Tuhan telah menakdirkan dunia ini terbangun dari berbagai perbedaan. Takdir sosial tersebut tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun di dunia ini. Dalam konteks berbangsa dan negara, tidak ada satu pun bangsa dan negara di dunia ini yang hidup tanpa perbedaan. Perbedaan adalah keniscayaan hidup yang harus diterima dan dikelola untuk terciptanya harmoni kehidupan.
Manusia memang berbeda dalam banyak hal: jenis kelamin, warna kulit, bahasa, etnis, bakat, minat, kemampuan, cita-cita, aspirasi, dan yang pasti agama dan keyakinan kita juga berbeda-beda. Akan tetapi, di atas semua itu kita punya kesadaran universal sebagai makhluk yang berasal dari asal-usul yang sama, dan pada akhirnya akan berpulang ke hadirat Tuhan.
Tentu saja konsep di atas menjadi basis kesadaran kita untuk membangun dunia yang damai dalam kemajemukan, bersepakat dalam ketidaksepakatan. Kemajemukan harus dimaknai sebagai berkah, bukan akar terjadinya konflik, pertikaian, dan pertumpahan darah. Dalam kemajemukan, setiap manusia dan komunitas harus siap untuk mengakui dan menerima keberadaan pihak yang berbeda. Di sisi yang lain, mereka juga harus diakui dan diterima oleh pihak lain sebagai yang berbeda. Kesadaran bahwa kemajemukan adalah anugerah akan mengantarkan kita untuk menjadikan keberagaman sebagai modal sosial dalam menciptakan keselarasan hidup.
Baca juga:
Bukankah hidup ini akan lebih indah tatkala ada berbagai warna? Bisakah kita melihat hal-hal yang sama di tengah perbedaan? Tentu saja bisa, sebab sesungguhnya akan selalu ada kesamaan di setiap hal yang berbeda. Semua itu bisa terlihat ketika kita memakai kacamata kesamaan, bukan perbedaan.
Semua umat manusia di muka bumi mendambakan hidup rukun dan damai. Suasana hidup yang penuh kedamaian menjadi modal utama terciptanya kesejahteraan dan kebahagiaan. Tidak akan ada kesejahteraan dan kebahagiaan tanpa kedamaian. Manusia perlu berdamai dengan alam agar alam ramah kepada kita. Bencana alam pada dasarnya terjadi akibat tidak adanya perdamaian antara manusia dan alam. Demikian halnya sesama manusia yang harus saling berdamai. Menghargai dan menghormati perbedaan menjadi keniscayaan hidup agar tidak terjadi konflik antarumat manusia maupun dengan alam.
Perdamaian dunia saat ini nampaknya masih menjadi impian yang belum menjadi kenyataan. Dunia kini masih diliputi ketegangan dan konflik antarbangsa. Beberapa kawasan di dunia ini masih diliputi ketegangan dan konflik. Ada beragam nuansa dan akar penyebab konflik: etnis, agama, maupun perebutan kekuasaan atau kudeta politik. Adapula konflik dan ketegangan yang tidak kalah hebatnya tetapi cenderung tidak terlalu kentara, yakni konflik dan ketegangan global akibat dominasi kekuatan ekonomi dan politik global atas kekuatan lainnya. Semua itu menunjukkan bahwa dunia ini masih rentan atas terjadinya konflik, ketegangan, perpecahan, dan kekerasan. Indonesia sebagai bangsa yang majemuk pun tidak lepas dari problem sosial ini. Sampai saat ini, eskalasi konflik sosial masih cukup tajam.
Piagam Madinah
Untuk membangun tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai dan menerima kemajemukan, kita membutuhkan referensi. Dalam konteks ini, kita memiliki referensi historis monumental dan universal melalui Nabi Muhammad Saw. ketika mewujudkan negara dan bangsa Madinah.
Nabi Muhammad Saw. membangun tatanan sosial dan politik dengan berupaya melibatkan seluruh potensi negara Madinah, baik suku etnis maupun agama. Kesepakatan elemen bangsa Madinah untuk mewujudkan tata kelola kehidupan bernegara yang demokratis diwujudkan dalam sebuah kesepakatan konstitusional negara berupa Piagam Madinah.
Piagam Madinah (al-Shahifah) pada hakikatnya adalah suatu konstitusi negara yang berisi nilai, norma, hukum, dan aturan hidup dalam kemajemukan masyarakat Madinah pada saat itu. Sebagai konstitusi negara, Piagam Madinah lahir sebagai acuan hidup dalam menciptakan negara Madinah, negara yang memiliki peradaban tinggi sebagaimana cita-cita yang tergambar pada perubahan nama Kota Yatsrib menjadi Madinah oleh Nabi Saw.
Baca juga:
Penggantian nama Yatsrib menjadi Madinah mengisyaratkan adanya deklarasi bahwa di tempat baru itu hendak diwujudkan suatu masyarakat berperaturan sebagaimana idealnya suatu tatanan masyarakat yang beradab. Kehidupan masyarakat ditegakkan atas dasar kewajiban untuk patuh kepada peraturan atau hukum.
Piagam Madinah juga berisi ajaran dasar akan pengakuan yang tinggi atas perbedaan entitas sosial dan politik di Madinah kala itu. Negara Madinah berdiri atas dasar pilar perbedaan, baik suku, etnis, politik, dan agama. Pengakuan dan penghargaan yang tinggi atas substansi perbedaan itu menjadi hakikat toleransi inklusif yang diajarkan Nabi kepada kita, yakni tentang bagaimana membangun tatanan kehidupan yang lebih harmonis dan damai.
Sikap tenggang rasa, menghormati pandangan dan pemikiran orang lain, berlapang dada, bermurah hati, serta bersikap lemah lembut terhadap perbedaan menjadi nilai dasar sikap toleransi yang sejati. Melalui piagam Madinah, Nabi Muhammad Saw. memberikan perhormatan dan penghargaan yang tinggi kepada kelompok-kelompok minoritas.
Hal yang lebih esensial lagi, meskipun secara agama Nabi Muhammad dan pengikutnya menjadi mayoritas, Piagam Madinah memberikan jaminan dan pelindungan kepada seluruh elemen masyarakat untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Piagam Madinah juga memberikan ruang partisipasi kepada publik untuk berkontribusi terhadap pembangunan Madinah. Negara dan bangsa beradab hanya akan lahir manakala semua kepentingan dan aspirasi terakomodasi dan terlayani.
Editor: Prihandini N