23 Tahun Perjuangan Masyarakat Adat Nusantara

Jakob Siringoringo

4 min read

Tiga tahun lalu, saya mewawancara Pak Tarib, salah satu pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), soal bagaimana ia berjuang hadir di Hotel Indonesia, Jakarta tahun 1999. Ia adalah tetua utusan Masyarakat Adat Rimba, Jambi. Sepanjang perjalanan dia berkali-kali muntah dan tidak nafsu makan. “Kapan kita nyampe di Jakarta?” Pertanyaan itu terus dia ulang kepada pendampingnya. Sang tetua adat merasa sangat kelelahan, pun ketika sudah di ibu kota.

Momen paling menyebalkan sekaligus tak terlupakan baginya adalah ketika mau buang air besar (BAB). Ia melihat air di kloset berwarna bening dan seisi kamar mandi tampak putih bersih. Baginya pantang mengotori air bersih. Itu ibarat menjaga kehidupan. Ia heran, bagaimana orang BAB di lantai 10 jika banyak orang di lantai 9, 8, 7 dst. Selama berhari-hari Pak Tarib puasa buang hajat.

Sepenggal kisah tadi adalah realitas yang dialami masyarakat adat. Terlihat sepele, namun itulah fakta dari sisi keseharian masyarakat adat.

Baca juga: Pertarungan Global Masyarakat Adat

Tidak mudah bagi para tetua adat untuk menghadiri Kongres Masyarakat Adat Nusantara Pertama (KMAN I). Namun itu momentum paling bersejarah bagi kebangkitan gerakan masyarakat adat Nusantara yang ditandai dengan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (HKMAN) sekaligus dideklarasikannya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tanggal yang sama: 17 Maret 1999.

Dua puluh tiga tahun berlalu, kini masyarakat adat Nusantara telah sukses melewati lima kali KMAN. Sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, KMAN I digelar di Jakarta 1999, lalu KMAN II pada 2003 di Nusa Tenggara Barat, dilanjut pada 2007 KMAN III, kemudian Tobelo, Maluku Utara menjadi lokasi KMAN IV pada 2012, dan KMAN V di Sumatera Utara tahun 2017. Tahun 2022 sendiri adalah tahun KMAN VI yang akan diadakan pada 24-28 Oktober di wilayah adat Tabi, Jayapura, Papua.

Capaian Bersejarah

Perjalanan gerakan masyarakat adat dari waktu ke waktu semakin tangguh dengan berbagai capaian bersejarah yang ditorehkan. Pertama, dinamika masyarakat adat dalam mengarungi organisasi modern melalui AMAN adalah suatu pencapaian luar biasa. Dinamika dari kongres ke kongres dalam merumuskan strategi-strategi multifungsi untuk menyikapi setiap perkembangan situasi politik, ekonomi, sosial-budaya di tanah air, terus menguat.

Kedua, masyarakat adat Nusantara semakin percaya diri dalam mengekspresikan identitasnya. Perlu diketahui, Pemerintah RI menamai atau menyebut masyarakat adat dengan istilah yang menurut saya sebagai streotip dan stigmatisasi, seperti komunitas adat terpencil (sampai sekarang masih dipakai Kemensos), orang dalam, ketinggalan zaman, udik, bodoh, terbelakang dan sebagainya.

Melalui AMAN, masyarakat adat terus berjuang menuntut keadilan agar negara memberikan pengakuan, penghormatan dan perlindungan. Ia sesuai dengan pernyataan tegas para deklarator AMAN: Jika negara tidak mengakui masyarakat adat, maka masyarakat adat tidak mengakui negara.

Baca juga:

AMAN sebagai organisasi yang menjalankan amanat komunitas masyarakat adat tak pernah berhenti menempuh langkah-langkah advokasi. Salah satu yang fenomenal adalah ketika AMAN bersama dua komunitas adat yaitu Masyarakat Adat Kenegerian Kuntu, Riau dan Masyarakat Adat Kasepuhan Cisitu, Banten menguji materi UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap UUD 1945. Uji materi yang disidangkan di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2013 tersebut memenangkan masyarakat adat, yang intinya bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah masyarakat adat, hutan adat bukan hutan negara sebagaimana tertuang dalam pasal 1 angka 6 UU No. 41/1999, populer sebagai Putusan MK 35.

Menindaklanjuti putusan MK 35, perlahan pemerintah mulai mengeluarkan pengakuan atas hutan adat melalui KLHK. Hingga saat ini sebagaimana dicatat AMAN, pengakuan hutan adat adalah seluas 56.903 hektar.

Berbagai capaian lain di antaranya Inkuiri Nasional yang dilakukan Komnas HAM; berdirinya Gerai Nusantara untuk tujuan memperkuat ekonomi komunitas; terlibat dalam politik elektoral (mengirimkan kader-kader masyarakat adat maju sebagai caleg atau kepala daerah) untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang berpihak kepada masyarakat adat; sampai pada adanya RUU Masyarakat Adat yang hingga tahun ini kembali masuk program legislasi nasional.

Di masa pandemi, masyarakat adat lagi-lagi menunjukkan capaian positif yang tak ternilai. Masyarakat adat secara ekonomi bertahan dari ancaman kelangkaan pangan, juga tak terlalu terimbas banyak akan covid-19. Ada 108 tim tanggap darurat AMANkan Covid-19 yang berdiri di komunitas-komunitas adat anggota AMAN. Pos-pos ini memastikan pintu-pintu masuk ke wilayah adat steril, sehingga masyarakat adat dalam lingkaran wilayah adat tidak tercemari virus. Dengan begitu, masyarakat adat tetap bisa bekerja di ladang, sawah, kebun, laut, dan hutannya. Pekerjaan utama masyarakat adat selalu berhubungan langsung dengan pangan.

Oleh karena itu, Sekjen AMAN mendorong komunitas-komunitas masyarakat adat untuk fokus pada kedaulatan pangan. Berdaulat atas pangan adalah realitas yang dimiliki masyarakat adat dengan bersandar pada wilayah adat yang sumber dayanya melimpah.

Anak-anak muda berkebun, kembali ke kampung, mengajak sesama pemuda adat membuat inisiatif apa saja yang berbasiskan prinsip ajaran leluhur. Kami menanam kopi, lalu mengelolanya menjadi kopi bubuk siap pasar; mengelola hutan adat menjadi wisata berbasis alam yang digandrungi milenial; menanam sawi dengan menebang sawit; memanen rumput laut sesuai porsi dan aturannya; memproduksi teh daun mint; menanam jahe, jagung, tomat, cabai, bawang; menanam padi varietas lokal, dll.

Dengan kata lain, pandemi malah memperjelas petunjuk leluhur untuk selalu menjaga dan mempertahankan wilayah adat dari bahaya gempuran alih fungsi dan perampasan wilayah adat.

Baca juga: Tertelan di Antara Pasar: Lansia dan Pengetahuan Lokal

Negara Tak Hadir

Paling tidak ada tiga poin utama yang masih belum sampai ke masyarakat adat. Pertama, soal hitung-hitungan pengakuan hutan adat. Di balik hutan adat yang diakui seluas 56.903 hektar, terdapat perampasan wilayah adat seluas 240.000 ha atas nama Perhutanan Sosial (Catahu AMAN 2021). Bahkan jika dibandingkan dengan wilayah adat yang dipetakan oleh 777 komunitas Masyarakat Adat dan sudah diserahkan ke KLHK, Kemen-ATR/BPN, dan BIG tahun 2017 saja sudah mencapai 9,3 juta ha, maka terang bahwa 56.903 adalah angka yang sangat kecil.

Kedua, maraknya kriminalisasi terhadap masyarakat adat, seperti yang dialami Masyarakat Adat Rendu, NTT; Poso, Sulteng, Sangihe, Sulut, Batak Toba, Sumut, Laman Kinipan, Kalteng, Wadas, Jateng, dan sebagainya. Catatan akhir tahun AMAN 2021 mencatat terdapat 13 kasus perampasan wilayah adat dengan total luasannya 251.000 ha serta berpengaruh besar terhadap 103.717 jiwa.

Terakhir dan yang terpenting adalah Rancangan Undang Undang Masyarakat Adat yang masih belum diundangkan. Secara proses dalam satu dekade terakhir, RUU ini selalu masuk prolegnas, akan tetapi sampai sekarang tak kunjung jadi Undang Undang. Salah satu harapan mengapa RUU ini perlu segera diundangkan adalah sebagai dasar hukum penyelesaian persoalan yang telah menyengsarakan Masyarakat Adat selama puluhan tahun, salah satunya kasus kriminalisasi.

Namun, perlu digarisbawahi bahwa UU Masyarakat Adat yang dimaksud adalah UU komprehensif yang bebas dari pelemahan atau membahayakan Masyarakat Adat. Misalnya, soal bab “Evaluasi” yang ditambahkan DPR RI dalam draftnya akan menjadi ancaman dan tidak masuk akal. Bagaimana mengevaluasi keberadaan Masyarakat Adat yang secara sosiologis-historis sudah ada jauh sebelum negara ada? Hanya karena wilayah adat mereka sudah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit, misalnya, lantas dapat dinilai bahwa di wilayah adat itu tidak ada lagi masyarakat adat?

Sebagaimana yang dikatakan Pak Tarib, adat adalah pedoman yang tidak berat sebelah. Ia adil. Sebagai tetua adat yang masih hidup, ia sangat menanti adanya payung hukum berupa UU Masyarakat Adat agar wilayah adat rimba dan wilayah-wilayah adat lainnya di seluruh Indonesia selamat dan masyarakat adatnya tangguh dan tidak lagi terancam kriminalisasi. Masa depan bangsa dan negara yang kuat tidak terlepas dari keberadaan masyarakat adat.

Jakob Siringoringo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email