Alumnus Prodi PBSI UAD dan Magister Sastra UGM. Studi lanjut di Prodi S3 Ilmu-Ilmu Humaniora UGM dan dosen tetap di Prodi PBSI Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP).

Departure Memorabilium dan Puisi Lainnya

Ilham Rabbani

1 min read

Departure Memorabilium
: HH

03/19
Tanganmu telah melepas
tiang terakhir di stasiun itu.
Begitu pula mataku
tersekat gerbong dan
dingin kaca—kereta pun
berangkat.

Aku pulang—mungkin,
akan pulang—
dan kutemukan wajahku,
wajahmu yang bertemu,
pada tiap yang kupandang
dan halaman-halaman buku
yang terbuka.

04/12
Kangen mengikatmu,
memberatkan gerak jari;
menjebakku
di ruang tunggu.

Panggilan terakhir
menyusun alphabeta—dan kata—
sebagai namaku.

Setelah itu, tiada
lagi adegan yang bercerita
tentang kita.

Rel membawamu
ke barat; udara
menerbangkanku
searah langit
matahari terbit.

Setelahnya:
sehelai daun, hampir jatuh
dari batang rapuh.

(Praya, April 2023)

Exiled I

April, dini hari
berkabut, dan cuaca pagi
yang lembap. Kau
menemukan
kata “pulang”
pada tiap
tatapan penumpang.

Kota ini,
hampir-hampir
selalu mencintaimu
dengan cara
yang bersahaja:
panggilan dari apa-
apa yang menampung
dan tergarit
rindu Ibu.

Rumah adalah kata,
wajah semata,
tiap yang jari-
jari kita
bisa raba; dan sejarah-
sejarah pilu—di situ—
di luar segala
yang bisa
diberi nama.

Kau
pulang—seluruhnya
pun
tak terkatakan.

(Praya, April 2023)

Exiled II

Kau
selalu melihat
luka setamsil bara
di kulit kita.
Matamu
tertutup
dari susup
kata
selesat peluru,
ke jantung
terlemah
dan terlelah.

Kata rumah
telah punah;
tetangga
terpagari semua
yang terhitung,
angka-angka,
bilangan
tanpa hingga.

Masa kecil
membelahmu
dengan waktu;
memisahkan
dengan gambar-
gambar berwarna nyata.

Tiap tempat
yang kau pandang:
selalu bermakna
kesedihan—
selalu bermakna
yang sia-
sia.

(Praya, April 2023)

Crutches

Burung-burung
berputar spiral—
dan hilang—
di kepala
ayah.

Lanskap pohon,
gunung di kejauhan,
dan gugus
mega-mega
diasapi
ilusi—seluruhnya
mengabur
seperti sinyal lemah
di cembung
layar tivi.

Sebuah pusaran
menarik ayah dari arah
palung gravitasi.

Ia sangga
tubuhnya pada kayu/
pipa
aluminium/
tubuh seseorang
terdekat.

Jika tubuhnya—
semisal mendarat—
di bidang
yang lapang:
ia lewatkan
mimpi-mimpi
dalam kelam
ketaksadaran.

(Praya, April 2023)

Chikungunya

Sekian kali
24 jam
setelah gigitan,
ayah mengeluh:
sebuah sendok
seperti menguras
ingatan-
ingatan rawan
di rongga
kepalanya.

Sebagaimana cinta: apa-
apa bermula
dari kebeningan—
juga jentik,
juga yang merayap
(kelak)
selaku rasa sakit.

Ia menginginkan jari-
jari anaknya
meliuk dan mendesak
ke pergelangan
kaki-
kakinya.

Ayah menatap jam;
dan jarum berada serupa
dalam didihan
malam-hari.

Ia ingin:
waktu lesat;
dan sedikit keringat
berkelana dari rongga
kulitnya.

Sekian kali
24 jam
setelah gigitan,
ayah mengeluh—
ia hanya tahu
ia makin tua,
juga tulang-
tulangnya
mulai tak lihai
mengurai nyeri.

(Praya, April 2023)

Editor: Moch Aldy MA

Ilham Rabbani
Ilham Rabbani Alumnus Prodi PBSI UAD dan Magister Sastra UGM. Studi lanjut di Prodi S3 Ilmu-Ilmu Humaniora UGM dan dosen tetap di Prodi PBSI Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email