Berjuta-juta leluhur kita direnggut dari tanahnya sendiri, kemudian dikapalkan sebagai budak tanam paksa. Berjuta-juta leluhur kita diangkut ke berbagai daerah, lalu dikelompokkan layaknya hewan. Masyarakat terjajah seperti kita, tak lebih dari komoditas yang layak diangkut demi memenuhi kebutuhan tenaga kerja kolonial. Namun, ke manakah memori tersebut dalam arus perbincangan kita hari ini?
Mungkinkah ia hilang seiring banjirnya modus informasi yang telah mengubah persepsi kita terhadap bangsa penjajah? Mungkinkah ia telah hilang ketika mulut kita merasakan renyahnya ayam goreng KFC yang berjejalan di pinggir jalan? Atau ia malah tertimbun, ketika konten FYP menyuapi bunga tidur terhadap beban kerja yang begitu runyam belakangan ini?
Sedangkan di luar sana, para akademisi dan praktisi dari bekas bangsa penjajah masih memegang privilese terhadap pengetahuan dan sumber daya yang kita miliki. Berbekal niat baik di saku depan dan hak paten di saku belakang, mereka membawa obat-obatan ke desa sambil mengumpulkan darah dengan dalih kepentingan genetik. Berbekal persetujuan dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), mereka mengumpulkan sistem kepercayaan, tata cara, sistem pengorganisasian masyarakat adat, hingga praktik dan ritual kepercayaan lainnya dari kita.
Baca juga:
Mirisnya, mereka berhak mengklaimnya secara sepihak sebagai hak kepemilikan mereka, bahkan secara tega mengabaikan nasib dari objek yang telah mereka teliti. Meskipun perilaku mereka terlihat tidak berperasaan atau bahkan ofensif, nyatanya niatan mereka selalu mendapat ruang untuk dibenarkan dengan dalih “demi kebaikan umat manusia”. Niatan mereka selalu mendapat ruang, sebab siklus kolonial tampak tak benar-benar berhenti sekalipun abad telah berganti bilangan.
Terdapat modus operasi pada penelitian mereka yang dijustifikasi pada tujuan ketimbang cara. Terlebih jika objek yang sedang mereka jadikan sasaran masih dianggap dungu dan terbelakang. Melalui serangkaian sertifikat dan persetujuan rumit lainnya, mereka dapat melindungi diri guna memperoleh perlindungan internasional.
Sedangkan kita—yang mewariskan sikap dan norma terjajah—hingga kini masih dianggap primitif, sebab tidak sanggup menggunakan benak maupun intelektual untuk menciptakan institusi maupun sejarahnya sendiri. Kita diklaim tidak memiliki kemampuan untuk mengolah tanah dan sumber daya, mempraktikkan seni yang beradab, hingga memelihara nilai-nilai moral lainnya. Oleh karena itu, kita mesti mendiskualifikasi diri kita sendiri. Tidak hanya dari peradaban, tetapi dari kemanusiaan itu sendiri.
Sebagaimana kita yang masih dianggap primitif, kita mesti memaklumi kehadiran mereka untuk mengintervensi dan menyelesaikan segala permasalahan yang sedang kita hadapi—hingga hari ini. kita mesti menyerahkan secara penuh semua itu tanpa gugatan, sebab kita kadung mengamini ketidakmampuan terhadap diri dan masyarakat kita sendiri.
Bagi Linda Tuhiwai Smith, imperium Eropa telah membangun sistem pranata dan relasi sosial rumitnya bukan main guna mengatur bagaimana masyarakat terjajah berinteraksi. Relasi-relasi tersebut nampak sarat akan warna gender, hierarkis, bahkan ditopang melalui berbagai pranata lainnya.
Upaya demikian telah membuyarkan ketertiban yang telah dimiliki masyarakat terjajah selama ini, memangkas sejarah kita sendiri, serta lanskap, bahasa, hubungan sosial, cara berpikir, bahkan perasaan kita sendiri. Maka tengkorak leluhur kita mesti dievakuasi ke dalam museum, karya seni kita mesti disimpan di rumah kolektor, bahasa kita dibedah oleh para ahli linguistik, adat-istiadat kita mesti diurus oleh ahli antropologi, kemudian sistem kepercayaan dan perilaku kita mesti disantap habis-habisan oleh para psikolog. Maka dari itu, subjek terjajah seperti kita tinggal menerima remah-remahanya. Bila dirasa perlu, kita dapat mengunjungi museum, perpustakaan, atau toko buku, kemudian bertanya pada penjaga, “di rak mana subjek terjajah seperti kita diletakan?”.
Belum berhenti di situ, para sejarawan yang kadung menanggung gelar “ahli” dari komunitas terjajah, masih getol mempertahankan argumen betapa pentingnya sejarah bagi komunitas terjajah. Ketika judul dan terbitan buku mengenai sejarah kita sendiri telah diintervensi dan dihakmiliki oleh turis intelektual, ketika sejarah kita sendiri hanya menjadi subbab dari kajian besar, ketika sejarah kita sendiri mesti dihapus begitu saja di depan hidung kita, ketika pengetahuan dan tutur lisan leluhur kita sudah tidak dianggap relevan lagi bahkan diabaikan seperti celotehan orang-orang mistis. Kemudian dengan konyolnya kita dipaksa untuk melahapnya sampai tuntas sebagai bagian dari melihat jati diri kita sendiri.
Jika demikian keadaannya, masih berhakkah kita terhadap sejarah kita sendiri?
Menertibkan Masyarakat Terjajah
Berangkat dari kacamata Linda, kita telah menyaksikan betapa sejarah dapat dengan mudah menyingkirkan sistem pengetahuan kita selama ini. Sejarah menjadi sebatas bingkai tulisan mengenai masyarakat yang dipandang sudah “manusia sepenuhnya”. Maka tak heran bila kita yang dianggap tak mampu mengaktualisasikan diri sendiri terhadap segala bentuk pengetahuan bahkan keberadaannya, mesti disingkirkan atau dimasukkan ke dalam kotak pengetahuan tradisional dan prasejarah.
Baca juga:
Selain itu, kemampuan baca tulis yang dimiliki oleh suatu masyarakat menjadi prasyarat mutlak guna mengeksekusi ukuran pada suatu masyarakat yang baru memulai sejarahnya sendiri. Tulisan dianggap sebagai tanda tercapainya suatu masyarakat terhadap peradaban superior, sebab tulisan mampu berjarak dari ide dan emosi. Sebagaimana perspektif menulis—utamanya menulis historiografi—justru menjadi gagasan intimidatif bagi kebanyakan masyarakat terjajah.
Bahkan dalam proyek sejarah modern, terdapat linieritas temporal di mana sejarah sebatas diletakkan pada peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Sejarah telah menempatkan kolonialisme sebatas peristiwa usang yang tak perlu digugat. Hal ini kemudian digugat oleh Keith Jenkins, yang menyatakan bahwa sejarah modernis justru menjebak dirinya pada linieritas waktu yang mengekang “masa lalu”.
Jika kolonialisme gagal dianggap sebagai siklus, konsekuensinya adalah akan ada banyak masyarakat terjajah yang mengalami pembungkaman total terhadap suara mereka sendiri. Dengan kata lain, kita sebagai subjek terjajah sudah tidak berhak dan layak terhadap sejarah kita sendiri. Bahkan tindakan untuk menulis tentang dunia terjajah merupakan sesuatu yang dianggap usang dan mustahil dilakukan.
Terdapat kontras tajam yang berusaha disematkan pada kita. Kepercayaan masyarakat terjajah seperti kita dianggap mengejutkan, menjijikan, barbar, sehingga layak menjadi target utama penulisan sejarah yang memperadabkan. Kepercayaan tersebut kadung mengurat dalam bahasa dan ingatan kita selama ini. Mungkin beginilah cara sejarah merusak dan mengubah kita selama ini, bahkan membuat kita tidak berhak terhadap sejarah kita sendiri.
Merebut Kembali Sejarah Kita Sendiri
“Kita sering membiarkan sejarah kita sendiri diceritakan dan dituturkan oleh orang luar.”
Telah lama pengetahuan kita berkubang dalam sejarah pandangan Barat, mendengarkan kita menjadi orang asing atas pengetahuan kita sendiri, serta membiarkan pengetahuan kita dipatenkan oleh orang luar. Membuat orientasi kita pada dunia telah didefinisikan ulang oleh orang luar sehingga kita dipinggirkan secara sistematis dari penulisan sejarah mengenai diri kita sendiri.
Maka urgensi kita hari ini adalah menggugat ulang sejarah yang kadung berkubang dalam arus kanon hari ini. Menggugat ulang sejarah menjadi genting, lantaran ia gagap membaca dunia makna dan masa lalu kita. Di mana ia terletak pada ingatan kolektif dan tutur lisan yang telah berangsur-angsur diwariskan oleh komunitas ulayat.
Linda masihlah menganggap “sejarah itu relevan”. Namun, menggugatnya kembali jauh lebih genting, sebab hal tersebut merupakan aspek kritis yang mendasari proyek dekolonialisasi. Terlebih sejarah yang kita konsumsi selama ini merupakan bagian dari proyek modernis yang telah melanggengkan praktik-praktik imperial mengenai the others.
Proyek dekolonialisasi mestilah beroperasi sebagai pedagogi alternatif. Pedagogi yang dapat membentuk basis alternatif guna menuntaskan berbagai himpitan modern yang telah diwariskan kepada kita. Imperium tidak melulu berada di Barat. Melalui pedagogi alternatif, imperium bisa digeser secara ideologis.
Dengan begitu, pergeseran tersebut mampu menciptakan ulang sejarah bagi masyarakat terjajah. Wacana ini mengupayakan kerja menulis dari pinggiran, atau menulis kembali sejarah dari subjek terjajah. Pekerjaan ini mesti diupayakan sampai kita mampu menangkap cara-cara bagaimana masyarakat terjajah menggunakan kembali bahasa, dialek, dan infleksinya guna memahami kehidupan.
***
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari seri kolaborasi Omong-Omong Media dan Lingkar Studi Sejarah Arungkala.
Tulisan sejarah LSS Arungkala juga dapat dibaca dalam buku Pengantar Dekolonisasi Pengetahuan yang dapat diakses melalui tautan berikut.
Baca bagian pertama:
Chen Kuan Hsing dan Keterasingan Asia
Editor: Prihandini N