Media sosial adalah belantara yang luas, di sana ada begitu banyak hal yang hidup dan tumbuh. Dari bangun hingga sebelum tidur, saya selalu berada di sana, menelusuri belantara, tersesat berjam-jam, hingga terperosok ke jurang kecanduan. Ini juga barangkali yang sedang dialami oleh banyak manusia dari berbagai generasi.
Saya memutuskan untuk meng-uninstall Facebook, Twitter, dan Instagram di ponsel saya. Mereka yang akhir-akhir ini telah menyita lima jam waktu produktif saya dalam sehari. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di Instagram. Andai waktu tersebut saya gunakan untuk menuntaskan utang bacaan atau menulis gagasan dari buku-buku yang telah saya baca, atau sekadar berolahraga di akhir pekan agar memperpanjang waktu hidup yang setiap waktu digunakan untuk minum kopi dan merokok.
Baca juga:
Saya melakukan perenungan selama seminggu. Sebenarnya metode itu selalu saya lakukan sejak jauh-jauh hari, tetapi selalu gagal. Setelah melakukan riset kecil-kecilan, akhirnya saya memutuskan berhenti sejenak bermain media sosial. Media sosial yang tersisa di ponsel saya hanya WhatsApp dan Telegram, sebab saya membutuhkannya untuk urusan pekerjaan, komunikasi dengan keluarga yang jauh di seberang pulau, dan keperluan informasi perkuliahan saya.
Dekat tetapi Jauh
Film The Social Dilemma menyelamatkan saya. Film tersebut secara gamblang menunjukkan media sosial diciptakan untuk menghubungkan manusia dengan manusia lain. Namun, akhir-akhir ini saya justru merasa kita berjarak begitu jauh dengan orang-orang yang selalu kita anggap dekat. Misalnya ketika duduk bersama teman-teman, alih-alih berbincang, masing-masing dari kita justru sibuk menunduk untuk berinteraksi dengan teman di dunia maya.
Di Sulawesi ada suatu norma yang dianut masyarakat. Hal ini selalu saya dengarkan dari orang tua sejak kecil, bahwa ketika bicara dengan seseorang penting untuk memerhatikannya. Tidak cukup jika hanya mendengarkannya.
Beberapa bulan terakhir saya memiliki banyak utang bacaan atas buku-buku yang telah saya beli, tetapi belum tuntas saya baca hingga selesai. Buku Mengapa Perempuan Bercinta Lebih Baik di Bawah Sosialisme yang ditulis oleh Kristen R. Ghodsee, etnografer Amerika yang dikenal karena kajian studi gender postsosialis. Buku ini membawa satu gagasan bahwa sosialisme, jika dilakukan dengan benar, akan membawa kehidupan ke arah kemandirian ekonomi, kondisi kerja yang lebih baik, dan ya, seks yang lebih baik tentu saja. Begitulah setidaknya gagasan-gagasan Ghodsee dalam bukunya yang tak kunjung saya selesaikan. Saya berjanji pada diri saya, setelah menuntaskannya saya akan tulis pada medium ini.
Saat ini saya sedang membaca buku The Art of The Good Life karya Rolf Dobelli. Saya baru berada di bagian enam. Dobelli begitu banyak mendobrak pikiran-pikiran yang selalu kita amini pada abad ini, abad yang sungguh menyebalkan. Pada bagian pertama ia langsung membahas bagaimana mental generasi sekarang sungguh buruk akibat hype terhadap media sosial. Saya menyebutkan fakir like dan pujian atau tepuk tangan khalayak, secara khusus Instagram.
Baca juga:
Selain buku, sejauh ini film juga banyak mengubah persepktif saya dalam memandang banyak hal, khususnya film-film dokumenter yang sungguh jujur membedah peristiwa. Film-film dokumentar yang bertema ekologi, perilaku warga negara, internet, dan kebudayaan. Salah satu di antarnya adalah film yang dirilis di Netflix, The Social Dilemma. The Social Dilemma menyelamatkan saya dari belentara media sosial yang riuh. Setiap saat saya merasa ingin membuka notifikasi yang bewarna merah di semua media sosial. Secara psikologi, warna merah pada notifikasi mengubah pola pikir manusia untuk selalu membukanya setiap saat.
Membentuk Pola Baru
Media sosial telah merenggut banyak hal dari saya. Hal itulah kemudian yang mendasari saya untuk melakukan pola hidup baru untuk keluar dari belantara tersebut. Media sosial adalah tempat semua orang memvalidasi dirinya, menghakimi, dan pamer.
Meski setiap manusia berhak atas hal itu, pola tersebut menggangu banyak hal pada diri. Dengan pola yang saya coba terapkan, saya dapat menuliskan enam ratus karakter tentang apa-apa yang saya baca sekarang. Saya dapat menghabiskan empat halaman buku bacaan tanpa berpindah tempat.
Barangkali, proposal tesis yang sedang saya garap juga akan lebih cepat selesai dari waktu yang saya targetkan, sebab waktu lima jam dalam sehari tersebut akan saya habiskan untuk membaca literatur pendukung.