Pada awal September lalu, saya melakukan pertemuan virtual dengan Mas Dwi Suwiknyo dalam rangka bedah buku barunya yang berjudul Agar Letih Berangsur Pulih. Kebetulan saat itu saya menjadi moderatornya. Pertemuan yang awalnya diagendakan hanya satu jam harus diperpanjang 30 menit lagi karena peserta tampak begitu antusias bertanya melalui kolom komentar. Tidak mengherankan, sebab buku itu mengangkat isu aktual tentang kesehatan mental yang sedang menghangat saat ini.
Di permulaan acara, saya tertarik dengan ungkapan Mas Dwi yang menyatakan, “Orang-orang zaman sekarang takut menjadi dewasa. Mereka banyak yang terkena permasalahan mental. Lihat saja lagu-lagu yang diminati akhir-akhir ini. Banyak sekali yang berkaitan dengan kesehatan mental.”
Kalimat sederhana itu begitu membekas dalam benak saya. Jika dicermati dengan sungguh-sungguh, tren musik yang saat ini dinikmati oleh Gen Z memang tidak jauh dari isu tersebut. Misalnya lagu “Jiwa yang Bersedih” karya Ghea Indrawari atau “Takut” dan “Satu-Satu” karya Idgitaf.
Baca juga:
Senada dengan hal tersebut, penggunaan istilah overthinking, insecure, loneliness, dan istilah yang merujuk pada mental juga mengalami kenaikan yang signifikan. Hal tersebut menjadi indikasi bahwa terjadi pergeseran selera musik dan corak pandang di kalangan masyarakat dewasa muda saat ini.
Kecenderungan pada suatu jenis musik secara kolektif sebenarnya merupakan fenomena sosial yang kerap terjadi. Melalui karyanya yang berjudul Distinction: A Sosial Critique of The Judgment of Taste (1984), Pierre Bourdieu memaparkan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi selera, termasuk selera akan seni. Menurut Bourdieu, preferensi musik menjadi salah satu identitas dari kelas-kelas sosial yang ada. Dengan kata lain, jenis musik tertentu diasosiasikan dengan kelas sosial tertentu.
Selaras dengan itu, James J. Nott melalui karyanya Music for the People: Popular Music and Dance in Interwar Britain (2002), mengupas permasalahan selera musik populer di Inggris antara tahun 1918-1939. Ia menunjukkan bahwa kekuatan penguasa dalam bentuk apa pun dapat memengaruhi kecenderungan selera musik. Meski begitu, Nott tidak berhenti sampai di situ saja. Ia melajutkan penelitiannya dengan menganalisis keterkaitan antara lirik-lirik dan isi dari suatu lagu. Dia mendapati kecenderungan preferensi musik berdasarkan usia.
Musik jazz umumnya digandrungi mereka yang berusia 15-35 tahun, sedangkan musik klasik memiliki peminat hampir di semua usia. Selain itu, selera musik menurut Nott banyak dikendalikan oleh industri-industri rekaman. Nott juga menyatakan bahwa musik klasik banyak diminati oleh kelas menengah, sedangkan musik jazz banyak digemari oleh masyarakat kelas pekerja.
Musik dan Representasi Isu Kesehatan Mental
Sama dengan sebuah karya tulis, lahirnya selera musik merupakan produk budaya setempat yang selaras dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi. Dengan berpijak pada konsep yang dibangun oleh Bourdieu dan Nott, kita bisa mengklasifikasikan selera musik dari perspektif yang sedikit berbeda. Setidaknya, selera musik lahir karena tiga hal: respons sosial, representasi kehidupan sosial, dan intervensi pihak ketiga.
Musik dapat lahir sebagai respons sosial. Misalnya, beberapa lagu-lagu Iwan Fals merupakan bentuk kritik terhadap dinamika sosial yang terjadi. Kritiknya tidak hanya terbatas pada penguasa, tetapi pada kondisi sosial yang terjadi pada saat itu. Sebut saja lagu “Surat Buat Wakil Rakyat”, “Guru Oemar Bakrie”, “Bongkar”, “Ibu”, “Ujung Aspal Pondok Gede”, dan “Pesawat Tempurku”. Lagu-lagu Ebiet G Ade banyak yang merepresentasikan kehidupan sosial, seperti lagu “Ayah”, “Berita kepada Kawan”, “Untuk Kita Renungkan”, dan “Sebuah Tragedi”.
Intervensi pihak ketiga dilakukan oleh pihak produser lagu yang menyajikan berbagai jenis musik. Peranan media juga cukup signifikan. Lagu-lagu yang telah dimasak di dapur produksi akhirnya mengudara secara masif dan didengarkan secara berulang-ulang hingga akhirnya familiar di telinga masyarakat.
Lagu-lagu yang berkaitan dengan kesehatan mental pada awalnya diproduksi secara terbatas. Hanya ada beberapa musisi pendatang baru yang memulainya. Lambat laun, lagu-lagu jenis ini mulai mendapatkan panggung di hati pendengar, sebab mereka merasakan keresahan yang sama. Lagu yang hadir seakan-akan merepresentasikan kondisi diri dan menggambarkan perasaan yang ditimbunnya.
Berdasarkan statistik databoks, persentase gen Z di Indonesia adalah 27,94 %. Jauh lebih tinggi daripada generasi milenial yang hanya 25,87%. Data ini menunjukkan bahwa gen Z menjadi kelompok sosial tertinggi saat ini. Dan kita semua tahu betul bahwa kelompok sosial ini kerap dihadapkan pada isu kesehatan mental seperti overthinking, insecure, loneliness, serta sederet isu-isu mental lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak sekali bermunculan buku-buku bertema kesehatan mental, begitu pun dengan judul-judul lagu bertema senada.
Fenomena ini sebenarnya menunjukkan bahwa tingkat kesadaran gen Z terhadap isu ini meningkat secara signifikan. Di beberapa kanal media sosial, banyak kalangan muda yang bahkan tidak ragu untuk datang ke psikolog untuk mengobrol dan mendapat masukan-masukan positif. Kesadaran ini tumbuh secara perlahan, tapi pasti.
Istilah work life balance juga makin semarak terdengar. Jargon untuk seimbang dalam bekerja dan menikmati kehidupan menjadi visi baru bagi kalangan muda. Slogan “lebih baik resign kerja daripada mental rusak di kantor toxic” juga banyak menjadi pola pikir kelompok ini.
Baca juga:
Peran media sosial dalam mengampanyekan isu kesehatan mental juga makin membuka pikiran generasi muda akan pentingnya membentengi diri dari berbagai racun-racun tak kasat mata yang akan merusak pikiran. Masifnya arus informasi memberikan perspektif baru yang tidak tergaungkan oleh generasi-generasi sebelumnya.
Peningkatan Awareness
Di tengah obrolan, saya kembali bertanya kepada Mas Dwi, “Mas, apakah dulu generasi orang tua kita juga mengalami yang namanya overthinking dan insecure?” Sebenarnya itu bukan pertanyaan saya. Salah seorang teman pernah menanyakannya dan kebetulan saya ingat. Mas Dwi menjawab bahwa setiap generasi sebenarnya merasakan hal yang sama. Hanya saja, mereka tidak dapat mengekspresikannya melalui media sosial. Jauh berbeda dengan kondisi saat ini di mana setiap orang dapat berekspresi tanpa batas.
Pada dasarnya, masalah mental adalah problem repetitif yang selalu terjadi di setiap masa. Hanya saja polanya sedikit berbeda dan menyesuaikan karakteristik era itu. Selain pola yang berbeda, respons generasi yang menderitanya juga berbeda-beda.
Dulu, orang hanya mampu memendam overthinking dan insecure yang dihadapinya. Namun, saat ini setiap orang dapat menemukan ruang-ruang untuk belajar dan mengatasi masalah yang sedang dihadapinya. Mereka dapat mengakses informasi dengan mudah untuk mengantisipasi terjadinya penyakit mental hingga treatment apa saja yang harus dilakukan jika sudah terlanjur terkena permasalahan mental.
Generasi saat ini terbilang lebih terbuka terhadap isu kesehatan mental. Kecanggihan teknologi informasi memberikan kemudahan untuk berintegrasi dengan semua orang di mana pun dan kapan pun. Akhirnya, mereka menjadi generasi yang responsif dan aware terhadap setiap gangguan atau permasalahan diri yang membutuhkan pemecahan.
Generasi ini juga jauh lebih terbuka terhadap orang yang terkena gangguan mental dan tidak lagi menganggap mereka sebagai pesakitan atau bahkan orang gila. Sebab, mereka telah mendapatkan informasi yang jauh lebih baik dibanding generasi-generasi sebelumnya sehingga tidak lagi keliru dalam menilai permasalahan ini.
Fenomena ini menjadi titik balik yang terbilang positif, setidaknya pada ranah respons yang baik dan bekal informasi yang jauh lebih komprehensif. Dengan begitu, tak ada lagi pemahaman keliru dan anggapan sporadis yang tidak dapat dibenarkan berkaitan dengan kesehatan mental.
Editor: Prihandini N
One Reply to “Musik dan Pesan-Pesan Kesehatan Mental”