Kebijakan negara yang tidak mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat pada akhirnya akan mengancam ruang hidup dan produksi mereka, seperti tanah, hutan, sumber air, serta berbagai hasil hutan. Hal ini tentunya akan berimplikasi terhadap keberlangsungan kehidupan ekonomi mereka di masa depan.
Masyarakat adat sangat kaya atas kearifan lokal, ritual-ritual, dan situs budaya. Mereka sudah teruji dari generasi ke generasi dalam menjaga keberlanjutan ruang hidup dan kehidupan mereka secara mandiri. Misalnya pemanfaatan berbagai keanekaragaman hayati di sekitar hutan, seperti obat alami dan pangan lokal yang dimanfaatkan untuk kesehatan, acara budaya, dan komsumsi sehari-hari.
Jadi bisa diayangkan, ada begitu banyak aspek kehidupan masyarakat adat, seperti aspek ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan tatanan politik budaya, yang terdampak ketika kita berbicara tentang perlindungan dan pengakuan ruang hidup masyarakat adat.
Baca juga:
Dinamika Usaha Perlindungan Masyarakat Adat
Meskipun RUU Masyarakat Hukum Adat sudah didengungkan sejak lama, implementasinya jauh panggang dari api. Isu ini bahkan kerap dimanfaatkan sebagai politik pencitraan dan politik dagang oleh sekelompok pemangku kepentingan di perhelatan pesta demokrasi. Pembahasannya di ranah legislatif dan ekskutif pun tidak pernah menjadi agenda prioritas untuk dieksekusi melalui reforma agraria.
Keengganan negara ini dari waktu ke waktu semakin terlihat dari banyaknya kasus perampasan tanah dan ruang hidup masyarakat adat di Indonesia. Misalnya merujuk data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dalam kurun waktu lima tahun terakhir, setidaknya terdapat 301 kasus perampasan 8,5 juta hektar wilayah adat dan kriminalisasi 672 warga adat.
Secara umum konflik yang terjadi di masyarakat adat meliputi sektor perkebunan, kawasan hutan negara, pertambangan, dan pembangunan proyek infrastruktur. Sementara pada tahun 2022, terdapat 19 kasus yang terjadi di komunitas adat. Kasus Pandumaan-Sipituhuta melawan TPL (Toba Pulp Lestari) di desa Pandumaan, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, misalnya harus ditempuh dalam kurun waktu 16 tahun lamanya.
Untuk mendapatkan kembali tanah adat dan hutan kemenyan mereka, mereka bahkan berkorban tenaga, nyawa, harta dan kerap berhadapan dengan aparat keamanan. Warga diintimisasi dan dikriminilisasi bahkan sampai mendekam di penjara.
Ini menandakan bahwa tidak ada kepastian tindakan dari negara untuk melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat. Lahirnya UU Omnibus Law tahun 2020 dan diperparah dengan Perppu Minerba semakin memperpanjang catatan merah betapa negara lebih memilih investasi dan mempermudah kebijakan iklim berinvestasi di Indonesia alih alih memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat.
Perjuangan Bersama
Padahal semangat penghormatan, pengakuan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat diyakini akan mencegah berbagai krisis, seperti krisis ekologi, ekonomi, ketimpangan penguasaan sumber daya alam, dan perubahan iklim yang saat ini justru mengorbankan petani, nelayan, kaum miskin kota, dan tentunya generasi bangsa ke depan.
Baca juga:
Perjuangan panjang masyarakat adat bersama elemen masyarakat sipil diyakini masih cukup efektif untuk terus mendorong pemerintah agar mengesahkan RUU Masyarakat Hukum Adat sekaligus meletigimasi keberadaan masyarakat adat di tengah krisis multidimensi.
Meskipun perlindungan bagi masyarakat adat sudah tertuang dalam konstitusi UUD 1945, sampai pada era reformasi pun tidak ada perubahan yang signifikan. Padahal hasil deklarasi PBB di Jenewa Swiss tentang Hak-hak Masyarakat Adat telah diratifikasi oleh Indonesia. Pada sidang umum beberapa penjelasan mengatakan: “Masyarakat adat memiliki hak penuh atas perlindungannya dari negara, dan mereka mempunyai hak untuk mengidentifikasi identitas dirinya sendiri sebagai masyarakat adat menurut kebiasaan-kebiasaan tradisi mereka tanpa ada intervensi dari siapa pun.”
Editor: Prihandini N
Danke
Panjang umur perjuangan kawan!!