Peneliti dan Tutor Hubungan Internasional.

Belajar Dekolonisasi dari Referendum The Voice di Australia

Ahmad Umar

4 min read

Jika tidak ada halangan melintang, warga Australia akan melangsungkan referendum bersejarah pada tanggal 14 Oktober 2023 untuk mengakui “suara” masyarakat bangsa pertama Australia (masyarakat Aborigin dan warga Selat Torres) dalam undang-undang dasar. Referendum ini akan berisi satu pertanyaan penting dan mendasar:

“Sebuah Perubahan Hukum Baru: untuk mengubah isi UUD agar mengakui Masyarakat Bangsa Pertama Australia dengan cara membentuk sebuah Suara Masyarakat Aborigin dan Masyarakat Bangsa Pertama. Apakah Anda Menyetujui Perubahan Hukum Ini?”

Referendum tahun ini bertujuan untuk memasukkan satu badan baru dalam sistem hukum dan politik Australia, yakni Suara Masyarakat Aborigin dan Selat Torres (The Voice). Kampanye masih akan berlangsung hingga 14 Oktober nanti. Pemerintah Partai Buruh secara resmi mengampanyekan pilihan “Ya” bersama para tokoh masyarakat bangsa pertama. Sementara itu, Partai Liberal dan Nasional secara resmi berkampanye untuk “Tidak” meskipun banyak politikus senior Partai Liberal dan Nasional yang justru mengambil posisi “Ya” dan berseberangan dengan keputusan partai.

Referendum tahun ini penting sebagai momen dekolonisasi dalam sejarah Australia. Jika disetujui mayoritas rakyat Australia, referendum ini akan memberikan pengakuan konstitusional terhadap masyarakat bangsa pertama Australia yang dipinggirkan selama bertahun-tahun di tanah mereka sendiri. Pengakuan ini akan memberikan jalan yang lebih lebar untuk perjanjian dan penyembuhan trauma masa lalu antara masyarakat bangsa pertama dan pendatang kulit putih Australia.

Baca juga:

Suara Masyarakat Aborigin dan Selat Torres

Apa yang dimaksud dengan “Suara Masyarakat Aborigin dan Selat Torres” yang jadi tema utama Referendum tahun ini? Secara mendasar, referendum ini akan menambah satu pasal di UUD Australia, yakni Pasal 129. Pasal ini akan berbunyi sebagai berikut,

“BAB IX: Pengakuan Masyarakat Aborigin dan Selat Torres

Dalam pengakuan terhadap masyarakat Aborigin dan Selat Torres sebagai Bangsa Pertama Australia:

  1. Akan ada sebuah badan, yang akan disebut sebagai Suara Masyarakat Aborigin dan Selat Torres;
  2. Suara Masyarakat Aborigin dan Selat Torres akan membuat perwakilan di Parlemen dan Pemerintahan Eksekutif Persemakmuran untuk urusan masyarakat Aborigin dan Selat Torres
  3. Parlemen akan, sesuai dengan UUD, memiliki kekuasaan untukmembuat hukum yang terkait dengan Suara Masyarakat Aborigin dan Selat Torres, termasuk komposisi, fungsi, kekuasaan, dan prosedur.”

Di sini, Suara Masyarakat Aborigin dan Selat Torres adalah sebuah lembaga yang nantinya, sesuai dengan UUD, akan menjadi perwakilan masyarakat bangsa pertama Australia yang berdampingan dengan parlemen untuk mengurusi hak-hak mereka. Badan ini akan memiliki kekuasaan setara dengan parlemen dan mereka akan menjadi perwajahan masyarakat bangsa pertama Australia yang diakui secara hukum.

Mengapa Australia sampai harus membuat referendum guna mengakui hak-hak masyarakat bangsa pertama ini secara konstitusional? Hal ini sangat terkait dengan sejarah perjuangan masyarakat Aborigin yang cukup terjal dalam politik Australia. Australia adalah negara penjajah. Warisan penjajahan mendarah-daging di sistem hukum dan politik Australia. Australia selama bertahun-tahun dianggap sebagai terra nullius alias wilayah tak berpenghuni yang bisa dikuasai oleh pendatang ketika mereka sampai di tanah tersebut.

Tentu saja klaim terra nullius ini hanyalah dalih penjajahan. Pendatang kulit putih menyingkirkan masyarakat Aborigin dan mendiskriminasi mereka di kota-kota besar, serta mengambil anak-anak orang Aborigin dan memisahkan mereka dari orang tua mereka untuk disekolahkan. Lebih parah lagi, pendatang kulit putih tidak mengakui hak-hak masyarakat Aborigin ketika federasi dibikin dengan dalih bahwa Australia hanya untuk orang-orang kulit putih dan yang Aborigin dianggap bukan warga negara. Inilah yang disebut sebagai White Australia Policy (Kebijakan Australia Berkulit Putih).

Kebijakan yang diskriminatif ini bertahan hingga tahun 1967 ketika pemerintahan Australia di bawah perdana menteri Harold Holt membikin satu referendum pertama yang berhasil mengubah konstitusi untuk mengakui keberadaan masyarakat bangsa pertama di UUD. Referendum ini mengakui bahwa masyarakat Aborigin dimasukkan dalam sensus (Pasal 127) dan menghapus Pasal 51 di UUD yang mendiskriminasi masyarakat bangsa pertama Australia.

Referendum tahun 1967 ini adalah hasil dari kerja keras aktivis masyarakat Aborigin Australia. Diilhami oleh perjuangan masyarakat kulit hitam Amerika Serikat, kaum Aborigin melawan kebijakan kulit putih dengan mengajukan referendum. Didukung oleh faksi moderat di Partai Liberal, referendum ini berhasil dan disetujui oleh mayoritas di semua negara bagian, serta menandai pengakuan legal atas keberadaan masyarakat bangsa pertama Australia dalam sistem hukum Australia untuk pertama kalinya lebih dari 60 tahun setelah kolonialisme berakhir.

Baca juga:

Putusan Mabo, Generasi yang Diambil, dan Pernyataan Uluru dari Hati

Perjuangan tidak berakhir sampai di sana. Sistem Hukum Australia, walau bagaimanapun, adalah sistem hukum kolonial yang ditegakkan di atas penindasan terhadap masyarakat bangsa pertama. Tahun 1980-an, sekelompok advokat dan beberapa tokoh masyarakat Selat Torres di Townsville, Queensland mengajukan gugatan atas Peraturan Daerah tentang Deklarasi Kawasan Pantai Queensland dan menggugat dasar hukum pembangunan itu, yaitu doktrin terra nullius. Gugatan itu dipimpin oleh seorang warga Selat Torres dari Pulau Mer, Eddie Koiki Mabo yang, bersama istrinya, Bonita Mabo, menggugat Pemprov Queensland untuk mengakui gelar dan tanah adat masyarakat Selat Torres.

Gugatan berlangsung beberapa tahun dan hasilnya mengubah sejarah Australia. Mahkamah Agung Australia memberikan lima poin putusan yang intinya mengakui gelar adat masyarakat Aborigin dan Selat Torres, menggugurkan doktrin terra nullius, dan menyatakan bahwa Kerajaan Inggris merampas hak dan gelar adat mereka. Putusan ini kemudian dikenal sebagai Mabo v. Queensland (1992) atau juga populer disebut Putusan Mabo.

Putusan Mabo ini menjadi salah satu dasar pengakuan gelar dan tanah adat di sistem hukum Australia. Putusan ini disambut positif oleh Perdana Menteri Paul Keating yang berpidato di Lapangan Redfern, Sydney dalam rangka mengakui perampasan tanah dan penyingkiran masyarakat adat Australia. Putusan ini kemudian ditindaklanjuti oleh Keating untuk meneliti ulang salah satu kekerasan pemerintah penjajah yang memisahkan anak-anak Aborigin dari orangtuanya untuk disekolahkan dengan alasan “pemberadaban”.

Pada 1997, Australian Human Rights Commission merilis laporan berjudul Bawa Mereka Kembali ke Rumah (Bringing them Home Report) setelah Keating kalah dalam pemilihan umum. Laporan ini kemudian dikenal sebagai Generasi yang Diambil (Stolen Generation). Atas laporan ini, Perdana Menteri Kevin Rudd membuat pernyataan resmi di parlemen yang tidak hanya mengakui kekerasan zaman penjajahan, tetapi juga meminta maaf.

Permintaan maaf ini kemudian menjadi dasar bagi advokasi masyarakat Aborigin secara lebih luas. Beberapa intelektual dan tokoh masyarakat Aborigin dan Selat Torres lantas mendorong gerakan yang lebih jauh untuk mengakui hak-hak konstitusional dan representasi politik masyarakat bangsa pertama di parlemen. Dipimpin oleh tokoh masyarakat bangsa pertama seperti diplomat cum akademik Megan Davis, intelektual Noel Pearson, tokoh adat mendiang Galarrwuy Yunupingu, kakak beradik Pat Dodson dan Mick Dodson, serta akademisi Marcia Langton, para tokoh masyarakat Aborigin melangsungkan ratusan konsultasi untuk membicarakan pengakuan konstitusional masyarakat bangsa pertama.

Proses panjang menghasilkan satu deklarasi yang disampaikan di Kota Uluru, Australia Utara pada tahun 2017 ini kemudian dikenal sebagai “Pernyataan Uluru dari Hati”. Deklarasi inilah yang menjadi dasar pemerintah Australia untuk melangsungkan referendum tahun ini.

Apa saja isinya? Pernyataan ini secara tegas menyatakan bahwa tanah Australia adalah tanah adat yang tidak pernah diserahkan kepada Kerajaan Inggris dan tidak pernah berdampingan dengan kedaulatan persemakmuran. Kedaulatan adat Australia bernilai spiritual dan dicerabut dari akarnya oleh penjajahan. Penjajahan ini menimbulkan luka di hati masyarakat Aborigin. Untuk menanggulanginya, Pernyataan Uluru menawarkan tiga hal:

  1. Harus ada pengakuan terhadap Suara Masyarakat Aborigin dan Selat Torres yang diakui UUD.
  2. Harus ada traktat perjanjian antara masyarakat bangsa pertama dan pemerintah Australia. Traktat ini dilembagakan melalui Komisi Makarrata, yang berfungsi untuk memperbaiki luka di hati masyarakat Aborigin dan menjadi dasar untuk perbaikan hubungan ke depan.
  3. Harus ada mekanisme penyingkapan kebenaran terhadap kesalahan dan kejahatan penjajah selama ini. Mekanisme ini menjadi dasar bagi kebijakan dan hukum terkait masyarakat bangsa pertama dan pemerintah Australia.

Ketiga poin itulah yang sekarang sedang diperdebatkan melalui referendum dan jadi perdebatan juga di semua negara bagian. Dengan adanya referendum, seluruh masyarakat Australia akan bersikap terkait dengan perbaikan hubungan antara pendatang dan masyarakat bangsa pertama. Apakah ingin menyembuhkan luka atau tetap melanggengkan kekerasan struktural yang menyejarah selama ini?

Oleh karena itu, Referendum Suara tahun 2023 ini jadi sangat penting bagi masyarakat Australia. Anak-anak muda Australia semakin sadar bahwa negaranya ini adalah negara penjajah. Warisan penjajahan belum sirna dan masih langgeng. Tugas warga Australia adalah menyingkirkan warisan penjajahan itu dan membangun hubungan baru dengan masyarakat bangsa pertama.

Tulisan lain oleh Ahmad Umar:

‘Ala kulli hal, referendum 2023 ini punya banyak pelajaran bagi rakyat Indonesia. Sebagaimana Australia, warisan penjajahan juga belum sepenuhnya hilang dari Indonesia. Masyarakat adat di Indonesia masih terus bertarung melawan kepentingan pemerintah dan pemilik modal. Di Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua, masyarakat adat dirampas tanahnya untuk pembangunan perumahan dan pabrik. Mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Sudah saatnya Indonesia juga belajar untuk membangun hubungan yang lebih baik dengan masyarakat adat kita, menghargai hak-hak konstitusional mereka, dan menyingkirkan warisan kebijakan penjajah terhadap masyarakat adat.

 

Editor: Emma Amelia

Ahmad Umar
Ahmad Umar Peneliti dan Tutor Hubungan Internasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email