Gadis itu berdiri di ujung ranjang tempat Udin berbaring sambil mengawasi sekeliling. Dari sudut mata yang setengah terpejam Udin memperhatikan gerak-geriknya. Ada banyak orang berlalu lalang di sekitar ranjang deret tapi gadis itu nampaknya tak sedang mengawasi sesuatu atau bermaksud jahat sementara Udin lengah.
Bunyi peluit dari kapal penumpang KM Cahaya Emas II menggema keras, memberi peringatan terakhir kepada para orang-orang yang akan segera berlayar. Riuh penumpang berdesak-desakan masuk ke kabin kapal dan suara langkah kaki menghentak-hentak di dinding kepala Udin.
“Sedang menunggu seseorang?” Dia memutuskan untuk bangun dan menyapa gadis itu.
“Tidak,” jawab gadis itu sedikit terkejut. Dia melirik sekeliling sekali lagi lalu bertanya, “Apakah ranjang di samping Anda ini ada yang menempatinya?”
“Sepertinya tidak. Saya telah berada di sini sejak satu jam yang lalu dan belum ada seorang pun yang datang untuk duduk di atasnya.”
Gadis itu melirik koper Polo hitam tepat di kepala ranjang.
“Ah, maafkan saya,” Udin mengambil koper itu dan meletakkan ke pangkuannya. “Ini milikku. Tapi ranjangnya kosong, seperti kukatakan tadi…”
Tiba-tiba seorang perempuan bertubuh gempal muncul dan menyenggol gadis itu kasar, lalu menaruh kardus Indomie di kasur, juga sebuah ransel besar penuh sesak, dan beberapa kantongan plastik hitam berisi biskuit dan botol Cola.
“Maaf, Bu, tapi tempat ini sudah ada yang punya.” Udin berpaling ke gadis itu. Dia memegang lengannya, terlihat kesakitan.
Perempuan gemuk itu hanya menoleh kepada Udin sebentar lalu membuang muka tak peduli. Suaminya, seorang berkumis dan berbadan tegap muncul sesaat kemudian dengan barang bawaan yang tak kalah banyaknya. Udin merasa harus melakukan sesuatu.
“Bapak, gadis ini lebih dulu datang ke sini. Anda tidak bisa begitu saja mengambil haknya,” Udin segera mendapati dirinya berada di posisi tak menguntungkan.
Lelaki itu memicingkan mata. Nyali Udin serasa menciut.
“Dia sejak tadi hanya berdiri saja seperti orang tolol,” balas sang istri ketus. “Kupikir hanya penjaja makanan ringan.”
“Gadis ini agak ragu,” Udin membela, “Dia bertanya kepada saya untuk memastikan apakah tempatnya kosong.”
Perempuan itu mendesis seperti ular, bibirnya dimajukan, “Di kabin kelas ekonomi kita tidak butuh rasa segan seperti itu.”
“Baiklah,” kata si suami mencoba menengahi. Di balik penampilannya yang rawan disalahpahami, dia berbicara dengan lembut kepada istrinya untuk pindah ke tempat lain.
“Ada banyak ranjang kosong di bilik sebelah. Kita akan segera menemukan tempat di dekat jendela. Jadi, biarkan saja pasangan muda ini berdua. Ayo.”
Pasangan muda, batin Udin.
Ketika suami istri itu telah berlalu, Udin mempersilahkan si gadis untuk menempati ranjang. Gadis itu berterima kasih lalu duduk dengan kikuk di ujung ranjang memandangi orang-orang yang saling berebut tempat. Dari barang yang dibawanya, dia tak terlihat seperti seorang perantau. Satu-satunya benda miliknya, sebuah tas tangan kecil bahkan tak muat untuk beberapa pakaian. Itu semacam tas murahan yang banyak digunakan perempuan untuk menyimpan alat kosmetik dan aksesoris. Satu dua kaos dan pakaian dalam mungkin muat di sana tapi untuk acara bepergian jauh dia jelas salah gaya.
Udin berbaring kembali dan menutup mata dengan lengannya. Gadis itu tetap duduk mengamati sekeliling.
Magrib sudah masuk. Udin bisa merasakan air laut berguncang-guncang di dalam perutnya ketika kapal bergerak keluar dari pelabuhan Makassar. Tak lama kemudian dia kembali jatuh tertidur.
Ketika terbangun pada malam hari, Udin tak menemukan gadis itu di dekatnya. Di sisi sebelahnya lagi, seorang lelaki paruh baya dengan bau badan yang menusuk berbaring terlelap dan sesekali menggeliat menggaruk pipinya. Sudah pasti si gadis merasa tak nyaman berada di tengah para lelaki.
Gadis itu muncul beberapa saat kemudian. Dari sisa-sisa air di wajah dan rambutnya terlihat bahwa dia baru saja dari kamar kecil. Dia mengangguk takzim kepada Udin dan kembali memunggungi Udin dengan duduk di ujung ranjang.
“Kamu pasti baru pertama kali naik kapal, ya?”
Gadis itu menoleh dan menyaksikan Udin bertopang satu sikutnya. Terlihat santai tapi tak sopan.
Dia mengangguk pelan.
“Ke mana tujuanmu?”
“Kalimantan.”
“Ya jelas,” Udin tergelak, merasa ada yang lucu.
Gadis itu mengulum bibirnya lalu berkata, “Samarinda.”
“Wah, sama dong,” ujung bibir Udin terangkat, “mengunjungi seorang kerabat?”
Gadis itu hanya mengangguk pelan. Udin merasa telah gagal membuka percakapan.
Suara seorang lelaki mengumumkan pembagian jatah makan malam melalui pengeras suara di langit-langit. Orang-orang bangkit dari kasur dan memeriksa tiket masing-masing.
“Saya bisa membantumu mengambilkan makanannya. Berikan saja tiketmu kepadaku dan sebagai gantinya kamu menjaga barang-barang kita di sini.”
Gadis itu mengiyakan. Dia mengeluarkan tiket dari tas kecilnya. Udin menerima kertas itu dan memperhatikan identitas yang tertera: Masyta.
***
Keduanya makan tanpa berbicara. Masyta jelas tak begitu suka dengan menunya. Nasi putih dan lauk ikan cakalang yang direbus kuah kuning, tanpa sayur, dan beberapa potong kerupuk. Udin melahap nasinya sambil memandangi laut di luar dari jendela kaca bulat di sisi ranjangnya. Udin lalu mengeluarkan sebotol air mineral dan menyerahkan kepada Masyta yang segera meneguknya tanpa berkata-kata. Udin meremukkan kotak nasi styrofoam, meminum dari botol yang sama lalu membersihkan sisa-sisa nasi di ranjang.
Dia baru saja memikirkan untuk melanjutkan tidur tapi terlintas sebuah rencana lain di kepalanya.
“Apa kau mau ikut jalan-jalan denganku?” Tanyanya kepada Masyta.
“Ke mana?”
“Ke luar,” Udin berkata, “Sebentar lagi ruangan ini penuh sesak dan kau mungkin tak nyaman terpanggang kepanasan di sini. Di geladak atas kapal ini ada tempat yang bagus untuk melihat lautan. Berharap saja malam ini langit cerah dan banyak bintang.”
“Bagaimana dengan barang-barangmu?”
“Tak usah dipikirkan,” jawab Udin santai. Dia telah memasang gembok kecil di kopernya. Jika seseorang mencoba melakukan sesuatu mereka tak akan menemukan apapun selain pakaian kotor. Lagipula, mereka berada di lautan luas. Tak ada tempat bagi pencuri untuk melarikan diri.
Masyta menyunggingkan senyum. Itu adalah kali pertama Udin memperhatikan wajahnya. Dia menerka usianya masih belasan tahun. Masyta mengenakan kemeja katun hitam dengan motif polkadot putih dan celana jins berwarna biru cerah. Gadis itu tak cantik tapi tak jelek juga. Pipinya bulat, dan memiliki sebuah goresan memanjang dari bibir bagian bawah hingga dagu. Jika dilihat dari dekat, luka itu sedikit mengganggu tapi tak sampai membuatnya terlihat sumbing. Sikapnya yang kikuk menujukkan dia berasal dari kampung. Namun, secara umum gadis itu cukup menarik.
Belakangan Udin mengetahui bahwa mereka berasal dari daerah yang sama.
“Wah dari Turatea juga, ya?” Udin mendorong pintu keluar ke geladak. Masyta ikut di belakangnya.
“Iya. Saya juga tadi memikirkan hal yang sama. Dari aksen Anda ketika berbicara.”
“Orang tuaku tinggal di Taniasseng.” Udin berhenti dan menutup mata dan membuka kedua tangannya, membiarkan angin malam menyapu tubuhnya, “Tetapi sejak usia sepertimu saya telah memiliki KTP Samarinda sendiri.”
“Itu artinya saya telah lama hidup di rantau?” Tanya Masyta.
Udin mengangguk. Ini adalah kunjungan pulang perginya yang ketujuh, dan ketiga kalinya menggunakan kapal yang sama.
“Meskipun demikian, saya merasa tahun-tahunku di perantauan tak akan bisa menghapus aksenku yang khas ini.” Udin tertawa menunjuk sebuah bangku panjang di dekat tangga naik ke kabin. “Kita duduk di sana saja.”
Masyta mendapat kesan jika Udin adalah lelaki yang baik.
Suasana geladak sangat ramai malam itu. Angin berhembus pelan dan permukaan laut memantulkan cahaya bulan. Beberapa laki-laki bercakap-cakap sambil bersandar di pagar besi. Bara rokok milik mereka mengembang-kempis dalam kegelapan. Sepasang manula sedang duduk dan berpegangan tangan di sebuah bangku panjang tanpa berbicara apa-apa. Ketika melintas, Udin dan Masyta membungkuk sambil memberi tabik tapi tak mendapat respon apapun. Pasangan itu seperti tak melihat mereka, pandangan keduanya tembus ke lautan tak berujung, seolah di usia yang seperti itu, kata-kata tak diperlukan lagi. Di kejauhan, anak-anak berlarian dan tertawa di antara kaki orang dewasa. Penjaja kopi dengan termos dan bak kardus berisi kopi sasetan di perutnya berteriak-teriak menawarkan kopi dengan harga mahal, sepuluh kali lipat dari harga di darat.
“Kalau boleh tahu, apa pekerjaan Anda di Samarinda?” Tanya Masyta sesaat setelah mereka duduk.
“Emm, saya seorang sopir angkot.”
“Pete-pete,” gadis itu menggumam.
“Di sana orang-orang menyebutnya taxi.”
“Bukan itu maksudku,” Masyta meluruskan punggungnya. Kedua tangannya ditaruh di atas paha dan pupil matanya mengembang di kegelapan malam. “Apakah Anda kenal dengan seseorang bernama Liwang? Dia juga seorang sopir pete-pete seperti Anda.”
Udin mencoba mengingat-ngingat sebentar. Dia kenal dengan banyak sopir angkot yang berasal dari Turatea. Di antara mereka ada tiga orang yang bernama Daeng Liwang. Nama yang cukup pasaran. Dua telah menikah dan satu lagi masih lajang.
“Itu dia,” seru Masyta bersemangat, “Liwang yang lajang. Tak salah lagi. Apa Anda pernah bertemu dengannya?”
“Ya. Kalau dugaan kita sama. Kami tidak saling akrab tapi saya sering melihatnya di terminal.”
“Alhamdulillah. Kupikir saya tidak akan pernah mendengar hal tentangnya lagi.”
“Apakah kamu punya hubungan kerabat dengannya?”
“Tidak,” gadis itu menggeleng lemah. “Kami tidak memiliki hubungan darah, tapi Liwang dan saya diikat oleh sesuatu lebih kuat daripada itu semua.”
Udin menggeleng tak mengerti.
Ada keheningan di antara mereka. Udin mengira dia telah menanyakan sesuatu yang salah. Ketika menatap wajah Masyta dia tahu bahwa gadis itu sedang mengusahakan sesuatu, mungkin merangkai kata-kata yang pantas dalam kepalanya.
Naluri Udin bisa merasakan di suatu tempat di bawah laut sana sesuatu sedang bergolak kuat. Namun, itu bukan sejenis bahaya yang mengintai, hanya denyut alam yang memantul pada jiwa orang-orang di permukaan.
“Saya tidak tahu mengapa harus membicarakan ini dengan Anda” Masyta memecah kebekuan. “Tetapi fakta bahwa kita berasal dari daerah yang sama membuatku yakin bahwa Anda mungkin tak akan keberatan mendengar cerita memalukan seperti ini.”
Memalukan? Udin bertanya dalam hati. Dia lalu mengangguk kepada Masyta yang menunggu tanggapannya.
***
Masyta dan Liwang tumbuh bersama di sebuah perkampungan pesisir di selatan kecamatan Tamalatea. Jarak usia mereka tak begitu jauh dan mereka telah jatuh cinta satu sama lain sejak sekolah menengah. Setelah lulus SMA Liwang berjanji akan menikahi Masyta. Itu terjadi setahun sebelum lelaki itu berangkat ke Samarinda. Liwang mengatakan bahwa dia akan pulang setelah mengumpulkan cukup banyak uang panaik. Awalnya, Masyta merasa sedih harus ditinggal kekasihnya. Namun, demi niat baik itu dia bertahan melewati hari dan akhirnya bisa merelakan Liwang. Kedua pihak keluarga juga mendukung rencana ini. Berdasarkan tanggal yang disepakati, Liwang seharusnya kembali setahun lalu. Namun, Liwang tak pernah muncul menepati janjinya. Ketika Masyta mencoba menanyakannya lewat telepon, Liwang membentaknya, menuduh gadis itu mencoba menekannya. Masyta menutup telepon dan menangis.
Ada jeda waktu lama sebelum dia mencoba menanyakan hal itu kembali. Dua bulan setelahnya dia menelpon Liwang sekali lagi tapi semuanya percuma. Lelaki itu tak pernah mau mengangkat telepon atau membalas pesannya. Terakhir, Liwang bahkan telah memblokir nomor Masyta. Keadaan ini berdampak buruk pada hubungan kedua keluarga. Puncaknya, karena tak ingin malu, orang tua Masyta berencana menikahkan anaknya dengan lelaki lain. Itu terjadi dua hari yang lalu.
Udin ingin mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya terasa kelu. Air muka Masyta berubah menjadi masygul sehingga dia pikir komentarnya hanya akan memperumit keadaan.
“Jadi, pada suatu malam saya mengambil keputusan untuk kabur dari rumah. Ini memang keterlaluan. Sebagai orang Makassar Anda pasti akan membenci sikapku yang telah mencoreng kehormatan ini. Tapi saya telah bertekad untuk tidak meninggalkan lelaki itu sendirian. Itulah yang menggerakkanku pergi dari rumah.”
“Kau pergi tanpa persiapan apapun. Hanya sepasang pakaian di tubuhmu. Itu bukan tekad. Kau seperti sedang menghancurkan dirimu sendiri.”
Masyta terkejut dengan apa yang didengarnya. Dia tak pernah menyangka pembawaan Udin yang santai mampu memberi penilaian setajam demikian. Baik Udin dan Masyta tak berkata-kata lagi. Keduanya memberi ruang bagi keheningan untuk berlalu. Udin bisa mendengar udara di sekitarnya membeku. Angin yang dingin berhembus dan membikin gentar.
“Seseorang pernah berkata bahwa sikap terbijak adalah mengutuki tradisi di satu tangan dan tidak mencoba untuk melanggarnya di tangan yang lain,” Udin merasa harus menambahkan ini, khawatir kata-katanya barusan menyakiti hati Masyta.
“Itu benar, meski saya tidak pernah yakin bahwa tradisi seperti itu masih kita butuhkan di zaman sekarang,” Ada kemarahan di dalam suara Masyta. “Hanya 25 juta rupiah yang diminta kedua orang tuaku, dalam waktu setahun lebih dua bulan. Kadang saya berpikir bahwa Liwang dan keluarganya tidak pernah benar-benar mengusahakannya…”
“Jika kamu berpikir demikian, tentu ada alasan mengapa kamu memutuskan untuk pergi dari rumah dan mencari lelaki yang bahkan tak mau mengangkat teleponmu.”
Gadis itu terdiam. Dia memandangi lautan luas. Sepasang manula yang duduk di bangku dekat mereka bangkit berdiri. Yang laki-laki menuntun perempuan dengan hati-hati. Udin menyadari bahwa nenek itu menggunakan tongkat di satu tangannya untuk berjalan. Penampakan fisik keduanya, yang saling menopang erat mengingatkan Udin akan frasa cinta sejati. Seolah-olah Tuhan telah menaruh lem pada tulang rongga dada masing-masing. Membuat keduanya menyatu secara fisik.
“Anda tidak akan pernah mengerti sebelum merasakan sakit itu sendiri.” Masyta menatap Udin.
“Sakit, ya?” Udin bergumam pelan. Tak berani menatap balik.
***
Masyta tidak sepenuhnya benar. Udin, sebagaimana setiap manusia di dunia tentu pernah merasakan sakit. Entah sakit fisik atau yang diakibatkan oleh cinta. Perempuan pertama yang disukainya meninggalkannya untuk seorang lelaki lain. Itu terjadi ketika Udin berusia dua puluh. Dia tak ingat lagi bagaimana kisah itu bermula, atau tepatnya berakhir. Sekarang, pada seperempat abad usianya di dunia, Udin telah menjalani berbagai jenis hubungan dengan beberapa perempuan. Hubungan itu kebanyakan singkat dan tak satupun mengarah ke tahap yang serius. Dia bahkan ragu pernah memikirkan tentang pernikahan. Yang terakhir, kisah cintanya dengan Fitri, gadis Banjar yang membuatnya tergila-gila harus kandas di tengah jalan karena si gadis memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di universitas dan mengalami perubahan sikap semenjak saat itu.
Namun, dibandingkan dengan dirinya, Masyta mungkin merasakan sakit yang lebih hebat, pikir Udin. Tentu saja, Udin juga merasakan kecewa. Terkadang, jika memikirkan kembali kegagalan dalam kisah cintanya yang lalu, ada rasa nyeri yang menusuk di sekitar dadanya. Tapi Udin tak akan membiarkan dirinya menitikkan air mata. Terakhir kali dia menangis adalah ketika menyaksikan kedua orang tuanya berdiri di pelabuhan, melambaikan tangan untuk melepasnya merantau di kapal yang sama sekarang ini, sepuluh tahun lalu. Kini, dia bisa mengalihkan setiap rasa kecewa dan sedihnya kepada Ballo‘ atau rumah bordil. Namun, perempuan yang sedih tak mabuk dan perempuan yang melampiaskan kecewa pada lelaki panggilan tak dikenal dalam budaya mereka. Jadi, Udin yakin sepasang air mata yang membentuk lintasan di pipi Masyta saat ini mengisyaratkan sesuatu yang memang tak dimengertinya.
“Apapun itu,” Udin menggigit bibir bawahnya, nampak cemas. Dia menimbang sebentar, dan melanjutkan, “kau telah mengambil langkah yang salah.”
“Apa maksud Anda?” Masyta menatap Udin dengan tajam. “Saya tahu pikiran laki-laki kita tak pernah dirancang untuk bersepakat dengan cara kami perempuan membela diri, tetapi kaum perempuan juga berhak menentukan yang terbaik menurut mereka…”
“Tidak,” Udin segera menyela, “Bukan itu maksudku. Seberapa yakinkah kamu bahwa Liwang akan menerima kehadiranmu nanti?”
“Seyakin ketika saya menumpahkan air mata ibuku dengan tindakan gila ini. Mungkin Liwang kecewa dengan keputusan keluargaku dan menganggap saya terlibat penghianatan ini. Tapi segera setelah saya muncul di sana dan mengatakan semuanya, dia tentu akan mengerti.” Masyta terdiam sesaat, kata-kata sudah di ujung bibirnya tapi dia masih ragu apakah harus melanjutkannya. Air matanya menitik di punggung tangannya.
“Lagipula,” lanjutnya terbata, “jika disuruh memilih, saya lebih senang terjun ke laut ini daripada menikah dengan lelaki selain Liwang.”
“Itu adalah prinsip yang bagus,” Udin merasakan dirinya berada di bawah tekanan.
Sesungguhnya ada suatu hal yang sejak tadi mengganggu pikiran Udin. Itu seperti potongan puzzel, teka-teki yang setengah terungkap. Ketika kau hanya butuh sebuah kepingan lagi untuk mendapatkan gambaran yang utuh. Tapi hatinya bertahan dan berkata tidak. Sementara air mata di pipi Masyta terus mengalir, mendesaknya dari arah yang berlawanan.
“Kau bahkan tak punya alamat lelaki itu,” Udin beralih kepada satu kesangsian lain.
***
Awalnya Udin menduga mereka membicarakan orang yang sama; Liwang yang lajang. Namun, begitu Masyta menyebut asal lelaki itu dia menjadi ragu. Liwang yang lajang sesungguhnya tak berasal dari Tamalatea. Sementara apa yang Masyta bicarakan selanjutnya justru membuat Udin semakin yakin bahwa Liwang yang dimaksudnya adalah seseorang yang lain. Gagasan ini mau tak mau membawanya kepada salah satu di antara dua sosok yang telah menikah. Jika di satu sisi Udin meragukan lelaki yang sedang mereka bicarakan, pada saat yang sama, secara perlahan dia mendapatkan bayangan tentang lelaki lainnya; dari sejumlah pengakuan Masyta terkait ciri-ciri, kebiasaan dan kecocokan pada kesan yang ada di kepalanya.
“Tentu saja itu dia,” Udin bersikeras, tak peduli air mata yang mengucur deras di pipi Masyta, “saya meminta maaf karena tidak mengatakan ini sebelumnya. Tapi Liwang yang kamu maksud telah menikah dan baru saja dikarunia seorang bayi perempuan.”
Jika ada sebuah tombol yang bisa menarik semua ucapannya tentu Udin telah melakukannya sejak tadi. Tapi ini sudah terlanjur terjadi. Dia akan menjadi sangat berdosa bila membiarkannya terus menjaga harapan yang pada akhirnya akan mengecewakan gadis itu.
Masyta menangis tanpa bersuara. Lama dia melakukan itu. Udin tak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikannya. Sementara angin malam bertiup semakin kencang, menerbangkan kertas pembungkus kacang, gelas kopi plastik, dan menggulingkan beberapa tempat sampah. Langit nyaris tak menyisakan satu pun bintang dan di kejauhan kilatan-kilatan petir membelah langit. Orang-orang berlarian dan menghilang di balik pintu dek. Beberapa awak kapal berkeliling dengan senter memberikan tanda kepada para penumpang untuk masuk ke dalam. Akan datang badai hebat, pikir Udin.
Masyta mengusap matanya dan bangkit berdiri. Mereka berdua berjalan kembali menyusuri koridor tanpa berbicara lagi. Sesampainya di ranjang, Masyta meminta untuk tukaran tempat dengan Udin, beralasan ingin melihat pemandangan di luar jendela. Udin mengerti dan mau saja. Sekitar pukul setengah sepuluh malam, Masyta telah jatuh tertidur. Badannya ditekuk menghadap ke dinding yang dingin, seperti memeluk kesedihan yang menimpanya barusan.
Udin tak mampu memejamkan mata. Dia menarik koper miliknya, memberi batas antara dirinya dan Masyta. Sepanjang malam dia duduk di ujung ranjang bergulat dengan semacam rasa bersalah dalam kepalanya.
***
Udin terbangun dan merasakan hawa panas di sekujur tubuhnya. Kaos berkerah yang dipakainya basah penuh keringat. Dia melirik arlojinya yang menunjukkan pukul sepuluh lebih seperempat pagi. Matahari mulai meninggi di luar sana. Melalui jendela bulat dia menyaksikan hamparan air laut yang bergerak-gerak teratur.
Orang-orang di sekitarnya sedang sibuk membicarakan badai hebat semalam. Ternyata memang kapal ini terjebak dalam cuaca buruk. Tentang bagaimana dan kapan itu terjadi, Udin tak tahu sama sekali. Sementara orang-orang ini menunjukkan di mana mereka ketika peristiwa itu terjadi, Udin nampaknya merupakan satu-satunya penumpang yang ketiduran.
Masyta sudah tak ada di ranjangnya. Kasur gabus serupa jok mobil itu kosong melompong, tak menunjukkan tanda-tanda bahwa seorang pernah tidur di sana. Udin mengambil perlengkapan mandi dan selembar handuk kecil dari kopernya, mengunci gembok, dan pergi ke kamar mandi umum. Saat sedang membilas tubuhnya dengan air dia jadi kepikiran tentang Masyta.
Gadis itu kini berputar-putar di kepalanya. Ada banyak pertanyaan yang menanti Masyta di depan sana. Bagaimana dia bisa melanjutkan hidup di tempat yang baru setelah mengetahui fakta menyakitkan ini? Masyta tak mengenal seorangpun selain Liwang di Kalimantan. Masyta seorang perempuan yang sendirian tanpa kepastian nasib. Dan apa yang bisa Udin lakukan dalam hal ini? Baguskah jika dia mencoba menawarkan bantuan kepada gadis itu kalau saja Liwang menolaknya? Semacam tumpangan atau tempat tinggal sementara?
Gagasan itu membuat Udin mengutuki dirinya sendiri. Benar-benar memalukan. Dia seperti mencoba mengambil keuntungan dari kesedihan seseorang. Pikiran Udin terus mengembara dari satu kemungkinan ke kemungkinan lain di seputar gadis itu. Dia merasa ingin terus berlama-lama di bilik mandi, meski airnya semakin lama semakin berbau besi karatan.
Khayalannya terhenti ketika seseorang memukul-mukul pintu toilet dengan kasar. Udin serasa dilempar kembali ke dunia nyata.
Sekembalinya dari kamar mandi, Udin mengganti bajunya dengan kemeja bersih. Dia juga mengenakan parfum dan menyisir rambutnya. Ketika memandangi pantulan sosoknya di kaca jendela ruang petugas, dia merasa kikuk sendiri atas tingkahnya.
Udin berjalan ke koridor, menaiki tangga dan membuka pintu ke geladak.
Masyta sedang duduk di bangku yang mereka tempati semalam. Udin memanggil penjaja minuman lalu memesan dua gelas teh hangat dan mengeluarkan toples mini berisi kue kering yang dibawanya dari kampung.
“Makanlah,” katanya. Udin meniup gelasnya, membiarkan uap panas menyapu wajahnya.
“Apakah Anda pernah memikirkan apa yang tersisa ketika badai yang menyapu lautan telah berlalu?” Tanya Masyta.
Gadis itu tak mengharap balasan, tak juga berpaling. Tatapannya tertuju ke lautan biru.
Udin tiba-tiba kepikiran peta besar Indonesia pada pelajaran geografi dulu. Di antara pulau Sulawesi dan Kalimantan ada selat Makassar sebagai pemisah. Wali kelasnya di kelas lima pernah mengatakan bahwa sebelum ada manusia, jutaan tahun lalu pulau Kalimantan dan Sulawesi dulunya adalah satu kesatuan. Ibarat sebuah gambar kertas, kedua pulau itu semula adalah satu dan kemudian seseorang merobeknya secara tidak sempurna. Namun, itu tetaplah satu gambar karena ketika kau mencoba menyatukan kedua potongan itu sisi-sisinya menunjukkan kecocokan satu sama lain. Robekan itu menghasilkan sebuah jalur serupa goresan pedang yang memanjang dari utara ke selatan. Persis goresan di bawah bibir Masyta. Udin membayangkan saat ini mereka sedang berada di titik tengah jalur pedang itu. Setengah jalan mendekati tujuan dan setengah jalan meninggalkan tempat asal.
Masyta menyesap tehnya beberapa kali dan memotong sebuah kue. Dia memasukkan ke dalam mulutnya dan melanjutkan, “Tak ada yang tersisa. Badai di lautan tak pernah meninggalkan apa-apa selain kesan.”
“Dan kekacauan,” Udin menimpali. Baginya kata ‘kesan‘ terlalu misterius, jika bukan tak memiliki arti sama sekali.
Keduanya memperhatikan tingkah konyol beberapa anak buah kapal yang saling tertawa dan meneriaki satu sama lain di sekitar sebuah sekoci yang terpasang agak miring. Sepertinya ada yang harus diperbaiki pada tali atau penahannya. Sekoci berwarna oranye itu bergerak-gerak setiap diterpa angin sehingga membuat seorang lelaki yang berada di atas harus meneriaki yang lainnya. Badai disertai hujan semalam tentu sangat kuat. Lantai berbahan kayu mahoni di bawah kaki mereka juga lembab tersiram kehangatan matahari pagi. Dan di sana sini masih terdapat genangan air.
Masyta lalu menaruh tas kecil di pahanya dan mengeluarkan sesuatu. Dia mengangkatnya ke atas kepala dan sebuah kalung berwarna putih menjuntai di sela-sela genggamannya. Itu terlihat seperti kalung mainan. Tapi liontinnya terbuat dari kerang sungguhan.
“Ini bukan separuh kerang, loh,” kata Masyta seperti menebak pikiran Udin. Dia membalik dan menunjukkan sisi lain kerang itu. Lalu menyerahkannya kepada Udin.
Sebuah kerang utuh, berwarna putih dan bertekstur garis-garis kasar. Udin mengusap cangkangnya dan merasa pernah melihat kerang sejenis ini di suatu tempat. Di pantat kerang itu terdapat tulang kecil buatan yang direkatkan memakai lem super. Benda itu terkait pada rantai emas putih.
“Liwang menghadiahkan benda ini kepadaku ketika saya naik ke kelas dua belas. Tahukah Anda, ia membuat sendiri liontin kerang itu. Di kampung kami, ada perbukitan-perbukitan bertanah hitam di belakang rumah-rumah penduduk. Ketika Anda mencoba menggali sesuatu di tanah itu, pada kedalaman tertentu Anda bisa menemukan kerang-kerang seperti ini.”
Udin mengatakan sesuatu tentang tentang fosil hewan-hewan purba pada pelajaran sekolahnya dulu.
“Benar sekali,” kata Masyta bersemangat, “Kalau Anda perhatikan lebih dekat, ini tidak seperti jenis kerang yang biasa Anda temukan di pasar atau yang sering dikonsumsi. Liwang menemukan kerang ini dalam kondisi utuh, dengan cangkang yang sulit terbuka kecuali dihancurkan. Sepertinya telah terkubur selama ribuan tahun di dalam tanah.”
“Jika kau bertanya kepada orang-orang terdahulu tentang ini mereka akan memberimu jawaban yang sama. Separuh wilayah pantai di pesisir Turatea dulunya adalah lautan. Tentang kapan tepatnya lautan itu menyusut dan orang-orang hadir di atasnya membuat pemukiman, tak ada yang bisa menaksirnya,” Udin mencocokkan pendapat.
“Di dalam kerang ini, sejarah orang-orang terdahulu terekam dengan baik. Liwang mengatakan kepadaku bahwa kerang memiliki kemampuan untuk menyerap suara-suara dari dunia di luar cangkangnya dan menyimpannya dengan rapi. Ketika seseorang mencoba untuk mendengarkan dengan seksama,” Masyta meminta kalung itu. Lalu mendekatkan liontin ke telinganya, “dari sela-sela cangkang ini kita bisa mendengar suara-suara yang datang dari masa lalu.”
“Apa benar?” Udin tak pernah mendengar hal ini sebelumnya.
Masyta mengangguk dan menyerahkan kalung tersebut.
Udin mendekatkan ke telinganya tapi tak mendengar apa-apa.
Masyta tertawa kecil, “Anda harus mengosongkan perasaan Anda terlebih dahulu.”
“Bagaimana kita bisa melakukan itu? Apakah saya harus membunuh kebencian atau emosi?”
“Mengosongkan tidak sama dengan membunuh,” jelas Masyta, “membunuh menyertakan motif tertentu. Memang Anda bisa saja membunuh seseorang tanpa tujuan. Namun, untuk sebagian besar kasus, membunuh selalu disertai alasan. Sesuatu yang bersifat emosional. Sementara mengosongkan lebih kepada semacam sikap. Pembawaan diri di hadapan kenyataan.”
“Saya masih belum mengerti.”
“Mengosongkan diri, seperti yang dilakukan seseorang pelaut pada malam badai di tengah lautan.”
“Apakah ini juga gagasan dari Liwang?”
Masyta mengangguk.
“Sepertinya dia orang yang sangat pandai.” Udin kembali mendekatkan liontin itu ke telinganya, berusaha berkonsentrasi.
“Liwang justru mengetahui perihal kekosongan dari kerang ini. Sesungguhnya, benda ini tak memiliki isi. Mungkin makhluk berlendir di dalamnya telah lama mati pada tahun sekian ia terkubur di tanah. Atau ia bisa saja menyusut atau terhisap masuk ke dalam inti kokosongan. Ketika Anda mampu mengosongkan hati dari segala jenis rasa kecewa, marah, ataupun sedih, Anda akan mendengar kerang ini berbicara kepada Anda.”
“Hmm begitu ya?” Aneh juga, batin Udin, mengingat pembicaraan selalu berarti proses mengisi. Bagaimana bisa dua kekosongan saling berbicara dan memahami satu sama lain.
“Mungkin itu yang dilakukan nenek moyang kita ketika sendirian di tengah laut. Semacam ketabahan.” Udin menghubungkan dua gagasan tadi.
“Ketabahan adalah wajah kekosongan. Kebanyakan pelaut yang selamat dari badai yang ganas bukan karena ketangguhan fisik, tetapi karena jangkar moral dalam jiwanya. Ketenangan menghadapi apapun yang terjadi.” Lanjut Masyta.
“Dari penjelasanmu bisa kubayangkan seberapa hebat pacarmu itu.” Tapi Udin kemudian menyesali telah salah menggunakan kata hebat untuk menggambarkannya.
“Pada setiap titik terendah dalam hidupku, saya selalu mendengarkan suara-suara yang keluar dari sela-sela cangkang kerang ini. Saya bisa mendengar suara laut yang tenang, debur ombak yang menentramkan. Rasanya seperti terbawa ke situasi primordial di mana kerang ini hidup ribuan tahun lalu. Tak ada petunjuk tentang kebijaksanaan, hanya sebuah kelapangan untuk menerima.”
Semalam, Udin menyaksikan sendiri gadis itu menangis. Menangis sehancur-hancurnya. Tapi pagi ini, di bawah matahari yang hangat, Masyta adalah sosok yang berbeda. Tak ada lagi sisa-sisa kecewa dalam pancaran matanya yang sembab.
“Dengan pembawaan diri yang seperti itu saya yakin kamu bisa melewati ujian apapun yang menantimu di depan,” Udin masih penasaran dengan masa depan Masyta.
“Seharusnya saya bisa.”
“Termasuk menghadapi kenyataan tak menyenangkan lainnya. Sesaat setelah kau menginjakkan kakimu di Kalimantan.”
Masyta mengangguk. Merasa tak perlu menjawab lagi.
“Lalu, apa rencanamu selanjutnya?” Udin mengejar. Dia tak malu lagi mengakui bahwa dia hendak menyisipkan kehadirannya di tengah-tengah kegalauan Masyta. Berharap bisa memberikan bantuan.
“Saya belum memikirkannya,” jawab Masyta sambil tersenyum.
“Saya jadi mengerti sekarang,” kata Udin, “Syukurlah. Kupikir saya tak akan pernah melihat senyum itu lagi.”
“Apa maksud Anda?” Pipi gadis itu merona. “Oh, iya. Sekarang giliran saya bertanya kepada Anda.”
“Wah, ini terdengar seperti sebuah ujian.”
“Tidak. Saya tak bermaksud menguji Anda. Hanya sekadar penasaran.”
“Tentang apa?”
“Begini,” Masyta agak ragu. “Saya ingin tahu bagaimana cara Anda lepas dari masalah kehidupan. Maksudku, hal-hal yang membuat Anda kecewa atau sedih. Tentu Anda pernah di posisi demikian, bukan?”
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Ini pertanyaan umum saja. Kurasa setiap orang mengalaminya,” kata Masyta, “Tidak ada alasan khusus.”
Udin tak tahu harus mengatakan apa. Dia berpikir keras.
“Mungkin dengan melupakan,” jawabnya kemudian.
“Melupakan tidak akan menghapus masalah Anda, bukan?”
“Sepertinya begitu,” Udin menyesal dengan jawabannya sendiri. “Tapi dengan cara inilah saya bertahan sampai sekarang. Selama kita mampu mengusir kenangan-kenangan buruk yang mencoba kembali mengetuk pintu hati kita, kupikir kita bisa menaklukkannya.”
“Dengan cara apa kita mengusir rasa sakit itu?” Penekanan Masyta pada ‘kita’ membuat Udin malu.
“Mengalihkannya. Para lelaki menyarankan minuman keras atau kesenangan-kesenangan lainnya. Tergantung kamu nyaman di mana.”
“Itu terdengar seperti mengusir tukang kredit yang muncul di pintu rumah Anda. Tapi esok hari mereka akan kembali lagi, bukan? Tapi, oh, Anda pasti akan mengusirnya lagi.”
“Dengan berbagai cara,” balas Udin.
“Saya baru melihat orang seperti Anda,” kata Masyta, “Apapun yang mengkhawatirkan Anda nampaknya tidak begitu penting.”
“Bukan begitu,” Udin berpikir sejenak, “Bukannya hal itu tak penting bagiku. Saya hanya merasa bahwa itu seperti tak terhindarkan lagi.”
“Kepasrahan melahirkan sikap tak peduli.”
“Ya, mungkin terdengar seperti itu. Namun, saya bersyukur hal-hal seperti itu tidak sampai membunuhku. Jika harus menyebutkan kekhawatiran besar dalam hidupku adalah saya tahu bahwa di masa depan saya kemungkinan akan melewatkan banyak hal-hal penting.”
Masyta nampak berpikir, mencoba mencerna ucapan Udin, “Mustahil seseorang bisa menebak apa yang akan terjadi di masa depan.”
“Saya tidak menebak,” jelas Udin, “bagaimana cara mengatakannya, ya? Ini juga bukan semacam metafora, melainkan sesuatu yang nyata. Saya memiliki kebiasaan untuk jatuh tertidur tanpa sadar. Saya sering jatuh tertidur di mana saja, tanpa kenal waktu. Saya tertidur sewaktu membaca, mendengarkan orang lain berbicara, saya tidur sewaktu sedang berpikir. Kebiasaanku ini sebenarnya tidak buruk, setidaknya menurutku sendiri. Tapi jelas membuatku rugi dalam banyak hal.”
“Apakah itu sejenis penyakit?” Masyta terlihat kebingungan.
“Sepertinya bukan,” jelas Udin, “Saya tak pernah merasakan sakit sama sekali. Ini lebih seperti seseorang menekan tombol off dalam dadaku dan membuat seluruh sistem berhenti bekerja. Sarafku akan mengirim pesan untuk segera mencari tempat untuk berbaring dan menutup mata.”
“Aneh.”
“Jelas aneh,” Udin menggeleng kepala, “kebiasaan ini telah ada sejak dulu. Karena kesialanku ini banyak orang bertanya kepada ibuku apa yang sering dimimpikannya ketika mengandungku. Mereka juga menduga-duga ayahku memiliki dosa masa lalu yang dirahasiakan untuk dirinya sendiri. Itu membuat ibuku sedih. Mereka memfitnahnya. Namun, jika kau bertanya padaku tentang itu kau tak akan mendapat jawaban apa pun. Saya tak mempercayai kata orang-orang. Bagiku, jika ini bisa dibilang sebuah cacat atau keanehan, saya menerima apa adanya. Meski, misalnya, saya selalu melewatkan banyak momen penting dalam hidup.”
“Beratnya,” gumam Masyta.
Udin mengangguk. “Tetapi sering juga hal ini membantuku, ketika saya tak perlu lagi melihat hal-hal yang tak ingin saya lihat. Penyakit tidur ini menyelamatkanku.”
“Semalam, ketika orang-orang panik di sekitar kita, Anda tertidur dengan lelap. Padahal kapal bergoncang sangat keras, dan beberapa orang bahkan menangis karena takut, tapi Anda sama sekali tak terganggu dengan apa yang terjadi. Sampai-sampai kupikir Anda sudah mati duluan.”
Udin tertawa cekikikan.
“Saya tak bisa membayangkan jika saya berada di posisi Anda. Tentu sangat sulit, bukan?”
“Awalnya iya,” mata Udin memancarkan keseriusan, “Ibuku tak pernah yakin bisa merelakanku pergi merantau. Dia berpikir saya tak akan bisa hidup di kampung orang. Pekerjaan pertamaku selepas SMA adalah sebagai pramuniaga di salah satu pusat perbelanjaan di Balikpapan. Tapi itu adalah pekerjaan yang membosankan. Saya hanya bertahan dua minggu karena bos mendapati stand di mana saya seharusnya berjaga hanya menyisakan seorang ibu pembeli yang kebingungan. Bos marah besar menemukan saya tertidur di gudang dalam perjalanan mengambil stok. Dia bilang pelanggan itu sudah menungguku hampir sejam.”
Di titik ini Udin tertawa lagi dan melanjutkan,
“Ada banyak tawaran pekerjaan bagus yang harus kuabaikan karena penyakit ini. Saya pernah hampir membakar seisi gedung ketika bekerja di kafe. Waktu itu saya berada di dapur memanaskan air, dan Anda tahu sendiri bagaimana kelanjutannya,” Udin tertawa lagi.
“Sampai saya menemukan pekerjaan yang pas ketika pindah ke Samarinda. Pekerjaan ini, entah bagaimana membantuku keluar darinya meski hanya sesaat.”
“Jangan katakan bahwa itu menyupiri mobil,” Masyta menutupi mulutnya dengan tangan. Dia ingin tertawa.
“Ini mungkin konyol menurutmu. Setiap hari ada banyak berita kecelakaan di televisi tentang pengemudi mengantuk. Mereka menabrakkan diri ke tiang lampu, pembatas tol, dan semacamnya. Tapi hal itu tidak terjadi padaku. Perasaanku ketika berada di balik kemudi menjagaku untuk tetap tersadar. Bukan karena saya tahu sedang mempertaruhkan nyawa penumpang di belakangku, tetapi menjadi seorang supir itu adalah pekerjaan melintasi ruang dan waktu dengan cepat. Kamu tahu, melesat meninggalkan apa pun di belakang. Dari spion kamu bisa melihat jalanan di belakangmu menghilang. Jadi, saya berpikir penyakitku ini bukan diakibatkan oleh kelelahan atau semacamnya. Ia hanya akan berfungsi jika saya berdiam di satu titik. Maka yang harus kulakukan hanyalah berlari dan berlari. Saya tak bisa berada di titik yang sama.”
“Terdengar seperti pelajaran hidup,” kata Masyta.
“Saya tak tahu kalau kau bisa memberi penafsiran lain tentangnya. Tapi, syukurlah, sepanjang karirku sebagai seorang sopir belum pernah sekalipun saya mengalami kecelakaan.”
Masyta mengangguk. Dia percaya apa yang dikatakan lelaki itu dan tak ingin bertanya lebih jauh lagi.
Matahari kian meninggi dan bau laut terasa kuat di udara. Di waktu-waktu seperti ini, air akan menguap ke langit dan turun sebagai hujan di tempat lain. Mungkin beginilah juga cara perasaan bekerja. Masyta merasa pembicaraan dengan Udin cukup membantunya menghalau sisa-sisa kecewa dalam hatinya.
Udin melihat arlojinya. Beberapa jam lagi mereka tiba di Balikpapan. Dia menyarankan Masyta untuk kembali dan beristirahat dulu.
“Saya tinggal di sini saja,” kata Masyta, “Laut yang tenang ini dalam beberapa hal mengingatkanku akan kampung halaman.”
“Baiklah kalau begitu. Saya akan turun merapikan barang-barangku.” Udin pamit meninggalkan gadis itu sendirian.
***
Kapal bersandar di pelabuhan Balikpapan sekitar pukul tujuh malam. Udin terbangun setelah kemunculan seorang porter menggoyang-goyang kakinya.
“Bang, mau diangkutkan kopernya?”
“Ah,” Udin mengucek mata, berusaha menghalau sisa kantuknya.
Porter itu seorang remaja lelaki kurus, dalam seragam persatuan porter dekil, terlihat bersemangat.
Udin segera melonjak dari tidurnya. Beberapa porter lain terlihat berlarian dan berebut menyelinap ke bilik sebelah, sesaat kemudian mereka kembali sambil mengangkut barang-barang di bahu dan kepala mereka. Sisa-sisa penumpang terakhir ikut berjalan di belakangnya. Udin memandangi sekeliling. Beberapa baris ranjang sudah kosong. Masyta juga sudah tak ada di tempatnya.
Udin mengibaskan tangan untuk mengusir anak muda itu. Dia bangkit dan mengangkat kopernya sendiri.
Porter itu berlalu setelah membuang cuih dengan marah.
Udin menyusuri koridor yang kosong dan bertemu dengan beberapa ABK yang tersenyum kepadanya. Ketika menuruni tangga, Udin memperhatikan kerlap-kerlip lampu kota Balikpapan terlihat menyambutnya dengan antusias.
Dia selalu bahagia kembali ke kota ini, meski hanya untuk sesaat. Udin tak pernah tinggal berlama-lama sebelum melanjutkan perjalanan ke Samarinda. Dia tak memiliki sanak-saudara untuk dikunjungi di sini. Kenangannya di kota Balikpapan tak lebih jauh dari dua puluh hari, itu pun tak begitu bagus.
Namun, bagaimanapun juga dia selalu bahagia berada di sini ketimbang berada di kampung halamannya. Udin merasa tak pernah cocok dengan lingkungannya sendiri. Dia juga tak pernah mencari tahu mengapa. Dia tak bisa menetap lama di Turatea. Sesuatu dalam dirinya selalu mencoba untuk melarikan diri dari rumah, meski harus mengorbankan perasaan bapak dan ibunya.
“Nak, sampai kapan kamu akan terus hidup jauh dari kami?” Tanya ibunya. “Kemarin kamu bilang sudah mengumpulkan modal buat usaha. Tinggallah dan beli mobilmu sendiri. Kamu supiri sendiri di sini atau buka toko kelontong. Kamu bisa menikah dengan sepupumu dan tinggal dekat-dekat dengan kami.”
Udin tak menjawab apa-apa. Dia merasa malu pada dirinya sendiri.
Di area parkir pelabuhan, Udin mencoba menghayati suasana malam dan suara bising kendaraan yang melintas. Beberapa saat di lautan rasanya merubah banyak caranya mempersepsi realitas. Segalanya berjalan begitu lambat; interaksi antar manusia, putaran roda kendaraan, dan segala bunyi-bunyian.
Udin menyebrang jalan menuju sebuah toko kelontong untuk membeli minuman dan rokok. Sehari tanpa merokok di kapal membuat sebagian dirinya seperti menghilang. Udin lupa membeli rokok untuk persediaan. Dia juga harus berpikir seribu kali sebelum memutuskan untuk tak membeli rokok di minimarket di atas kapal yang harganya berkali-kali lipat.
Udin meneguk Cola sambil berkonsentrasi memandangi orang-orang keluar masuk dari pelabuhan. Udin tak begitu berharap, meski tak henti-hentinya mengamati arus manusia dan menduga-duga Masyta ada di antara mereka.
Gadis itu pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Apakah dirinya harus bereaksi layaknya orang kecewa? Sebaiknya tidak, batin Udin. Kepergian Masyta memang menyisakan sedikit nyeri di dadanya. Gadis itu mungkin telah berusaha membangunkannya, mengucapkan satu dua kalimat perpisahan sementara dirinya tertidur. Udin mengisap rokoknya dan mengembuskan asapnya ke langit malam.
Satu hal lagi terlewatkan dalam hidup…
Namun, tak baik berlama-lama memikirkan hal seperti itu. Sebelum jatuh tertidur lagi, dia sebaiknya segera mencari bus yang akan berangkat ke Samarinda.
Udin mengangkat kopernya dan tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah benda yang terselip di kantong samping koper. Itu adalah kalung kerang milik Masyta. Gadis itu pasti telah menaruhnya dengan sengaja di sana, pikir Udin. Tapi demi apa? Dia sendiri tak tahu. Mungkin Masyta ingin Udin menyimpannya sebagai kenang-kenangan atau hendak menitip pesan kepadanya lewat kerang.
Udin tertawa, terbayang wajah gadis itu; pipi bulatnya, bekas jerawat, dan garis luka di bibir bawahnya. Gadis itu kini lebih cantik dalam pikirannya.
Udin mendekatkan liontin kerang ke telinganya. Dia menutup mata tanpa mengharap apapun.
Kosongkan dirimu, teringat saran Masyta. Udin mencoba memaafkan semuanya; lingkungannya, kelemahan hatinya, penyakit aneh yang telah menjadi bagian dari dirinya. Semua hal menyakitkan yang selalu datang mengetuk pintu hatinya, menyuruhnya berlari dan terus berlari. Sampai kapan kau terus menghindar, nak, Udin bisa mendengar suara ibunya menyatu dengan hempasan ombak yang pecah di pantai. Dalam kepalanya, dia melihat segumpal hatinya yang dipenuhi bercak noda kehitaman perlahan-lahan tenggelam ke dalam palung lautan yang dingin. Angin dari masa lalu berhembus keluar dari sela-sela cangkang kerang, membawa suara Masyta. Tak ada petunjuk kebijaksanaan, hanya kelapangan untuk menerima segalanya.
*****
Editor: Moch Aldy MA