Kehadiran buzzer telah mengubah wajah Twitter. Twitter yang awalnya seru, lucu, dan nyaman menjadi penuh amarah, sindiran, memuakkan, bahkan memalukan.
Tagar #AtletHarusPaham di Twitter menjadi ajang kebencian kepada para atlet. Padahal sebelumnya, percakapan perihal bulu tangkis masih hangat membincang euforia atas diselenggarakannya event Indonesia Badminton Festival (IBF) di Bali yang penuh dengan kedekatan para atlet bulu tangkis di seluruh dunia.
Tagar #AtletHarusPaham menjadi trending topic usai para atlet bulu tangkis yang berhasil membawa pulang piala Thomas cup pada Oktober lalu mempertanyakan perihal hak atas prestasinya. Bonus yang seharusnya diberikan oleh pemerintah sebagai bentuk apresiasi tak kunjung didapat, padahal event kejuaraan dunia tersebut telah usai dua bulan berlalu.
Baca juga Editorial: Rotten Bureaucrats Rule over Indonesia’s Sports, Sacrificing Athletes and Nation
Menanggapi suara atlet bulu tangkis yang kompak bersuara melalui media sosial, menteri pemuda dan olahraga Zainuddin Amali memberi pernyataan bahwa single event ini (Thomas Cup) sebagai event yang tidak bergengsi, sehingga para atlet tidak kayak untuk diberi bonus. Pernyataan tersebut membuat para atlet merasa tidak dihargai. Membawa pulang kembali piala Thomas Cup setelah sembilan belas tahun berlalu ke negara dengan rentetan sejarah, prestasi dan banyaknya penggemar bulu tangkis bukanlah sebuah kebanggan yang remeh.
Niat para atlet untuk menyuarakan hal tersebut, seketika dihadang tagar yang secara cepat menempati trending topic Indonesia. Satu persatu karakter para atlet dibunuh oleh banyak akun yang secara bombardir menyerang dengan kalimat intimidatif juga meme sindiran kepada para atlet. Beberapa atlet bulu tangkis yang diserang antara lain, Jonathan Christie dan Fajar Alfian.
Atlet mata duitan, Atlet yang mau berprestasi untuk Indonesia kalau ada duitnya, Atlet yang engga sabaran adalah beberapa kalimat yang dilontarkan oleh beberapa akun ghaib yang secara serentak membincang perihal yang sama.
Mendominasi percakapan adalah cara kerja buzzer di media sosial. Dalam logika media sosial, semakin banyak yang mendukung pendapat maka akan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Suara mayoritas pun diperhatikan untuk menekan suara minoritas, hal ini biasa disebut sebagai teori Spiral of Silence. Oleh karena itu, munculnya banyak akun dengan membawa isu tertentu dalam satu waktu merupakan upaya buzzer dalam membentuk mayoritas tweet dengan jumlah sebanyak-banyaknya. Dalam kasus atlet bulu tangkis ini, tujuannya adalah menekan tweet minoritas dalam hal ini suara para atlet.
Pembungkaman
Eksistensi buzzer mengalami pergeseran ke arah negatif. Awalnya, keberadaan buzzer digunakan untuk kepentingan promosi produk. Kini, buzzer lebih dikenal sebagai alat senjata untuk kepentingan para elit politik untuk menggiring persepsi publik dalam ruang media sosial.
Fabrikasi kebenaran yang sengaja dibuat untuk meredam hingga menghilangkan percakapan tertentu dalam media sosial banyak terjadi dalam ruang politik. Keberadaan buzzer dalam ranah politik ramai diperbincangkan sejak pilkada DKI 2012 lalu hingga yang terbaru pada pelaksaan pilpres 2019.
Fenomena buzzer sebagai solusi untuk menekan isu yang bertentangan dengan elite politik merupakan upaya mematikan kebebasan bersuara masyarakat sebagai wujud demokrasi yang telah diatur dalam Undang-Undang Pasal 28 E. Masyarakat seolah tak boleh bersikap kritis dan bersuara yang berlawanan dengan pemerintahan. Maunya dipuji terus padahal prestasinya juga jarang bahkan selalu bikin runyam keadaan. Sekalinya dapat kritikan dari masyarakat, pasukan buzzer menyerang.
Baca juga Jarimu Beringas, Fantasimu Norak
Bukannya menyelesaikan permasalahan dengan komunikasi yang baik, jalan pintas pun digunakan. Menggunakan buzzer untuk menggiring persepsi publik atas permasalahan yang terjadi menandakan sebuah lembaga secara manajerial tidak mampu membuat keputusan dan mencipta interaksi dengan masyarakat yang baik.
Dalam kasus tagar #AtletHarusPaham semakin jelas komunikasi yang dibangun oleh pemerintah bukan untuk membuka ruang diskusi publik melalui komunikasi dua arah. Malahan makin memecah belah masyarakat melalui ujaran kebencian atas isu yang sedang berkembang.
Baca juga Keberingasan Para Anonim
Sudah saatnya, elit politik menyelesaikan masalah tidak melulu dengan uang dalam hal ini menyewa buzzer untuk menyelesaikan masalah secara sesaat. Belajar lah dari para atlet perihal sportivitas. Kalah menang adalah perihal proses, kalau menang ya makin semangat kalau kalah ya jangan marah-marah seenaknya. Apalagi sewa buzzer sebagai tokoh pengganti sikap amarahnya.
Nyerang atlet kok pakai cara yang enggak sportif, memalukan!