Pernah makan belut

Mengapa Banyak Tim Liga 1 Menjadi Pengecut Perihal Tragedi Kanjuruhan?

Gusti Aditya

2 min read

Suporter tim-tim Liga 1 mulai bersuara perihal Tragedi Kanjuruhan. Mereka ingin tim kebanggaan mereka ambil langkah untuk merevolusi total PSSI. Hal ini sebagai respons atas tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan dan ketidakbecusan PSSI dalam menangani konflik-konflik internal mereka. TGIPF juga sudah merekomendasikan Iwan Bule dan jajaran untuk turun dari jabatan dan bertanggung jawab. Lantas, kenapa banyak tim yang begitu ogah-ogahan?

KLB PSSI memang sudah direncanakan. Namun, jika orang-orang yang menjabat itu-itu saja, sepak bola Indonesia akan terus berkubang di ranah politik dan bisnis busuk.

Sampai tulisan ini dibuat, hanya ada beberapa tim yang vokal terhadap masalah ini. Ada juga yang kelihatan main aman bahkan sampai tak mengeluarkan pernyataan apa pun. Padahal kekuatan tim Liga 1, Liga 2, dan sebagian Liga 3 amat berpengaruh dalam voting pemilihan pemimpin untuk masa depan sepak bola negeri ini.

Ketika Tragedi Kanjuruhan terjadi, hampir semua tim bilang tidak ada sepak bola seharga nyawa. Namun, kenapa mereka mendadak takut ketika ada narasi untuk merevolusi PSSI? Untuk menjawab ini, kita perlu melihat ruwetnya keadaan sepak bola nasional.

Baca juga:

Reformasi PSSI

Persis Solo menjadi klub yang paling vokal. Selain cuitan Kaesang selaku pemilik dan Direktur Utama di PT Persis Solo Saestu yang bernada ngenyek PSSI, pernyataan resmi Persis Solo juga cukup berani. Melalui tuntutan, selain ingin Tragedi Kanjuruhan dituntut hingga tuntas, mereka menuntut reformasi sistemik dalam tubuh PSSI. Tekanan kepada federasi terasa pada poin keempat dan kelima. Begini bunyi tuntutan tersebut:

(4) Adanya reformasi sistematik di dalam kepengurusan ekosistem sepak bola Indonesia sebagai bentuk respons atas insiden yang terjadi di Kanjuruhan, sekaligus bertujuan untuk melakukan evaluasi menyeluruh demi masa depan sepak bola Indonesia yang lebih baik.

(5) Jika tuntutan tersebut urung bisa dipenuhi, Persis mengajukan mosi tidak percaya sebagai pernyataan sikap klub.

Persis Solo menjadi tim yang begitu fleksibel dan sat set dalam masalah ini, mungkin karena klub tersebut tidak terikat oleh “berbagai kepentingan” dalam agenda PSSI. Ini masih menjadi asumsi saya. Meskipun begitu, saya yakin banyak pembaca sudah menyadari hal ini.

Ya, benar, semua pasti akan mengacu kepada KLB yang diadakan di Hotel Shangri-La pada 2 November 2019. KLB itu bisa dikatakan chaos. Delapan calon ketua umum PSSI tiba-tiba menarik diri. Walau terasa “tidak sehat”, Menpora Zainudi Amali menegaskan kongres ini harus cepat-cepat dilanjutkan. Ia berdalih Presiden FIFA Gianni Infantino saat itu sudah memberikan sambutan via video. Padahal cuma video sambutan biasa, tetapi sampai mempertaruhkan sepak bola Indonesia. Aneh bukan? Bukan sepak bola Indonesia namanya jika tidak ada proses yang berlangsung di luar nalar macam ini.

Lalu apa hubungannya dengan Persis Solo? Pada kongres tersebut, Ibul menang 82 suara dari 85 (rinciannya: 18 klub Liga 1, 14 klub Liga 2, 16 klub Liga 3, asosiasi sepak bola wanita, dan federasi futsal). Satu suara menyatakan tidak memilih, sisanya dianggap tidak sah.

Persis Solo satu-satunya voters yang tidak memilih Ibul karena enggan menggunakan hak suaranya. Bisa dipastikan, sisa suara dari berbagai klub Liga 1 sampai 3 memilih Ibul untuk jadi ketua umum PSSI. Lalu, kenapa mereka bisa berbondong-bondong memilih Ibul dan satu pun tidak memilih calon lain?

Baca juga:

Saya tahu ini spekulatif, tetapi banyaknya petinggi klub yang menjadi bagian dari komite eksekutif (exco) PSSI perlu menjadi sorotan utama. Ketika suporter menyuruh klub untuk menentukan sikap bahwa harus ada revolusi dalam kepengurusan PSSI, sejatinya mereka sama saja menyuruh antek-antek PSSI mengundurkan diri. Ini seperti menyuruh seorang raja menurunkan mahkota yang ada di kepala. Ruwet.

Suporter Menjadi Korban

Semisal mau menyuruh aspirasi provinsi (asprov) PSSI untuk mengingatkan exco PSSI pusat untuk ndableg sitik juga susah. Bagaimana tidak, ada anggota asprov PSSI yang juga menjadi exco PSSI. Mau menyuruh DPR RI? exco PSSI yang juga ada yang menyambi jadi anggota DPRI RI. Jabatan di PSSI itu nikmat sekali. Seperti hukum rimba, sesuatu yang nyaman sudah pasti akan dipertahankan mati-matian.

Lagi-lagi suporter menjadi korban. Kegilaan kita terhadap sepak bola (ini fakta yang menyakitkan) justru membuat pihak-pihak tertentu kaya dan buta jabatan. Lewat sepak bola, jabatan dengan mudah diraih, untung dengan gampang didapat.

Exco-exco PSSI ini bergerak di balik kegelapan. Apa ada hasil kinerja mereka selain bikin pernyataan konyol di acara Mata Najwa? Saya juga tidak tahu.

Walau begitu, semoga suporter tidak lelah untuk mengingatkan pihak-pihak yang lupa definisi sepak bola sesungguhnya. Walaupun pemilik atau petinggi klub kalian main mesra dengan federasi, tetap saja kalian yang punya andil besar, klub kalian ini adalah kebanggaan bersama. Rapatkan barisan, bergandeng tangan. Di media sosial melawan buzzer bayaran, di dunia nyata melawan kenyataan yang pahitnya tak karuan.

 

Editor: Prihandini N

Gusti Aditya
Gusti Aditya Pernah makan belut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email