masa belajar dan lingkungan kita adalah mengenai apa itu tanggung jawab pribadi.
Barang berharga dijaga sendiri-sendiri, kalau hilang bukan urusan kita; dikerjakan sendiri-sendiri, dilarang menyontoh; kalau kamu nakal, tanggung sendiri akibatnya; dia bukan siapa-siapa saya; dsb. Pernyataan tersebut kalau kita cermati tumbuh subur di ruang dan dinding lingkungan sosial, agama, pendidikan, politik, hukum, kedinasan, dan sejenisnya.
Kita tidak pernah berupaya menjadi pengontrol dan pengawas yang aktif. Tidak mengherankan bila karakter yang tertanam selalu berkutat pada kalkulasi pribadi. Ujung-ujungnya menciptakan budaya korupsi yang bebal.
Sebagai bagian dari masyarakat, tanpa disadari, sejatinya andil kecil itu ada dan nyata. Rasanya korupsi nyaris mustahil selesai jika terus difokuskan pada pelimpahan salah satu pihak, yang berakhir pada utak-atik sistemik. Masyarakat indonesia harus dilibatkan sebagai orientasi kebersamaan dan kesatuan. Semua itu bisa dimulai dari tidak berkontribusi pada korupsi, baik sebagai pemain ataupun pelaku dalam sistem.
Editor: Prihandini N