Lingkar Studi Sejarah Arungkala (LSS Arungkala) baru saja merilis buku berjudul Pengantar Dekolonisasi Pengetahuan (2023). Buku dengan sampul dominan kuning itu seakan membawa saya masuk begitu dalam, menjumputi remah-remah “identitas” di kepala yang sebagian besarnya telah menjadi daging, berbaur dengan sel-sel otak.
Anggap saja kita semua awam terhadap istilah-istilah dan tawaran dalam buku ini. Awalnya, saya adalah orang yang skeptis—menaruh berbagai curiga atas mekanisme dekolonisasi yang digadang-gadang dapat merespons problem kolonialitas. Kemudian, sampailah saya pada satu konklusi bahwa buku ini sukses menjelaskan tentang kolonialitas yang identik dengan borok yang dibiarkan terus menganga dan tidak disadari oleh penyintasnya.
Sementara itu, seperti halnya borok yang punya beragam bentuk dan rupa—jamur, virus, atau infeksi—kolonialitas adalah wujud epistemologis bahwasanya ia memang dikonseptualisasikan untuk menjangkiti manusia, tetapi dengan tujuan yang lebih canggih. Alih-alih hanya menjadikan seseorang berpenyakit, kolonialitas juga bertujuan mengendalikan ruang-ruang kehidupan sekaligus subjek-subjek di dalamnya agar patuh pada titah tuannya—serupa gembala dan biri-biri.
Selepas dari kandang, biri-biri tak pernah tahu ke mana ia bakal dibawa pergi majikannya, entah menuju padang rumput atau berakhir di tukang jagal. Setahunya, ia adalah milik sang penggembala yang berkuasa sepenuhnya atas bulu dan dagingnya. Tentu, dengan catatan bahwa seekor biri-biri “tak bisa” memberontak, menyanggah perintah majikannya, atau menentukan sendiri nasibnya.
Baca seri tulisan kolaborasi Omong-Omong dan LSS Arungkala:
Berpikir ala Kolonialitas dan Dekolonialitas
Buku Pengantar Dekolonisasi Pengetahuan lebih tepat disebut sebagai bunga rampai. Kendati buku ini ditulis oleh banyak orang, tetapi semuanya menunjukkan kesatuan berpikir yang seragam—mungkin karena kesemuanya terhimpun dalam komunitas LSS Arungkala.
Namun, permasalahannya bukan terletak di situ. Kesatuan dalam hal ini adalah kesetaraan berpikir antarpenulis sehingga dapat saling membahu membongkar mekanisme kolonialitas. Menurut para penulis dalam buku ini, kolonialitas—sebagai agenda—adalah proyeksi pengetahuan yang telah disesuaikan untuk masyarakat dunia dengan tujuan menjadikannya di atas pengetahuan yang lain. Paham ini dapat disebut sebagai meta pengetahuan. Singkatnya, kolonialitas mengadiluhungkan pengetahuan tertentu sembari menginjak-injak pengetahuan yang teranggap primitif, terbelakang, dan teralienasikan.
Dalam salah satu gagasan Anibal Quijano tentang colonial matrix of power (CMP) yang dimuat pada buku ini, kolonialitas menginterupsi hak-hak sipil dan memisahkannya berdasarkan spektrum ras, hierarki, dan konstitusi ekonomi-politik. Hegemoni kolonialitas dipakai Quijano untuk memandang Amerika Utara dan Selatan yang dijabarkannya sebagai perangai “penjajah” vis-á-vis “terjajah”. Kemudian, subjek-subjek inferior dalam cengkeraman kolonialitas disimbolkan sebagai “objek vitalitas” kekuasaan.
Kolonial selalu menempatkan diri di atas tanah “koloninya”, seperioritas absolut yang menindih inferioritas. Mereka tampil dengan topeng hegemoni kuasa, menunggangi teoretisasi pengetahuan, menempel label dengan asas menindas, meliyankan juga mengasingkan subjek menjadi objek, serta epistemisida massal. Kehadirannya seolah kanon dan ia adalah patron mutlak yang wajib disembah sekaligus disanjung.
Dalam buku ini, permainan kolonialitas dijabarkan begitu rapi untuk membongkar betapa “halus” pemiaraan mental inlander terhadap masyarakat ulayat. Bahkan, lebih jauh lagi, terhadap mereka yang merasa tidak terjajah secara fisik (non koloni), tetapi terus bergantung pada jebakan kolonialitas berupa pembedaan produksi pengetahuan Barat dan Timur. Mereka dibuat tak sadarkan diri sebagai subjek—bahkan objek—terjajah dengan terus mengais-ais pundi pengetahuan dari kolonial. Lebih-lebih, mereka menganggap hal demikian sebagai kewajaran yang bestari dan genial.
Contoh apik disuguhkan buku ini dalam bagian Pengantar Ilustrasi: Meretas Tatap Kolonial yang dapat ditilik pada sampul dan halaman awal masing-masing tulisan opini. Foto-foto penari dalam ilustrasi itu—yang diperoleh dari koleksi arsip Java Instituut—adalah sebagian contoh dari proyek kolonialitas.
Para penari Jawa dieksploitasi lekuk tubuh serta budayanya melalui skenario koreografi yang diciptakan oleh “tatap kolonial”. Mereka dipandang sebagai boneka yang dengan gampang “dimainkan” dan “ditata” bagian-bagian tubuhnya agar dapat menyenangkan hati tuannya. Jika tak sesuai dengan koreografi yang diinginkan, mereka dengan mudah dibuang begitu saja, dicetak sebagai “arsip keraton” yang sukar dijamah aksesnya. Sebuah anomali, keraton yang dikultuskan sebagai representasi budaya Jawa justru mengungkung arsip-arsip tersebut dalam rak-rak kayu lapuk yang penuh debu.
Proyek dekolonisasi ialah tantangan terbuka untuk merespons kolonialitas hari ini. Buku ini menyatakan bahwa sekalipun timah panas proyektil telah mendingin (dibaca: perang senjata telah usai) di belahan bumi, selongsong proyektil mereka masih sering ditemukan dalam ragam budaya modernisme Barat dan Timur yang doyan dikonsumsi umat. Produk pakaian, makanan dan minuman, real estate, hukum dan perbankan, sampai filosofi-filosofi yang digaungkan oleh cendekiawan sebagai “nilai luhur” sebenarnya lebih mematikan ketimbang timah panas peluru yang menembus kulit dan daging.
Kolonialitas membutakan konsep-konsep intim kehidupan dengan selimut hangat yang terlalu nyaman dipeluk. Masyarakat tidak sadar bahwa selama ini mereka hanya diperalat para kolonial untuk menggapai birahi dan kebiadaban mereka.
Salah satu caranya adalah dengan menutupi sekujur tubuh masyarakat dengan borok yang dibentuk dari cara berpikir kolonial, lalu menyembunyikan penawar aslinya. Dengan begitu, kolonial dapat menjual dan membebankan masyarakat guna membeli penawar palsunya. Selama tak ada yang membongkar siasat culas dan licik kolonial, borok itu akan terus menganga, membusuk, dan dikontrol sesuai takaran cap kolonial.
Dekolonialitas sebagai Penawar
Sejujurnya, buku ini tak pernah sedikit pun mengklaim bahwa mereka telah mandiri menyediakan penawar borok bernama kolonialitas itu. Bahkan, para penulisnya pun berhati-hati dalam merangkai praktik dekolonisasi sebagai sebuah tawaran. Gagasan “dari dan bersama subaltern” di bab akhir dirasa terlalu dini untuk diwujudkan sebagai sebuah “pengantar pengetahuan”.
Oleh karena itu, buku Pengantar Dekolonisasi Pengetahuan ini “terlalu berat” untuk dihidangkan sebagai sebuah pengantar. Banyak teori menjelimet yang kurang ramah terhadap pembaca yang baru mengenal dekolonisasi. Misalnya, istilah-istilah ontologi macam subaltern, kuasa dan pengetahuan, indigenisasi atau ulayatisasi, dll. Namun, pembaca yang mampu dibikin tertarik tentang kajian dekolonisasi akan mengeksplorasi lebih jauh bagaimana sistematika istilah-istilah itu ditelaah serta didefinisikan.
Kemungkinan terburuknya, ketika memang betul buku ini disiapkan sebagai “penawar pertama” seperti kotak Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K), terlalu sulit memetakan segmentasi pasiennya. Saya jadi sangsi, bagaimana kalau sistematika pemahaman masyarakat ulayat yang berdikari di atas pengetahuannya sendiri itu malah asing terhadap istilah teoretis yang menjelimet itu? Di sisi lain, buku ini ditujukan untuk siapa saja agar dapat melihat, merasakan, dan mendekatkan diri dengan masyarakat ulayat tanpa jarak—dari dan bersama subaltern.
Antara idealisme para penulis, gagasan dekolonisasi, dengan tawaran praksis yang dituangkan terasa berbanding lurus. Keputusan memproduksi buku tanpa International Standard Book Number (ISBN) saya pikir adalah radikalitas yang cukup berani. Keputusan itu dijelaskan pada dialog tematik antaranggota LSS Arungkala di bagian Pengantar Tulisan.
Meskipun begitu, saya masih yakin bahwa penjelasan itu hanyalah perbincangan di bibir-bibir luar idealisme mereka. Menurut saya, pertimbangan terbesarnya adalah gagasan menentang asas ISBN yang dirasa terlalu “kolonialistik”. Bukan tidak mungkin kalau ISBN malah berpotensi membui ide-ide radikal seperti memprasangkai negara dan sistem kapitalistik, serta menjauhkan semangat kolektivitas utama LSS Arungkala, yakni “dari dan bersama subaltern”.
Pembabakan intim dan detail semacam ini adalah semangat-semangat menarik yang dapat dipelajari dari buku ini. Tidak hanya ditinjau dari kajian teoretis, tetapi praktik langsung nan nyata pula. Saya pun sempat khawatir kalau-kalau karena keputusan itu, buku ini rawan dibajak oleh oknum-oknum “penawar” lainnya. Semoga kecurigaan itu tak menjadi betulan nantinya.
Baca juga:
Selain itu, terdapat catatan-catatan kecil tentang buku ini. Misalnya, inkonsistensi diksi dan lema. Saya masih belum menemukan sistematika perbedaan “dekolonisasi”, “dekolonialisasi”, atau “dekolonialitas” dalam buku ini. Padahal, definisi ketiga lema tersebut berbeda.
Jika boleh berargumen, saya lebih dekat dengan istilah “dekolonialisasi”. Dekolonisasi yang merupakan “lawan” dari kolonisasi, berdefinisi melepaskan diri dari tanah jajahan (koloni). Padahal, asas-asas dalam buku ini lebih jauh dari sekadar “tanah” atau “penduduk”. Lebih jauh, buku ini merambah bahasan tentang epistemologi, ontologi, praksis, dan wacana, hingga kesadaran subjek yang berdikari.
Sayangnya, istilah-istilah kunci semacam itu tidak dapat menjadi rujukan pasti. Kebenaran tertinggi ada di tangan penulis, tafsiran-tafsiran lain hanyalah iring-iringannya. Kebebasan mendefinisikan diksi dan lema adalah salah satu kebebasan berpikir—seperti halnya prinsip “membebaskan” ala dekolonisasi.
Bagi saya, buku ini cukup sukses merefleksikan ulang berbagai hal kompleks akan produksi pengetahuan, tilas riset dan diskusi, serta tetek bengek intelektualitas lainnya. Melalui buku ini, saya dapat memetakan bagaimana borok kolonialitas diciptakan dan dibiarkan menganga untuk mengibuli kemerdekaan individu dan sosial.
Editor: Emma Amelia