menikmati sepakbola dari pinggiran

Berkaca dari Kegagalan di Mi Dinh

Ilham Badawi IB

2 min read

Mi Dinh memerah. Lautan penggemar Vietnam tumpah ruah menyesaki tribun penonton. Di menit ketiga, gemuruh kegembiraan menguar di udara. Sesak muncul di dada pendukung timnas Indonesia. Di sorotan kamera, mereka termenung usai Nguyen Tien Linh membobol gawang Nadeo Argawinata. Sungguh awal yang buruk.

Optimisme masih terasa pada kalimat-kalimat komentator di tayangan siaran langsung. Mereka berusaha mengajak penonton agar mengurungkan niat menekan tombol merah di remot. Sang komentator menjabarkan analisis agar timnas paling tidak bisa menyamakan kedudukan. Satu gol sudah cukup mengantarkan anak asuh Shin Tae-Yong ke final. Tapi, salah umpan dan kalah duel berulang kali terjadi di lapangan. Lantas, bagaimana caranya?

Baca juga:

Ternyata, tidak ada cara untuk membobol gawang Vietnam. Semua jenis serangan dari kanan, kiri, maupun tengah buntu di sepertiga akhir—atau, bisa dikatakan, berakhir sejak dalam pikiran para pemain. Malah, Vietnam lagi-lagi menggandakan keunggulan di menit ke-47 lewat sundulan Nguyen Tien Linh. Vietnam jeli memanfaatkan kurangnya konsentrasi lini bertahan Timnas dalam menghadapi situasi bola mati yang jadi kelemahan sejak jaman baheula. 

Kegagalan 2-0 atas Vietnam di leg kedua semifinal Piala AFF 2022 layak diterima STY dan anak asuhnya. Sejak laga perdana fase grup melawan Kamboja, permainan Timnas tidak mencerminkan tim yang lolos ke putaran final Piala Asia 2023 dan pernah menghajar Curacao dua kali. Sebuah ironi yang juga sebenarnya merepresentasikan posisi sepak bola kita di kancah Asia Tenggara: perlahan mundur ke belakang! 

Masihkah Percaya Proses?

Ungkapan “percaya proses” jamak digunakan penggemar sepak bola di manapun ketika klub atau tim nasional kebanggaannya sedang dalam posisi sulit. Masalahnya, sepak bola di Indonesia tidak dalam fase sedang berproses. Bagaimana mungkin kita mau memercayai kalau stakeholder sepak bolanya belum memulai apa yang disebut “proses”? Bahkan, sejak dalam pikiran, sepak bola Indonesia sudah dibangun secara tidak adil.

Kumpulan trofi di lemari adalah pencapaian terakhir yang dibarengi dengan konsistensi. Sudah berulang kali pundit sepak bola nasional berbusa-busa di hadapan media tentang pentingnya membangun fondasi sebelum berbicara banyak perihal piala. Di zaman Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi, sekarang Gubernur Sumatera Utara, misalnya, Filanesia disusun sebagai basis filosofis sepak bola nasional. Tapi, rasanya, Filanesia hanya berakhir sebagai dokumen yang diedarkan di berbagai pelatihan saja.

Kehadiran Filanesia seharusnya dapat dijadikan momentum untuk mendekonstruksi—bukan lagi merevolusi—sistem sepak bola nasional dari hulu ke hilir, dari pusat ke periferi. Tidak melulu membicarakan prestasi sedari awal, melainkan memulai proses ideal dengan membangun sepak bola dari level terbawah sebagai fondasi. Di antaranya, pembinaan usia dini, peningkatan jumlah pelatih berlisensi, kepatuhan terhadap regulasi, perbaikan piramida kompetisi (sepak bola laki-laki dan perempuan), pembinaan wasit dan match officer, hingga sarana dan prasarana seperti pusat pelatihan tim nasional.   

Proses di atas hanya sebagian kecil dari gambaran besar yang seharusnya dilakukan pemangku kebijakan jika ingin melihat perkembangan sepak bola nasional ke arah yang lebih baik. “Percaya proses” baru bisa dikumandangkan apabila hal tersebut benar-benar dieksekusi secara serius. Keseriusan yang sama pun mesti juga dikerahkan untuk menyelesaikan kasus hilangnya 135 nyawa di Kanjuruhan, Malang.

Merawat ingatan tentang Tragedi Kanjuruhan:

Bangkit dari Kematian Subyek

Selama ini, kepercayaan publik tidak dipupuk dengan cara ideal oleh sepak bola. Kepercayaan publik dibangun atas formasi wacana kultural tentang nasionalisme. Bukan berarti nasionalisme itu keliru dalam sepak bola. Akan tetapi, kedua hal ini digunakan untuk menghegemoni publik agar selalu mengonsumsi sepak bola di waktu luang.

Publik sepak bola terseret ke dalam wacana nasionalisme pada tim nasional—pada perluasannya, primordialisme kedaerahan pada klub. Hal ini membuat penyikapan atas segala kekeliruan di sepak bola nasional menguap begitu saja. Fanatisme sengaja dikuatkan, konflik antar suporter dibiarkan begitu saja. Suporter buntung, yang di atas malah untung.

Politik citra dalam sepak bola nasional mendatangkan pelatih ber-CV mentereng lantas semakin membuat publik percaya bahwa Piala AFF bakal segera dalam genggaman. Apa daya, dalam dua edisi terakhir, anak-anak asuh STY kalah di final dan dipecundangi di semifinal. Bagaimana mungkin bersaing di level Asia Tenggara dengan kualitas teknik dasar dan pemahaman taktik yang jauh di bawah Vietnam dan Thailand? Apalagi melaju ke babak gugur Piala Asia 2023 nanti? Mimpi kali, ya?

Baca juga:

Bukan pesimis, tapi penting bersikap realistis dan juga kritis. Sepak bola Indonesia terlalu runyam dari segi politik untuk mencapai hal-hal ideal. Belum lagi, 2024 semakin dekat; sepak bola yang mendatangkan ratusan ribu massa dijadikan ranah penegasan, sekaligus perebutan kekuasaan.

Di tengah situasi runyam sepak bola nasional, publik mesti bangkit dari “kematian sebagai subyek”. Sekalipun kehendak politik dari penguasalah yang pada akhirnya akan menentukan, tapi publik punya daya sebagai penggemar. Sebab, tanpa penonton, tanpa koreo, tanpa sorak sorai, sepak bola sekadar olahraga 11 vs 11.

 

Editor: Emma Amelia

Ilham Badawi IB
Ilham Badawi IB menikmati sepakbola dari pinggiran

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email